Jakarta (ANTARA Jambi) - Joko Widodo (Jokowi) dalam dua tahun terakhir adalah tokoh sentral Nawacita di Tanah Air.

Dua tahun terakhir itu pulalah dia menjadi simbol bagi tempat bersandarnya asa dan pengharapan masyarakat seluruh Indonesia yang begitu tinggi terhadap pemerintahan.

Jokowi dalam dua tahun perjalanannya memimpin sebuah bangsa yang begitu besar bernama Indonesia selalu diliputi dukungan sekaligus pesimisme dalam waktu bersamaan.

Jejak langkahnya yang selalu rajin "blusukan" juga selalu menarik diamati sekaligus untuk dipuji ataupun dicaci.

Bagi sebagian orang, dia adalah wujud kerja nyata. Namun, bagi sebagian yang lain mantan Gubernur DKI Jakarta itu adalah simbol pencitraan.

Namun, Presiden RI Jokowi mempunyai cara tersendiri untuk membangun eksistensi bagi Nawacita yang digagasnya sebagai haluan dalam pembangunan lima tahun pemerintahannya bersama Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.

Slogannya untuk Kerja, Kerja, Kerja membuat pria asal Solo itu tidak lekang dikritik pedas, alih-alih dia menunjukkan diri sebagai pemimpin yang paham benar terhadap sesuatu yang diputuskannya.

Jika mengamati lebih jauh sepak terjangnya dalam dua tahun terakhir, Jokowi bisa dikatakan sebagai "profesor" strategi yang independen dengan segudang taktik yang lebih maju beberapa langkah dari lawan-lawan politiknya.

Dalam dua tahun itu pula langkah Sang Presiden selalu sulit dipredikasi lawan politik sehingga menjadi sosok "Merdeka Utara" yang kini paling diwaspadai.

Namun, di mata rakyatnya, dia menjelma menjadi "bapak" yang melindungi, bahkan tidak segan berbagi payung dengan bawahannya, membelikan buku untuk anak sekolah, memberikan kaus baru untuk para pemuda desa yang bersemangat, dan menghadiahkan sepeda tanpa disangka-sangka.

"Itu buku tulis biasa yang ada tulisannya ayo belajar. Saya ingin anak-anak itu rajin belajar," kata Presiden Jokowi saat ditanya soal kebiasaannya membagikan buku tulis saat "blusukan".

Ekspektasi Tinggi

Sebagai pemimpin tertinggi, Presiden Jokowi tidak pernah mau berkompromi dengan para bawahannya.

Apalagi, ketika dia sadar benar betapa ekspektasi masyarakat begitu tinggi terhadapnya.

Oleh karena itulah dalam dua tahun terakhir dan menjelang setengah perjalanannya sebagai pemimpin negeri, Jokowi menegaskan bahwa dirinya ingin membumikan visi Nawacita untuk membangun Indonesia.

Visi pemerintahan Jokowi-JK telah dirumuskan dalam Nawacita yang memiliki tiga ciri utama, yakni Negara Hadir, Membangun dari Pinggiran, dan Revolusi Mental.

Nawacita adalah konsep besar untuk memajukan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.

"Untuk mengubah dan mewujudkannya, diperlukan kerja nyata tahap demi tahap, dimulai dengan pembangunan pondasi dan dilanjutkan dengan upaya percepatan di berbagai bidang," kata Presiden Jokowi.

Maka, kebijakannya pun terasa demikian dipercepat mulai dari percepatan infrastruktur, percepatan pembangunan manusia, hingga percepatan kebijakan deregulasi ekonomi.

Dalam diplomasi luar negeri Jokowi memiliki cara tersendiri untuk menempatkan Indonesia pada peta dunia secara tegas dan terhormat tanpa menurunkan derajat toleransi dan pengeratan kerja sama dengan negara lain.

Nawacita juga diterjemahkan dalam pembangunan pariwisata, fokus pada Papua, reforma agraria, poros maritim, amnesti pajak, fokus pada pembangunan desa dan wilayah terluar, terdepan, dan tertinggal, serta fokus pada reformasi hukum salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Presiden tentang Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli).

Pro dan Kontra

Dalam dua tahun berjalannya pemerintah, Jokowi tidak terlepas dari pro dan kontra, terutama terkait dengan tingkat kepuasan publik.

Menanggapi hal itu Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung mengemukakan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dalam dua tahun, kepuasan publik terus berada pada posisi relatif cukup tinggi.

Menurut Pramono, hampir semua lembaga survei menempatkan kepuasan publik, terutama kepada Presiden mencapai sekitar 66 hingga 68 persen.

"Itu artinya kepuasan itu melebihi dari apa yang diperoleh presiden ketika Pemilihan Presiden (Pilpres) pada waktu itu.  Kalau mau menggunakan ukuran, inilah yang dipakai sebagai ukurannya," kata Pramono.

Faktanya dibandingkan tahun lalu, sejumlah lembaga survei memang merilis hasil makin meningkatnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi-JK.

Center for Strategic and International Studies (CSIS), misalnya, merupakan salah satu lembaga survei yang merilis kian meningkatnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi-JK.

Peneliti CSIS Arya Fernandes mengatakan bahwa tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo menunjukkan kenaikan.

"Peningkatan itu terjadi di hampir semua indikator. Namun, masih ada tantangan di bidang hukum dan ekonomi karena korupsi dan kesenjangan ekonomi," katanya.

Menurut hasil survei CSIS, terjadi peningkatan kepuasan terhadap Presiden Jokowi dari 50,6 persen pada bulan Oktober 2015 menjadi 66,6 pada bulan Agustus 2016.

Secara umum peningkatan kepuasan publik terjadi di bidang ekonomi, hukum, politik, dan maritim. "Yang paling puas di maritim," katanya.

Survei SMRC juga menyatakan hal serupa yang kian menunjukkan tingginya ekspektasi masyarakat terhadap Presiden Jokowi.

Namun, hal itu tidak lantas membuat Presiden Jokowi terlepas dari kritik. Sejumlah pihak masih menganggap Jokowi gagal menstabilkan harga pangan, tidak berhasil menangani korupsi, gegabah dalam membangun infrastruktur, dan kerap keliru mengambil kebijakan karena kurang detail dalam membaca sesuatu.

Wakil Ketua DPR RI Fadzi Zon yang juga politikus Partai Gerindra, misalnya, mengkritik keras Jokowi karena belum mampu menekan tingginya harga bahan pokok. "Di sisi lain, masyarakat kesulitan mendapatkan pekerjaan," katanya.

Fadli pun membandingkan Indonesia dengan negara tetangga yang makin maju pesat. Indonesia terkesan hanya bisa jalan di tempat.

Kritik serupa disampaikan anggota DPR RI Fahri Hamzah yang mengatakan bahwa revolusi mental dalam masa pemerintahan Jokowi-JK belum seperti yang dijanjikan.

Faktanya Istana tidak pernah bereaksi terlalu keras terhadap kritik, bahkan ketika mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melayangkan kritik pedas terhadap Jokowi.

Sekretaris Kabinet Pramono Anung bahkan menyatakan kritik merupakan sesuatu yang layak untuk diapresiasi. "Jadi, kita harapkan selalu mengkritik," kata Pramono.

Bagaimanapun pujian ataupun kritik akan selalu mewarnai sebagai keniscayaan bagi jalannya sebuah pemerintahan.

Dalam optimisme yang menjelang, setidaknya ada jejak-jejak pembangunan yang ditorehkan Jokowi. Di sanalah asa itu digantungkan bagi Indonesia yang makin hebat.


Pewarta: Hanni Sofia Soepardi

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2016