Jakarta, Antarajambi.com - Bank Indonesia menerbitkan dua peraturan
baru terkait pinjaman atau pembiayaan likuiditas jangka pendek kepada
bank konvensional dan bank syariah, yang merupakan ketentuan teknis
hasil penyelarasan dari Undang-Undang Pencegahan dan Penanganan Krisis
Sistem Keuangan (UU PPKSK) Nomor 9/2016.
Dua peraturan tersebut akan menjadi koridor bagi Bank Sentral saat
ingin memberikan pinjaman atau pembiayaan jangka pendek kepada perbankan
yang dilanda kesulitan likuiditas dan berpotensi menimbulkan krisis.
Berdasarkan salinan dua PBI tersebut yang dikutip di Jakarta,
Selasa, ada syarat bagi perbankan konvensional dan syariah jika ingin
memperoleh Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) dan Pembiayaan
Likuiditas Jangka Pendek Syariah (PLJPS) tersebut.
Tercantum dalam Peraturan BI (PBI) No.19/3/PBI/2017 tentang PLJP
bagi Bank Umum Konvensional, dan PBI No.19/4/PBI/2017 tentang PLJPS bagi
Bank Umum Syariah, BI mensyaratkan bank konvensional yang dapat
memperoleh PLJP adalah bank yang harus solven, memiliki komposit tingkat
kesehatan bank paling rendah II, memiliki agunan berkualitas tinggi
sebagai jaminan PLJP, dan diperkirakan mampu untuk mengembalikan PLJP.
Secara umum empat syarat yang sama juga diberlakukan kepada bank umum syariah jika ingin memperoleh PLJPS.
PLJP dan PLJPS ini akan sangat dibutuhkan bank konvensional dan bank
syariah jika mengalami kesulitan likuiditas karena banyaknya arus dana
keluar dibanding dana yang masuk. Sesuai kerangka PPKSK, BI berperan
sebagai "the lender of last resort" melalui instrumen PLJP dan PLJPS.
Adapun kategori solven bagi bank dilihat dari rasio kewajiban
penyediaan modal minimum (KPMM) bulan terakhir dari bank tersebut, harus
paling rendah sama dengan rasio KPMM berdasarkan profil risiko
penilaian dari Otoritas Jasa keuangan (OJK).
Kemudian agunan bagi bank umum konvensional untuk memperoleh PLJP,
kini dapat berupa Sertifikat Deposito BI (SDBI), selain SBI, SBN,
ataupun surat berharga lain yang sesuai persyaratan BI. BI juga
melakukan pembaruan untuk kriteria aset kredit untuk dijadikan agunan.
Sedangkan untuk bank syariah, agunan yang dapat dipergunakan adalah
surat berharga syariah meliputi SBIS, SBSN, dan surat berharga lain yang
memenuhi persyaratan serta aset pembiayaan yang sesuai kriteria yang
diatur lebih rigid dalam PBI tersebut.
Beberapa hal lainnya yang diatur adalah jangka waktu PLJP maupun
PLPJPS paling lama 14 hari kalender untuk setiap periode dan dapat
diperpanjang secara berturut-turut untuk jangka waktu PLJP keseluruhan
paling lama 90 hari.
Adapun bunga yang dibebankan untuk bank konvensional PLJP adalah
bunga harian atas baki debet PLJP yang dihitung dengan menggunakan
tingkat suku bunga sebesar repurchase agreement rate (tingkat suku bunga
lending facility) ditambah margin sebesar 400 basis poin.
Sedangkan untuk bank syariah, dikenakan bagi hasil harian kepada
Bank atas saldo pokok PLJPS. Dalam perhitungan bagi hasil, ditetapkan
nisbah bagi hasil untuk Bank Indonesia sebesar 80 persen.
Bagi hasil dihitung dengan menggunakan nisbah bagi hasil untuk BI
yang sebesar 80 persen dikalikan dengan tingkat realisasi imbalan
deposito investasi mudharabah sebelum distribusi pada Bank yang
menerima PLJPS.
Selama periode pemberian pinjaman atau pembiayaan itu, bank dilarang
melakukan penempatan dana, menyalurkan kredit atau pembiayaan baru
kepada pihak terkait bank, kecuali untuk pemenuhan komitmen yang telah
diperjanjikan sebelumnya, merealisasikan penarikan dana oleh pihak
terkait bank dan melakukan pembagian dividen.
Selain itu, baik bank konvensional dan syariah, selama periode
pemberian PLJP ataupun PLJPS, hanya dapat mengikuti operasi moneter Bank
Indonesia yang bersifat ekspansi.
Dua ketentuan tersebut berlaku sejak 13 April 2017.
BI terbitkan aturan baru pencegahan krisis keuangan
Selasa, 18 April 2017 21:51 WIB