Jambi (ANTARA Jambi) - Mendengar kata "hutan" sudah terlintas dibenak adalah sebuah tempat yang dipenuhi pohon-pohon liar dan jenis tanaman termasuk satwa buas di dalamnya.

Namun defenisi itu sepertinya tidak berlaku bagi warga Sungai Beras, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Dimana mereka malah memanfaatkan hutan sebagai lahan untuk bertani.

Pagi itu, Kamis (22/9) sekitar pukul 08.00 WIB, ANTARA berkesempatan mengunjungi Desa Sungai Beras di Kecamatan Mendahara Ulu yang berjarak sekitar150 kilometer dari pusat Kota Jambi itu. Butuh waktu tiga Jambi lebih untuk sampai ke desa yang dulunya merupakan daerah penghasil beras.

Tiga jenis kendaraan harus digunakan untuk sampai ke desa yang semuanya tanahnya bergambut. Pertama mengunakan roda empat dan setelah itu jalur mobil diputus oleh belahan sungai Mendahara. Penulis dan rombongan terpaksa mengunakan perahu kecil untuk menyebrangi sungai yang merupakan jalur transportasi utama warga sejak tahun 80an.

Tidak hanya itu, setiba di seberang sungai yang sudah masuk wilayah desa, kendaraan roda dua sangat diperlukan untuk sampai di kawasan hutan gambut tersebut dengan ajrak tembuh 30 menit.

Lelahnya perjalanan seketika itu hilang saat memandang luasnya hutan gambut yang sudah dikenal dengan sebutan "Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh". Suasana hutan yang asri ditambah suara kicauan burung mengingatkan kita akan kekayaan alam di wilayah Indonesia ini.

Kelompok tani desa setempat langsung menyambut kedatangan penulis bersama rombongan yang difasilitasi KKI Warsi. Menu santapan siang hari pun sudah tersedia dan kami yang saat itu berpeluh tak segan langsung menyantap, tentunya setelah tawaran disampaikan dari tuan rumah.

Setelah ada perbincangan dengan masyarakat sekitar, diketahui Hutan Lindung Sungai Buluh saat ini memiliki luasan 2.200 hektare. Dari jumlah itu 400 hektare ditetapkan sebagai hutan desa dengan skema Pengelolaan Hutan Berbassis Masyarakat (PHBM) pada tahun 2013.

Pengelolaan hutan gambut ini di wilayah ini cukup unik, dimana masyarakat desa Sungai Beras yang tergabung dalam kelompok tani memanfaatkan hutan dengan bertani. Tapi tidak merusak ekosistim yang ada.

Dimana mereka menanam lada, kopi, nanas, jengkol dan tanaman lainnnya. Cara tanam mereka tidak harus dengan `land clearing`.

Ketua Kelompok Tani Senang Jaya Desa Sungai Beras, Hamid, mengatakan hutan lindung itu diusulkan pengelolaannya oleh masyarakat sejak tahun 2012. Dan tahun 2013 barulah disahkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan.

Setelah ditetapkan hutan desa maka masyarakat mulai menggelola dengan bertani. Ada enam kelompok tani yang terbentuk untuk 400 hektare luasan hutan desa itu.

"Yakni Kelompok Tani Senang Jaya, Pagar Indah 1, Pagar Indah 2, Sungai Beringin Jaya 1, Sungai Beringin Jaya 2 dan Kelompok Tani Lapis," kata Hamid.

Khusus Kelompok Tani Senang Jaya Sungai Beras memanfaatkan hutan gambut dengan menanam pohon jelutung sebagai penyeimbang kawasan hutan. Di samping itu mereka bertani dengan menanam lada atau merica.

Tanaman lada dipilih karena berdasarkan kajian Warsi selaku pendamping kelompok tani cocok ditanam di kawasan gambut dan lada bernilai jual tinggi. Yang mana satu kilogram lada bisa mencapai harga Rp150-200 ribu.

"Akhirnya kita sepakat mengembangkan lada di hutan desa gambut ini. Saat ini sudah 1.000 bibit lada ditanam, dan targetnya sebanyak 10.000. Satu bibit lada bisa menghasilkan buah 1-2 kilogram," kata Hamid.

Pola menanam lada kata Hamid menggunakan satu pohon jenis apapun yang ada di hutan. Artinya masyarakat bertani tidak dengan membuka lahan.

"Tanaman lada seperti benalu, dia terus menempel di batang pohon, makanya kita tanam disetiap pohon yang ada di hutan. Kita bertani tidak menghilangkan tanaman yang ada, paling hanya membersihkan bagian bawah pohon yang akan ditanam lada itu," katanya menjelaskan.

