Jambi, (Antara Jambi) - Selain eksploitasi Sumber Daya Alam secara berlebihan, pembangunan properti oleh pengembang di tengah pemukiman secara serampangan juga dituding sebagai penyebab kerusakan lingkungan di berbagai daerah di Indonesia.

Banjir musiman di pelbagai kota dikatakan sebagai wujud nyata dari buruknya analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), rencana tata ruang wilayah, realisasi pembangunan sanitasi, termasuk sistem drainase banyak properti. 

Mesin pencari Google 'mencatat' sekitar 2.230.000 hasil dalam bentuk berita dan lainnya tentang petaka yang disebabkan oleh pembangunan, saat kita melacak dengan keyword "kasus banjir karena pengembang".

Sebenarnya, banyaknya pengembang yang abai dengan keselamatan lingkungan dalam realisasi pembangunannya, merupakan kerja kolektif yang buruk--untuk tidak menyebutnya persekongkolan jahat--antara pengusaha dengan pihak-pihak tertentu di pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif yang berwenang dalam menerbitkan perizinan suatu bangunan.

Di Jambi, seperti dikatakan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Musri Nauli, rusaknya lingkungan di kota itu disebabkan karena tidak sesuainya pembangunan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Ironisnya, ketidaksesuaian pembangunan itu justru terakomodir dalam Ranperda Tata Ruang dan Wilayah Kota Jambi tahun 2013 ini. 

Menurut dia, banjir di Kota Jambi yang sering terjadi bukan karena meluapnya air kiriman dari wilayah hulu Sungai Batanghari, tapi karena alih fungsi lahan dan tidak sesuainya pembangunan dengan perencanaan tata ruang wilayah.  "Hampir 70 persen pembangunan di kota ini tidak sesuai dengan RTRW," kata dia kepada Antara, beberapa waktu lalu.

Aktivis lingkungan ini lantas menyebut sejumlah bangunan yang nyata-nyata menyalahi aturan peruntukannya, diantaranya wilayah resapan air di Sungai Maram yang dijadikan Kompleks Hotel Abadi dan bantaran Sungai Batanghari menjadi pusat perbelanjaan WTC. "Alih fungsi lahan wilayah resapan air di kawasan Sungai Maram itu merupakan penyebab banjirnya daerah-daerah seperti Jelutung, Kampung Manggis, Pasar dan sekitarnya, begitu juga dengan pembangunan pusat perbelanjaan WTC di bantaran Sungai Batanghari," lanjutnya.

Kasus terbaru terkait potensi banjir karena pembangunan secara serampangan juga terjadi atas rencana pendirian "super blok" oleh pengembang lokal, PT Niaga Guna Kencana (PT NGK) di kawasan padat pemukiman, Simpang Kawat.

Unjuk rasa massa yang mendatangi gedung DPRD sejak beberapa waktu lalu untuk menyuarakan aspirasi mereka atas ancaman banjir dari pembangunan "super blok" itu, datang bergelombang, seiring dengan luapan air yang masuk dan menggenangi halaman, rumah serta dapur mereka. 

PT NGK dituding belum memiliki perizinan yang komplit atas rencana pembangunan itu, namun telah melokalisir wilayah dengan penimbunan dan pemasangan pagar, yang menyebabkan air mengalir ke tempat yang lebih rendah dari lokasi penimbunan. Tempat rendah mana lagi yang tergenang di sekitar itu, kalau bukan pemukiman warga, yang sejatinya memang sudah centang-perenang dari dulunya.

Narasi pengrusakan lingkungan ini belum termasuk ekspansi pengembang-pengembang kecil dan sedang, yang menggarap lahan-lahan kosong di pemukiman padat untuk mendirikan puluhan bahkan ratusan rumah-rumah toko (ruko/rukan) yang berderet-deret hingga 10 unit lebih, atau yang tidak memiliki sistem drainase yang baik, yang jelas turut menyumbang banjir berjangka bulanan di kota itu.

Resiko Pengembang Nakal

Pengembang, pemodal, investor, kita tahu, tentu saja tidak mau mengambil resiko terhadap investasinya dengan permainan perizinan yang menyimpang. Apalagi jika akan berdampak buruk secara sistemik, baik terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan. Namun karena godaan keuntungan dan kemudahan yang instan, yang ditawarkan oleh oknum-oknum tertentu di pemerintahan, membuat pengusaha nakal berani menempuh resiko itu. "Tidak ada api, maka tak akan ada asap", pepatah lama berlaku dalam kasus ini, sebab soal godaan juga dapat dimulai dari sebaliknya; antara pemodal kepada pemerintah.

