Jakarta (ANTARA Jambi) - Mantan Presiden BJ Habibie baru-baru ini melontarkan ide untuk mengembangkan sekolah terpadu tanpa kertas karena masyarakat Indonesia khususnya generasi mudanya dinilai sudah mampu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dengan baik.
"Sekarang masuk dalam era globalisasi dan informasi teknologi dapat menguntungkan proses pendidikan. Bangsa Indonesia harus persiapkan diri dengan mengembangkan sekolah yang tidak ada kertas lagi sebab kalau ada kesulitan siswa bisa berselancar di internet mencari jawabannya," kata Habibie saat menjadi pembicara kunci pada Konvensi Pendidikan yang diselenggarakan Persatuan Guru RI.
Untuk itu, ujar Habibie, dibutuhkan guru yang lebih canggih dari muridnya dan guru-guru yang mengajar nantinya harus dipersiapkan dengan matang dengan meningkatkan keahlian dan mengubah cara mengajarnya.
Ide untuk mengembangkan sekolah terpadu tanpa kertas bukanlah suatu yang mustahil. Apalagi dilontarkan oleh seorang cendekiawan sekelas Habibie yang sudah membuktikan keberhasilannya dalam memajukan teknologi di Tanah Air dan mengharumkan nama bangsa di dunia internasional.
Bagaimana dengan kesiapan guru dalam memasuki era informasi teknologi yang berkembang begitu cepat dan sementara kemampuan guru jauh tertinggal dengan murid-muridnya sendiri dalam penguasaan iptek?.
Ditambah lagi kesenjangan kualitas guru antardaerah masih terjadi dan kondisi tersebut yang kerap memicu munculnya berbagai persoalan pendidikan di Tanah Air, seperti rendahnya nilai Ujian Nasional, bibit-bibit pemenang olimpiade nasional dan internasional masih didominasi kota-kota besar di Pulau Jawa dan Sumatera, guru yang dijadikan alat politik pascadesentralisasi dan sebagainya.
Bagi Prof Dr HAR Tilaar Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), bahwa selayaknya guru masa kini adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) sebab masyarakat Abad ke-21 adalah masyarakat yang hidup di dalam kemajuan IPTEKS.
"Guru sebagai pamong dia haruslah menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan ditularkannya kepada peserta-didik dan membawa peserta-didik memasuki dunia yang tanpa batas karena kemajuan teknologi komunikasi dan ilmu pengetahuan dan seni. Guru sebagai seorang ahli dalam bidangnya atau sekurang-kurangnya dapat membawa peserta-didik memasuki dunia ilmu pengetahuan serta dunia komunikasi", ujarnya.
Guru, menurut Tilaar, adalah bagian dari masyarakat Abad 21 yang merupakan seorang profesional sesuai dengan kemajuan peradaban masyarakat yang menguasai ilmu serta keterampilan yang diminta oleh setiap profesi.
"Pembentukan guru sebagai seorang profesional bukan sebagai politikus. Guru sebagai seorang profesional terutama tugasnya adalah mengabdi kepada kepentingan peserta-didik. Kita patut pertanyakan apakah sistem pendidikan guru dewasa ini sudah dapat diandalkan dalam mempersiapkan sosok guru yang dibutuhkan," ujarnya.
Kesenjangan Mutu
Pemikiran jauh ke depan ala BJ Habibie agar dunia pendidikan di Tanah Air memaksimalkan pemanfaatan teknologi informasi semata-mata untuk mengurangi kesenjangan mutu pendidikan antaradaerah.
Cendikiawan, Prof Azyumardi Azra menyatakan globalisasi yang "sekali lagi" ditandai berbagai kemajuan penting dalam teknologi informasi dan komunikasi, mendorong terjadinya pula perubahan-perubahan dalam pembelajaran.
"Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi mempercepat proses demokratisasi dan equity dalam pembelajaran. Guru atau tenaga pengajar kini tidak lagi merupakan satu-satunya narasumber dalam proses pembelajaran. Teknologi komunikasi dan informasi yang kini ada (existing) "dan juga yang akan terus berkembang" semakin memungkinkan peserta didik untuk mengakses sendiri beragam sumber belajar," katanya.
Karena itu, jika guru atau tenaga pengajar tetap ingin memainkan peran sentral dalam proses pembelajaran, mereka harus melakukan perubahan-perubahan" atau sedikitnya penyesuaian "dalam paradigma, strategi, pendekatan, dan teknologi pembelajaran. Jika tidak, tenaga pengajar akan kehilangan makna kehadiran dalam proses-proses pembelajaran, ujarnya.
Cendekiawan ini melihat banyak aspek perubahan dalam dunia pendidikan Indonesia muncul dan berkembang dan tidak jarang berdasarkan paradigma baru yang terus mengisi ruang dan waktu.
"Orang sulit berbicara tentang pendidikan demokrasi di sekolah jika proses pendidikan di sekolah itu sendiri tidak demokratis. Agar tidak salah paham, pendidikan demokratis pada dasarnya harus dipahami sebagai proses pendidikan yang memberikan peluang kepada peserta didik untuk "bersuara"; pendidikan demokratis juga adalah pendidikan yang partisipatoris (participatory education)".
Kenyataan bahwa guru di Indonesia mayoritas masih tertatih-tatih mengikuti perubahan zaman yang kental dengan kemajuan teknologi informasi tiak dipungkiri oleh Ketua Umum PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo.
"Kompetensi guru-guru kita masih belum merata dan masih jauh dari harapan. Persoalan guru kian banyak dan kompleks. Jumlah guru meningkat, tetapi kualitasnya masih rendah yang disebabkan kesenjangan antara guru muda dan guru senior. Selain itu, yang lebih penting bahwa guru sekarang tidak hanya semata-mata dihadapkan pada persoalan tuntutan memberikan pembelajaran yang berkualitas tetapi ada persoalan yang tidak bisa diabaikan, yakni soal kesejahteraan guru," ujarnya.
Sulistiyo menilai kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang pendidikan seakan tidak menganggap pentingnya keberadaan guru. Padahal guru merupakan kunci utama keberhasilan pendidikan Indonesia.
"Pemerintah seharusnya bisa memahami kondisi guru yang sangat heterogen dan belum baik dalam segi kualitas".
Berbagai program penataan guru dan peningkatan kualitas pendidik yang dijalankan pemerintah selama ini dinilai masih jauh dari harapan. Hal ini ditunjukkan dari banyaknya persoalan, seperti keberadaan guru honorer yang tidak mendapat perhatian, tidak jelasnya program sertifikasi guru, peningkatan kualifikasi yang setengah hati, hingga tertunggaknya pembayaran tunjangan profesi guru.
Terkait peningkatan kualitas guru di era informasi dan teknologi, menurut Sulistiyo membutuhkan upaya terobosan, terutama dalam mempersiapkan kompetensi dan daya saing guru untuk memasuki tantangan di era digital.
"Kini saatnya seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan membuat terobosan dalam upaya meningkatkan kualitas dan daya saing guru seiring dengan perkembangan zaman yang menuntut guru untuk selalu dapat menyesuaikan diri dengan cepat. "Hal ini tidak mungkin terkejar jika dilakukan secara alamiah. Perlu lompatan-lompatan besar dalam meningkatkan kualitas guru," tegasnya.(Ant)