Hamid mengatakan hanya di Sungai Beras dan satu-satunya di Provinsi Jambi kelompok tani yang menanam lada di hutan gambut.

Selain lada, Hamid mengatakan masyarakat juga menanam nenas dan jengkol di hutan yang kedalaman gambutnya lebih dari delapan meter itu.

"Untuk tanaman yang kita tanam memang belum manghasilkan, tapi kita yakini ini berhasil dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat Sungai Beras. Kita targetkan lada itu panen tahun awal 2018 mendatang, saat ini umurnya baru rata-rata empat bulan," katanya.

Fasilitator Desa KKI Warsi Bimo Premono, mengatakan khusus tanaman jelutung saat ini sudah ditanam di kawasan hutan desa sebanyak 25 ribu batang.

"Bibit jelutung juga dibantu Dinas Kehutanan, dari Warsi juga ada. Pengelolaan hutan gambut ini juga upaya menjaga ekosistim hutan gambut di Jambi," kata Bimo.

Di kawasan hutan gambut Desa Sungai Beras ini juga dibuat pembibitan jenis tanaman mulai dari lada, jengkol, nenas dan jelutung.


Solusi konflik, perambah dan kebakaran

Bertani di hutan adalah solusi menghindari terjadi kebakaran, sebab masyarakat tentu akan menjaga hutan dengan baik karena ada tanaman mereka di dalam hutan.

Itu terbukti dalam dua tahun belakangan ini, kawasan hutan desa Sungai Beras tidak ikut terbakar meski Jambi mengalami bencana kebakaran hutan dan lahan.

Tokoh Masyarakat Sungai Beras Suyono, mengatakan masyarakat Sungai Beras umumnya bermata pencaharian mengandalkan dua komoditi yakni pinang dan kelapa.

Namun sebagian ada yang menanam sawit tapi itu sepertinya tidak bisa berlangsung dalam jangka panjang. Sebab sawit yang ditanam di lahan gambut di wilayah desa rata-rata tumbang/miring setelah berumur lima tahun. Penyebabnya kedalaman gambut yang lebih dari dua meter.

"Saat ini tanaman kelapa dan pinang sedang mengalami pengurangan produksi (trek). Dengan pola bertani di hutan ini diharapkan bisa menjadi penghasilan utama masyarakat terutama lada. Tapi tentunya tetap menjaga ekosistim hutan. Ini baru contoh kalau berhasil tentu semua masyarakat di sini tertarik," kata Suyuno yang juga mantan kepala desa setempat.

Fasilitator KKI Warsi wilayah Tanjung Jabung Timur Wazan Alkirom, mengatakan skema pengelolaan hutan adat oleh masyarakat ini menjadi solusi penyelesaian konflik dengan perusahaan perkebunan di sekitar desa yang mendapat izin HGU.

"Selain itu juga upaya merehabilitasi hutan, menjaga dari perambah dan menjaga hutan dari kebakaran yang menyebabkan kabut asap. Terbukti 2015 hutan desa Sungai Beras tidak terbakar karena masyarakat betul-betul menjaga kawasan hutan," kata Wazan.

Wazan mengatakan Warsi sebelumnya juga sudah melakukan kajian terhadap tanaman yang betul-betul cocok untuk di hutan gambut. Salah satunya dengan menanam lada dan itu mendapat respon positif oleh masyarakat khususnya kelompok tani Sungai Beras.

Wazan menjelaskan, dalam menanam lada memang diperlukan pohon tegakannya dulu. Dan yang dimanfaatkan adalah pohon yang ada di hutan. Bukan dengan membuat `land clearing` atau merusak hutan.

Hutan lindung gambut ini kata Wazan dulunya eks HPH perusahaan Batara Timber. Tahun 1995 baru pemerintah menetapkan sebagai kawasan hutan lindung.

Wazan mengatakan masyarakat Sungai Beras dulunya daerah penghasil beras, semua warganya menanam padi. Namun sejak adanya perusahaan di sekitaran desa dan membuat kanal-kanal, gambut perlahan mengering dan mengeluarkan racun hingga padi tidak bisa lagi ditanam.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Jambi melalui Dinas Perkebunan mendukung penuh upaya Kelompok Tani yang berupaya menanam lada di hutan gambut tersebut.

"Kami prinsipnya sangat mendung penuh, kita juga nanti akan lihat. Jika belum ada kajian kita akan lakukan penelitian," kata Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Budidaya.

Dia juga mengatakan upaya masyarakat setempat patut diapresiasi, sebab hal itu juga salah satu cara meningkatkan perekonomian disaat harga komiditi sawit dan karet menurun.(***)







Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Dodi Saputra


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2016