Jambi (ANTARA Jambi) - Siang itu, Kamis (16/11) pukul 13.00 WIB, penulis mendatangi komplek perumahan nelayan di Kecamatan Tungkal Ilir, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi. Dari kejauhan suasana hangat kekeluargaan sudah terlihat di kawasan itu.

Merasa penasaran, penulis terus melangkah sembari melempar senyum seketika bersua dengan anak-anak maupun ibu-ibu penghuni rumah-rumah itu yang tengah asik duduk di teras rumah. Tak terasa langkah kaki ternyata sudah mengelilingi komplek sambil menghitung banyaknya bangunan rumah permanen itu. Ya, 100 rumah terlihat berdiri mantap di situ.

Rasa heran terlintas sejenak usai berhenti dari mengelilingi perumahan itu, sembari memandang puluhan rumah yang konstruksinya sama persis. Penulis heran karena belum bersua bapak-bapak atau lelaki dewasa di kawasan itu, niat hatipun ingin bertanya namun suara dengan tiga kata dari salah satu rumah mendahului niat bertanya tadi, "Cari siapa mas". Sontak leher langsung mencari sumber suara tersebut. Ya ternyata suara itu dari arah belakang.

"Iya bu..! bapak-bapaknya pada kemana ya" jawab ku waktu itu. "Pada melaut,tunggu saja", jawab ibu itu yang belakangan ku ketahui namanya ibu Kartini dan sepertinya dia mengetahui lawan bicaranya adalah seorang wartawan, sebab saat itu penulis memakai baju kebesaran media "ANTARA".

"Tunggu aja, sebentar lagi pada pulang," kata wanita yang namanya sama dengan nama Pahlawan Nasional Pejuang Emansipasi wanita itu, sembari mempersilahkan penulis duduk di teras kecil rumahnya.

Mendapat tawaran itu, penulis pun sedikit malu, namun tetap saja duduk di tempat yang dipersilahkan karena perjalan dari Kota Jambi menuju kabupaten di pesisir timur Jambi itu butuh waktu tiga jam. Pembaca yang budiman pun pasti merasakan dan terlintas dipikiran betapa letihnya diriku saat itu.

Singkat cerita, diketahui bahwa 100 unit perumahan nelayan tepatnya di Desa Parit-4, Kelurahan Tungkal II itu adalah bantuan pemerintah pusat yang disalurkan melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tahun 2015.

Nelayan-nelayan yang berhak mendapati rumah itu adalah nelayan yang betul-betul tidak punya rumah atau mengontrak tapi kontrakannya benar-benar tidak layak huni. Nelayan kecil ini umumnya bermukim di pinggir laut.

Nelayan yang masuk seleksi untuk menempati rumah permanen bertipe 36 itu tentu merasa sangat-sangat terbantu. Sebab hasil verifikasi tim kabupaten, rumah mereka selain tidak layak huni, kondisi lingkungan juga tidak sehat.

Tidak hanya itu, beban biaya nelayan tidak mampu juga berkurang. Dimana mereka tidak lagi membayar uang kontrakan dan tersedia fasilitas air bersih, listrik serta lingkungan yang bersih.

"Alhamudillah kita senang bisa tinggal di perumahan ini. Kita tinggal menempatinya saja. Fasilitas air bersih dan listrik juga tersedia, biaya yang dikeluarkan per bulan hanya untuk listrik dan air saja," kata ibu Kartini.

Perbincangan dengan ibu Kartini saat itu cukup bagi saya menterjemahkan bahwa rata-rata mereka nelayan kecil yang menempati perumahan nelayan itu memang merasa sangat terbantu program Kementerian PUPR tersebut.

Lama berbincang, tak terasa jam sudah menunjukan pukul 14.30 WIB, namun penulis belum juga bertemu suami ibu Kartini maupun lelaki dewasa penghuni perumahan nelayan. Kata ibu Kartini para nelayan termasuk suaminya mungkin tengah dalam perjalanan menuju pulang dari laut. Membawa hasil tangkapan atau tidak, kata ibu Kartini tergantung rejeki mereka hari itu.

