Tokyo, Antarajambi.com - Gemuruh tepuk tangan memenuhi ballroom Hotel
Imperialisme Tokyo, Jepang, Senin (5/6) petang, sesaat setelah Wakil
Presiden Jusuf Kalla menjawab pertanyaan terakhir Redaktur Pelaksana
Grup Nikkei Seita Sakamoto. Ia adalah moderator acara "Konferensi
Internasional ke-23: Masa Depan Asia" dengan tema "Globalisme di
Persimpangan: Langkah Asia selanjutnya".
Tanggapan dan antusiasme sekitar seratus peserta konferensi
internasional di Hotel Imperial Tokyo, Senin itu, menurut Masaomi
Tanaka, warga negara Jepang penerjemah bagi Wapres JK, termasuk di luar
kebiasaan orang Jepang yang akan menunggu arahan moderator dalam
memberikan aplaus kepada pembicara, Hal itu seperti yang terjadi
sebelumnya usai pidato Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Puc dan
Mantan Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong.
Dalam buku "Mengenal Jepang" karya Yusuke Shindo, masyarakat Jepang
mengenal konsep "wa" yang menginginkan kehidupan yang damai dan
harmonis yang didukung homogenitas dan konformitas masing-masing
individu terhadap kelompoknya, sehingga aksi terorisme sangat dikecam.
Ditambah lagi, masyarakat Jepang secara relatif tidak mengetahui
Islam dengan baik, sehingga begitu mudah pelaku teror akhir-akhir ini
yang sebagian besar adalah muslim, diasosiasikan mewakili ajaran Islam
secara keseluruhan.
Oleh karena itu, penjelasan dan ide yang ditawarkan Wapres untuk
menanggulangi terorisme dengan cara damai disambut antusias oleh sekitar
seratus hadirin Forum Nikkei yang sebagian besar adalah orang Jepang.
Aksi terorisme, radikalisme, dan ekstremisme menjadi salah satu
topik yang banyak diangkat dalam Forum Nikkei, mengingat teror mengancam
stabilitas keamanan dan politik suatu negara maupun kawasan yang pada
akhirnya menjadi sentimen negatif bagi para investor untuk menanamkan
modal dan usaha dalam menjalankan bisnis.
Wapres menyampaikan belasungkawa atas peristiwa teror yang keji
tersebut dan juga menggarisbawahi bahwa radikalisme dan ekstremisme
Wapres tidak mengada begitu saja, tetapi merupakan akumulasi dari rasa
sakit hati, putus asa, dan kemarahan anak-anak dari negara yang gagal,
seperti Afghanistan dengan Taliban dan Suriah dengan ISIS.
"Setiap kali ada aksi teror, selalu pertanyaan kapan dan di mana,
tidak pernah orang menjawab pertanyaan kenapa, padahal selalu terjadi di
negara gagal dan efek dari tindakan semena-mena negara besar kepada
negara-negara itu, timbullah kemarahan, hilang harapan, nah timbullah
radikal," kata dia.
Menurut JK, pertanyaan kapan dan di mana kadang melupakan alasan
yang mendasari pelaku aksi yang rata-rata pelakunya masih berusia muda
itu melakukan pengeboman yang menewaskan dan melukai banyak orang.
Wapres mengatakan saat aksi terjadi, publik dan media mengatakan
alasan mereka melakukannya karena agama, keinginan jihad dan masuk
surga, tapi tidak ada yang bertanya kenapa anak-anak muda itu sangat
yakin akan masuk surga padahal dalam ajaran Islam, orang yang membunuh
dan menyakiti orang lain bukan hanya menyakiti kemanusiaan, tapi juga
mendapat hukuman neraka.
"Percaya bahwa dia akan mati karena jihad dan akan masuk surga
adalah tanda bahwa dia sudah putus asa, kehilangan harapan pada
kehidupan," kata dia.
Oleh karena itu, Wapres mengajak para pemimpin dan masyarakat dunia
untuk menghentikan perlakuan semena-mena terhadap negara lain, dan
membuka pintunya bagi para pengungsi yang sudah terlanjur lari dari
rumahnya untuk mencari keselamatan dan kedamaian.
JK mengatakan tidak ada orang yang ingin meninggalkan negaranya
kalau bukan karena terpaksa akibat perang dan konflik yang
berkepanjangan, sama halnya para pengungsi dari Timur Tengah, terutama
Suriah, yang lari ke negara-negara Barat.
"Kita harus membuka hati kita untuk mereka dan bekerja sama
bagaimana mengembalikan harapan, bagaimana mengurangi kemarahan
anak-anak muda ini, agar anak-anak ini terputus dari radikalisme dan
ekstremisme," kata dia.
"Dari sinilah terorisme berawal, dan kalau induknya tidak berhenti, semuanya juga akan terus beranak-pinak," kata dia.
Akibat maraknya aksi terorisme akhir-akhir ini, Indonesia sebagai
negara berpenduduk mayoritas beragama Islam juga terkena dampaknya,
antara lain aksi ledakan bom di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur,
akhir Mei lalu, dan yang lebih parah adalah cap bahwa Indonesia masih
jadi "sarang teroris".
"Padahal kita adalah korban, Indonesia bukan negara gagal.
Pemerintah tidak akan membiarkan paham-paham radikal dan ekstrem
menyebar luas di Indonesia," kata dia.
Meskipun demikian, Wapres tidak memungkiri adanya perkembangan
pikiran-pikiran radikal dan ekstrem di kalangan masyarakat, antara lain
yang menyerukan khilafah dan mengaku berasosiasi dengan ISIS.
"Tapi jumlahnya tidak sebesar yang dibayangkan, karena majority dari orang Indonesia tidak setuju dengan itu," kata dia.
Terkait dengan upaya penanggulangan terorisme, Jusuf Kalla juga
telah melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Shinzo Abe di
sela-sela Forum Nikkei, yang salah satunya membahas komitmen Jepang
untuk meningkatkan kerja sama dengan Indonesia.
Komitmen Jepang tersebut, antara lain ditunjukkan melalui
penandatangan Nota Pertukaran mengenai Sistem Deteksi Wajah dan Gerakan
kepada Pemerintah Indonesia pada akhir Mei 2017.
Menurut Wapres, komitmen kerja sama antarnegara dalam menanggulangi
terorisme, melakukan tindakan preventif, dan upaya deradikalisasi perlu
ditingkatkan karena pada akhirnya perdamaian harus dipupuk secara
terus-menerus.
Jepang terpikat ide pemberantasan radikalisme-ekstremisme ala JK
Selasa, 6 Juni 2017 14:37 WIB