Konspirasi antara oknum di pemerintahan dengan pengembang nakal terkait perizinan yang menyimpang ini adalah "bom waktu" bagi pemerintah daerah dan pengembang sendiri. Rusaknya lingkungan karena pembangunan memberikan preseden buruk bagi pemerintah atas implementasi kebijakannya, dan berdampak pula pada kepercayaan publik terhadap produk-produk pengembang. 

Kehilangan kepercayaan konsumen terhadap barang produksi produsen (dalam hal ini pengembang yang terindikasi merusak lingkungan) merupakan mimpi buruk di malam yang gelap bagi mereka (pengembang), khususnya di Jambi.

Mengapa Jambi?

Perekonomian Provinsi Jambi berdasarkan hasil Kajian Ekonomi Regional (KER) Bank Indonesia pada Triwulan III tahun 2013 ini masih tercatat sebagai daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Sumatera, meski mengalami perlambatan dari tahun sebelumnya, yang bertumbuh sebesar 7,59 persen. Namun artinya, iklim investasi dan perputaran arus uang dan barang di daerah Pesisir Timur Pulau Sumatera ini terbilang tinggi dan cukup stabil di putaran atas.

Dalam bidang properti, berdasarkan data BI, jumlah kredit properti Jambi pada Mei 2013 sebesar Rp3,24 triliun, atau setara 15,18 persen dari total kredit Jambi yang mencapai Rp 21,3 triliun. 

Memang ada penurunan dari tahun 2012 lalu yang sampai mencapai 17,55 persen, namun sinyal positif perkembangan bisnis properti dari tahun ke tahun tidak dapat terbantahkan. Banyak analisa tentang potensi investasi dan kokohnya modal tanam duit sepertinya ini oleh berbagai ahli. 

Kenyataannya, Jambi secara nyata memang dilirik para pengembang properti dalam ekspansi bisnisnya, mulai dari developer lokal hingga sekelas Ciputra, dengan proyek Citra Raya City-nya yang disebut-sebut sebagai proyek Ciputra terbesar di Sumatera. Proyek yang dibangun di atas lahan seluas 1.000 hektare itu terletak di KM 12 Pematang Gajah, Mendalo Darat, Muaro Jambi, dan disebut sebagai kota satelit. 

Ciputra main cantik dengan bisnis propertinya di pinggiran Jambi. Dia tahu, sebagai ibu kota provinsi, Kota Jambi saat ini sudah hampir suntuk dan ramai dengan urbanisasi. Dengan luas sekitar 205 kilometer persegi dan jumlah penduduk hampir 600 ribu jiwa, Kota Jambi hampir luber, hampir penuh dengan manusia dan arus kendaraan yang lalu lalang. Banjir, macet dan lahan yang semakin sempit, mahal dan tata ruang yang semrawut akan menjadi persoalan laten yang serius bagi bisnis propertinya. 

Inovasi Pengembang Bagi Lingkungan

Demikianlah, pengembang cerdas tidak berkutat di lahan sedikit, di lahan sempit, di lingkungan yang jumud. Pengembang yang kreatif dan inovatif berusaha memecahkan persoalan ketersediaan lahan dan lingkungan dengan cara menggeser "mindset" kaum urban, untuk bertempat tinggal di pinggiran yang lapang, namun dengan fasilitas lengkap selayaknya sebuah kota.  

Konsep kota mandiri, kota wisata, kota satelit, superblok atau jenis-jenis pemukiman lainnya yang terintegrasi dengan fasilitas perkantoran, belanja, wisata dan pendidikan, dengan infrastruktur yang yahud dan ramah lingkungan memang menjadi tren terkini, dan jelas solusi masa depan bagi perkembangan suatu kota.  

Sebenarnya konsep kota mandiri yang ramah lingkungan telah dimulai oleh PT Bumi Serpong Damai (BSD), anak perusahaan Sinar Mas Land dengan proyek BSD City Development sejak beberapa tahun lalu di Tangerang. BSD yang semula nyaris "tenggelam" pada pertengahan 2000-an, sehingga diplesetkan secara kocak sebagai "Bintaro sonoan dikit", diubah konsep oleh Michael Widjaja, CEO muda, generasi ketiga pemilik Sinar Mas Group.