Sembari menunggu dan penasaran melihat wajah para nelayan seketika pulang dari melaut, penulis pun mencoba mendekati anak-anak yang tengah asik berlari riang sambil sekali-kali menyanyikan sebait lagu-lagu populer meski terkadang makna lagu ketika dilantunkan berubah makna. Tentunya setelah pamit dengan ibu Kartini yang sedari tadi meladeni rasa ingin tau diriku.

Mengamati aktivitas bermain anak-anak, dapat diterka bahwa anak-anak nelayan itu merasa senang tinggal di lingkungan yang bersih. Mereka bisa berlari bebas di jalan-jalan lingkungan rijid beton yang sepertinya satu paket dengan pembangunan perumahan tersebut.

Tepat pukul 15.00 WIB, dari kejauhan tampak dua lelaki dewasa menuju perumahan tersebut, tampilan khas nelayan tampak membalut tubuh mereka. Memakai celana jenis training, baju lengan panjang yang warnanya sudah mulai pudar dan memakai topi serta menenteng balutan kain dengan wajah peluh.

Tak mensia-siakan kesempatan, penulis pun langsung menegur dua lelaki itu sembari mengulur tangan dan memperkenalkan diri serta memberitahukan niat kedatangan. Ya, dua lelaki itu adalah kepala keluarga. Dari perkenalan tadi diketahui satu namanya Hermanto dan satu lagi Juliansyah. "Ayo ke rumah, kita ngobrol", kata pak Hermanto yang usianya ku taksir berkepala empat.

Penulis pun mengikuti pak Hermanto mengarah ke rumahnya, entah kebetulan atau tidak, pak Hermanto ternyata suami ibu yang dari tadi meladeni ocehanku. "Ini suami saya," kata ibu Kartini ku sambut senyum.

Sambil menunggu pak Hermanto berganti pakaian, Ibu Kartini pun menyugukan penulis segelas minuman teh hangat. Terpikir olehku ternyata obrolan pertama tadi ibu Kartini masih enggan mensuguhkan minuman.

"Mari diminum", kata pak Hermanto yang kemudian disusul perbincangan hangat kami. Penulis pun langsung pada pokok persoalan yakni seputar bantuan perumahan untuk nelayan dari Kementerian PUPR itu.

Pak Hermanto tak segan menceritakan jalan hidupnya hingga mendapatkan salah satu rumah di perumahan itu. Ya, dia merasa bersyukur karena diberi kesempatan menempati rumah itu karena memang selama ini dia bersama istri dan tiga orang anaknya berteduh di rumah kontrakan.

"Alhamdulillah kami merasa bersyukur, pertama rumahnya lumayan bagus dan enak ditempati, ada listrik ada air bersih. Kedua yang jelas kami tidak lagi bayar kontrakan," kata pria berusia 40 tahun itu. Tak meleset kan taksiran usia tadi.

Sebelum menempati rumah bantuan itu, Hermanto yang kesehariannya melaut mencari udang getak tinggal di rumah kontrakan kategori sangat-sangat apa adanya. Dia harus meronggoh kocek untuk membayar kontrakan sebesar Rp2 juta untuk enam bulan

Sebab itu dengan bantuan rumah dari Kementerian PUPR ini dirinya termasuk nelayan lainnya memang sangat terbantu. Beban mereka berkurang dan hanya memikirkan pengeluaran bulanan untuk membayar tagihan air dan listrik saja.

Namun sayangnya pak Hermanto enggan menceritakan penghasilan yang didapat dari melaut, dia hanya tersenyum dan memastikan hasil dari menjaring udang getak cukup untuk makan dia dan keluarganya.

Dia menceritakan, sebelum mendapat rumah banyak proses dilalui. Dia dan rumah kontrakannya entah beberapa kali didatangi tim verifikasi bantuan perumahan nelayan dari kabupaten. Bahkan nelayan yang membutuhkan rumah malah mendesak pemerintah agar nelayan yang terdata segera menempati rumah bantuan itu.

