Data tentang ketinggian muka air di lahan gambut
merupakan hal penting dalam pemantauan kemungkinan kebakaran lahan,
namun peralatan yang ada saat ini masih belum bergerak dari kondisi
beberapa dekade lalu.
"Teknologi yang diharapkan adalah yang
tidak perlu ke lapangan tapi bisa memantau dari manapun kita berada
melalui internet dan telepon genggam. Teknologi ini juga harus
memungkinkan kita mendapat datanya secara seketika (real time)," kata
Ketua Dewan Riset Nasional (DRN) Dr Bambang Setiadi.
Bambang mengatakan, saat ini Indonesia sangat membutuhkan alat pengukur tinggi muka air untuk lahan gambut, karena hasil riset menyebut adanya korelasi yang erat antara tinggi muka air di lahan gambut dengan munculnya titik api (hotspot) yang menjadi awal kebakaran lahan.
Sejak beberapa tahun belakangan, Jepang gencar menawarkan
teknologinya yang bernama Sesame, kepanjangan dari Sensory Data
Transmission Service Assisted by Midori Engineering, yang sudah
diujicobakan di sejumlah lokasi lahan gambut di Indonesia.
Menurut Bambang, teknologi ini memang sangat sesuai dengan yang dibutuhkan dalam pemantauan kebakaran lahan gambut di mana sensor-sensor yang dipasang di sejumlah lokasi lahan gambut akan mengirimkan datanya secara seketika (real time) ke monitor yang ada di instansi berwenang.
Dengan sistem pemantauan jarak jauh ini maka lahan-lahan gambut yang tinggi muka airnya turun terus sampai kritis di bawah 40 cm, bisa segera dilakukan pembasahan gambut untuk mengantisipasi kebakaran hutan, katanya.
"Hanya saja yang belum disepakati adalah harganya yang masih belum
cocok dengan anggaran yang dimiliki pemerintah," katanya.
Sementara itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga
telah menghasilkan teknologi sejenis yang tidak kalah bersaing dan
dinamakan Morpalaga (monitoring real time tinggi permukaan air lahan gambut) yang mampu mengirim data seketika setiap 10 menit.
Alat ini akan mengambil data klasifikasi gambut, kedalaman dan tinggi muka air lahan gambut. Data lainnya adalah kelembaban udara, curah hujan dan suhu udara.
Menurut pengembangnya Dr Sidik Mulyono, dari Kedeputian Teknologi
Pengembangan Sumberdaya Alam BPPT, kelebihan Morpalaga dibanding Sesame
adalah, sensor untuk mendeteksi level air tanah menggunakan tipe sonar.
"Sehingga dalam kondisi air keruh sekalipun pengukuran tetap dapat
berlangsung. Berbeda dengan tipe pressure gauge, pengukurannya akan
terganggu saat berlumpur," ujar alumni Nihon University, Jepang
tersebut.
Selain itu, telemetrinya (teknologi yang memungkinkan pengukuran
dan pelaporan informasi jarak jauh) menggunakan protokol USSD
(Unstructured Suplementary Service Data), yang merupakan jalur kosong
dan protokol yang bersih (non-voice).
"USSD mampu mengirim data dalam kondisi sinyal yang sangat minim,
hanya 1 bar. Sistem ini memang rumit karena sinyalnya acak, jadi kami
perbaiki agar bisa diterapkan," katanya.
Pengiriman data melalui GSM biasa, ujarnya, akan memungkinkan
banyaknya data yang tidak terkirim, selain itu dengan menggunakan server
awan (cloud) pihak ketiga juga memungkinkan data bocor ke pihak yang
tidak dikehendaki.
"Untuk wilayah terpencil yang belum mendapat sinyal GSM, kami juga
telah mengembangkan radio telemetri hingga radius 20 km, sehingga
sinyalnya akan disambungkan oleh pemancar ke router lalu ke penerima GSM
terdekat," katanya.
Lebih Murah
Kelebihan berikutnya adalah
harganya dan biaya perawatannya murah karena diproduksi di dalam negeri,
bahkan diberi jaminan lima tahun untuk memperbaiki atau mengganti
komponen yang rusak.
"Hampir semua komponen Morpalaga milik lokal, hanya sonar saja yang
masih impor dari Eropa, Jepang pun impor. Apalagi komponen-komponen
Morpalaga akan diproduksi massal oleh industri kecil menengah," katanya
sambil mengatakan pihaknya telah mengajukan paten sejak 2016.
Sejumlah pihak yang berkepentingan seperti Badan Restorasi Gambut
(BRG) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga telah
menunjukkan minatnya menggunakan Morpalaga selain juga meminati Sesame
untuk kepentingan pemantauan lahan gambut.
Bagi Sidik, tidak masalah apakah pada akhirnya teknologi buatan
Jepang yang beberapa kali lipat lebih mahal itu lebih dipilih daripada
hasil kreasi BPPT.
Sudah banyak hasil inovasi anak bangsa yang berkualitas pada
akhirnya tidak terpakai karena teknologi impor lebih diminati, apalagi
teknologi asing tersebut masuk melalui hibah.
Indonesia memang banyak berutang budi pada Jepang seperti pemberian
ribuan beasiswa, namun demikian Indonesia sudah mengembalikannya
terlalu banyak dalam bentuk pasar dan ketergantungan teknologi.
Adu teknologi Indonesia dan asing di lahan gambut
Sabtu, 25 Maret 2017 10:25 WIB