Pekanbaru (ANTARA Jambi) - Sebanyak 50 juta dari 80 juta anak Indonesia saat ini tidak memiliki status kewarganegaraan, karena mereka belum memiliki akte kelahiran.

"Dampak lainnya anak tidak memiliki akte kelahiran adalah anak tidak bisa mendapatkan perlindungan maupun memperoleh hak atas pendidikan, kesehatan, perlindungan dari kekerasan, dan diskriminasi," kata Maruli pengurus LBH Jakarta dalam surat elektroniknya yang di terima ANTARA Pekanbaru, Rabu.

Ia mengatakan itu berdasarkan data dan pernyataan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Agum Gumelar bahwa tahun 2012 terdapat 50 juta anak dari 80 juta anak Indonesia belum terlindungi identitasnya atau belum memiliki akte kelahiran.

Sementara itu, berdasarkan data statistik Susenas 2011 menunjukan 36 persen atau sejumlah 29.873.000 anak Indonesia tidak dicatatkan kelahirannya. Banyaknya anak yang tidak bisa mendapatkan akte kelahiran antara lain pengurusan akta tersebut lama dan berbiaya mahal.

Bahkan, kata dia, jika orang tua terlambat mengurus akta maka orang tua dikenai denda. Parahnya tanpa akte kelahiran itu anak akan rentan terhadap berbagai ancaman seperti kekerasan, tidak bisa sekolah, terlantar bahkan perdagangan anak.

"Beberapa contoh pengalaman warga dari kalangan keluarga tidak mampu di Jakarta, berusaha mengurus akta anaknya untuk melakukan pengobatan karena masalah gizi buruk," katanya.

Namun, pengurusannya ditolak tanpa alasan yang jelas. Karena tidak  memiliki akta kelahiran anaknya yang berusia empat tahun tidak bisa mendapatkan pengobatan gratis, tidak bisa mendapatkan bantuan susu dan makanan tambahan.

Bahkan tidak sedikit anak-anak yang tidak bisa masuk sekolah atau mendapatkan pengobatan gratis karena tidak memiliki akta kelahiran.

"Kami menyimpulkan, banyak penyebab dari ketiadaan pemenuhan hak anak-anak Indonesia atas akta kelahiran," katanya. Salah satu penyebab utama adalah adanya beberapa pasal dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang tidak sejalan dengan prinsip perlindungan dan pemenuhan hak anak.

Atas persoalan itu,  Jaringan Kerja Akte Kelahiran --beranggota sebelas LSM itu yakni  LBH Jakarta, Sahabat Anak, JKLPK, Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Kampus Diakoneia Modern (KDM), YAPPIKA,  LDD LBH APIK,  PBHI Jakarta,  SOS Children Villages Indonesia dan Kepak Perempuan menyatakan pernyataan sikap.

Pernyataan sikap sebelas LSM itu yakni memuat menolak berbagai peraturan yang menghambat pemenuhan hak akta kelahiran bagi anak-anak Indonesia, menolak berbagai tindakan aparat negara maupun bukan aparat negara yang menjadikan anak sebagai korban atas ketiadaan pemenuhan kesehatan, pendidikan, perlindungan dari kekerasan dan perlakuan diskriminasi.

Pemerintah dalam hal ini, Presiden, Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, serta Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia agar bisa memberikan perlindungan dan pemenuhan hak anak-anak Indonesia yang telah dijamin dalam Undang Undang Dasar 1945 dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Paling penting lainnya adalah Mahkamah Konstitusi perlu membatalkan beberapa pasal dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang telah melanggar hak-hak anak dan bertentangan dengan UUD 1945," katanya.

Apalagi dalam rangkaian memperingati Hari Anak Internasional 20 November 2012, maka hak atas identitas merupakan hak konstitusi agar seorang anak diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak atas identitas tersebut salah satunya tercermin dalam Akta Kelahiran itu, tambah dia.(Ant)

Pewarta:

Editor : Edy Supriyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2012