"Setelah tau dapat kami yang minta segera pindah. Kan rumahnya sudah selesai tapi tidak ada juga nelayan yang menempatinya. Rata-rata kami di sini tinggal baru satu bulan, sebelumnya kami dikumpulkan di Dinas Perikanan untuk mencabut nomor rumah, jadi kami tidak bisa memilih mau di depan atau di belakang. Saya dapat nomor rumah 52," jelasnya.

Hermanto menyebut dari 100 unit baru 50 unit rumah ditempati. Informasi yang dia dapat 50 rumah lagi tinggal menunggu Sk bupati. Dia menyakini masih banyak nelayan-nelayan yang butuh rumah layak. Sebab nelayan di Kabupaten Tanjungjabung Barat jumlahnya ribuan.

Senada dikatakan Juliansyah yang juga ikut nimbrung obrolan kami. Rumah Juliansyah tepat berhadapan dengan rumah Hermanto. Dia juga mengatakan banyak nelayan lain yang membutuhkan rumah layak seperti di perumahan nelayan yang sudah mereka tempati. Apalagi lokasinya tidak jauh dari laut dan dekat dengan akses sekolah anak-anak.

Jam di handphone sudah menunjukan hampir pukul 16.00 WIB, tapi Penulis tidak banyak bertemu kepala keluarga lainnya selain Hermanto dan Juliansyah. Menurut pak Hermanto kebanyakan sedang melaut, ada yang tiga hari bahkan ada yang seminggu di laut.

Mendengar penjelasan pak Hermanto itu, penulis pun berpamitan dengan kedua kepala keluarga itu dan ibu Kartini untuk pulang. Ya, pulang karena sudah ditunggu anak dan istri di rumah.

Dari obrolan hangat bersama penghuni dan keberadaan penulis selama tiga jam di pemukiman itu, ternyata dapat disimpulkan bahwa besar memang manfaat bantuan perumahan untuk nelayan di Kabupaten Tanjungjabung Barat. Sebab selama ini kebanyakan para nelayan di daerah itu belum berkehidupan mapan.

Di lain kesempatan, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tanjungjabung Barat, Zabur Rustam ketika dihubungi penulis, menjelaskan bahwa perumahan nelayan itu baru ditempati sebanyak 50 Kepala keluarga (KK) sejak 17 Oktober 2016 lalu. Sementara sisanya 50 rumah lagi masih menunggu SK bupati.

Zabur menjelaskan, nelayan yang berhak mendapatkan rumah bantuan Kementerian PUPR itu betul-betul diverifikasi. Kriteria nelayan yang bisa menempati perumahan dengan nilai proyek pembangunan sebesar Rp15 miliar lebih itu adalah yang benar-benar tidak memiliki rumah.

"Nelayan di wilayah kita jumlahnya sekitar 3.000-an. Namun yang mendapatkan bantuan rumah itu nelayan yang benar-benar tidak mampu, makanya kita betul-betul verifikasi dengan mengecek langsung satu persatu kehidupan nelayan dan kemudian di SK-kan bupati setelah itu baru rumah diserahkan," katanya.

Nelayan yang mendapat rumah bantuan itu umumnya warga Kecamatan Tungkal Ilir, salah satu kecamatan yang mayoritas pencaharian masyarakatnya adalah dengan melaut.

Zabur menyebut masih ada ratusan nelayan kategori kurang mampu di Tanjungjabung Barat, sebab itu pihaknya tahun 2017 kembali mengajukan ke Kementerian PUPR agar kembali membangun perumahan untuk para nelayan, juga sebanyak 100 unit.

Perumahan yang ada sekarang ini kata Zabur diprioritaskan bagi nelayan di Kecamatan Tungkal Ilir, karena lokasi perumahan berada dalam wilayah kecamatan itu. Ada yang berasal dari Kelurahan Tungkal II, Tungkal III, Tungkal Harapan dan Kampung Nelayan.

"Di kecamatan lain juga masih banyak nelayan yang butuh rumah layak huni. Sebab itu kita berharap usulan pembangunan kembali rumah nelayan di kecamatan lain pada tahun 2017, bisa diterima," ujarnya.