Konsep hijau yang diterapkan Michael Widjaja pada BSD City, akhirnya menjadikan hunian ini bernilai tinggi dan memiliki kelebihan di semua lininya, bahkan menjadi sebuah masterpice karya inovatif di bidang lingkungan oleh Sinar Mas Land. Karya tersebut bahkan berhasil menyabet banyak penghargaan dari lembaga properti dunia, seperti yang terbaru "South East Asia Property Award 2013" dan Forbes Asia “200 Best Under A Billion” Award.

Kategori Green Development pada "South East Asia Property Award 2013" yang diraih Sinar Mas Land ini didapat dari proyek BSD Green Office Park. Proyek ini dianggap dan terbukti memiliki desain dan konsep yang mengimplementasikan inisiatif hijau sehingga memberikan manfaat ke masyarakat di bidang lingkungan hidup. Bahkan untuk memantapkan konsep hijau dalam imperium propertinya, Sinar Mas Land telah memindahkan perkantoran ke kawasan yang saat ini disebut Green District, dengan bangunan-bangunan yang mengacu pada konsep Green Building.

Beberapa proyek Sinar Mas Land lainnya yang bervisi lingkungan juga sudah menyabet penghargaan internasional, yakni "Hongkong Green Building Award" untuk dua bangunan, Sinar Mas Land Plaza dan Kampus Institut Teknologi & Sains Bandung (ITSB) di Kota Deltamas Cikarang.

Dari sekian inovasi Sinar Mas Land terhadap pengembangan propertinya, proyek "hijau"yang ramah lingkungan--dan inilah kelebihan Sinar Mas Land dari pengembang lainnya--adalah proyek yang paling fenomenal di tengah kegelisahan dunia atas dampak perubahan iklim yang semakin menjadi-jadi. Konsep hijau atau ramah lingkungan yang digagas oleh Michael Widjaja, sang CEO muda itu diwujudkan dalam pengelolaan proyek yang memperhatikan aspek lingkungan yang sejalan dengan solusi atas kegelisahan terhadap perubahan iklim dunia. 

Sinar Mas Land dengan konsep green (green building, green office dan green district dalam satu kesatuan green development) memang terlihat ingin ambil bagian dalam upaya-upaya nyata pelestarian lingkungan. Isu lingkungan ini diterapkan dalam keseharian di perusahaan dan implementasi pada produk-produk propertinya. Seperti dikatakan Michael Widjaja, dia ingin semua perusahaan propertinya yang bernaung dalam Sinar Mas Land menjadi pelopor dalam pengembangan bangunan prolingkungan.

Konsep hijau Sinar Mas Land bukan hanya jargon atau latah, dengan menanam pohon, misalnya, tapi betul-betul terimplementasi sejak mulai dari persiapan bahan baku dan rencana tata ruang. Sinar Mas Land Plaza di BSD City, misalnya, ruang lobi mencakup separuh bangunan, tidak lagi menggunakan AC, bangunan lobi dibuat tinggi dan beberapa bagian terbuka. 

Kemudian, hampir semua bahan yang digunakan lahir dari proses ramah lingkungan. Misalnya, kayu dan papan adalah papan ramah lingkungan. Lantai dan kaca dari proses ramah lingkungan. Lalu, konstruksi jendela diatur agar angin leluasa menyelusup. Ribuan pohon ditanam, dibiarkan tumbuh subur, untuk menemani kehidupan manusia yang damai.

Demikianlah, pengembang cerdas selalu berinovasi untuk kehidupan yang lebih baik. Pengembang kreatif tidak saja mementingkan aspek bisnis semata dengan mengenyampingkan persoalan-persoalan yang berdampak luas, tapi mengelola potensi dampak itu menjadi inovasi yang pada akhirnya akan menguntungkan secara bisnis. 

Inovasi dan konsep yang diterapkan Sinar Mas Land, sudah selayaknya ditiru oleh pengembang, khususnya di daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah harus pula merespon soal ini dengan langkah-langkah yang tepat, sehingga keuntungan bisa diraih, pembangunan bisa dilaksanakan dan  tidak ada rakyat yang dirugikan, lingkunganpun selamat. (Ant)

Pewarta: Nurul Fahmy

Editor : Nurul


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2013