Dikatakan Zabur, rata-rata rumah/kontrakan nelayan sebelum pindah ke perumahan itu memang tidak layak huni ditambah lingkungan yang tidak sehat. Sebab itu para nelayan merasa senang sekali karena mereka saat ini tinggal di lingkungan bersih dan beban mereka berkurang karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kontrak rumah.
 
"Wah perbedaaannya jauh sekali, kami cek rumah kontrakan mereka itu memang tidak layak. Hanya beratap daun, lingkungan tidak sehat rata-rata mereka tinggal dipinggir laut. Tapi di perumahan Kementerian PUPR ini mereka bisa nyaman, sudah ada fasilitas air bersih dan listrik. Mereka tinggal tempati saja," kata Zabur.

Penghuni Dievaluasi

Nelayan penghuni perumahan itu ternyata tidak sepenuhnya langsung memiliki rumah mereka masing-masing. Sebab Pemkab setempat setiap tahun mengevaluasi penghuni rumah. Mereka tidak dibenarkan meninggalkan atau menyewakan kepihak lain.

Kepala DKP Tanjungabung Barat Zabur Rustam membenarkan bahwa pihaknya setiap tahun akan mengevaluasi setiap KK penghuni perumahan nelayan tersebut. Jika penghuni bukan lagi seorang nelayan atau pindah profesi, maka rumah akan diserahkan kepada nelayan yang belum mendapat rumah bantuan itu.

"Kita sudah buat perjanjian tertulis, setiap satu tahun sekali kita akan melakukan evaluasi. Tujuannya untuk melihat dan mendata kembali apakah penghuni masih menjadi nelayan atau tidak. Itu dilakukan agar yang mendapat bantuan benar-benar nelayan yang membutuhkan," kata Zabur.
 
Ke depan kata Zabur, selain perumahan, pemerintah terus membuat program untuk mensejahterakan nelayan. Salah satunya program asuransi nelayan untuk seluruh nelayan di Indonesia.

Kepala Bidang Pengembangan Pesisir Pantai DKP Tanjungjabung Barat Prasejo, mengatakan sebanyak 100 unit rumah sederhana berkonstruksi kayu itu merupakan proyek Kementerian Pekerjaan Umum yang anggarannya bersumber dari APBN.

"Itu juga program khusus dari pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk masyarakat pesisir atau nelayan," kata Prasejo.

Prasejo juga menyebutkan jumlah nelayan di pesisir timur Provinsi Jambi itu hingga saat ini tercatat sekitar 3.000-an jiwa. Mereka adalah warga yang bergantung hidup dari hasil laut dan sungai di Tanjungjabung Barat.

Pemerintah, katanya terus berupaya meningkatkan dan memberdayakan masyarakat pesisir melalui berbagai program. Selain penyediaan rumah layak huni, ada juga pelatihan kepada para nelayan dan keluarganya dengan harapan ke depan ekonomi mereka lebih sejahtera.

Bantuan perumahan nelayan dari Kementerian PUPR di Jambi bukan hanya untuk nelayan kurang mampu di Kabupaten Tanjungjabung Barat.  Perumahan nelayan sebanyak 100 unit juga dibangun di Kecamatan Kuala Jambi, Kabupaten Tanjungjabung Timur dan sudah ditempati.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tanjungjabung Timur Ahmad Riadi Pane, mengatakan nelayan yang menempati rumah permanen berukuran 6×6 meter dengan dua kamar tidur itu wajib merawat serta menjaga rumah mereka.

Hal itu katanya tertuang dalam perjanjian antara Pemerintah Kabupaten Tanjungjabung Timur bersama nelayan penerima bantuan.

"Dalam perjanjiannya tidak boleh dijual atau disewakan. Boleh dipakai seumur hidup dan tidak ada ahli waris dari rumah tersebut," kata Pane.

Di Provinsi Jambi memang hanya Kabupaten Tanjungjabung Barat dan Tanjungjabung Timur yang sebagian masyarakatnya mencari nafkah dengan melaut. Nelayan di dua kabupaten itu pula yang menyumbang produksi perikanan laut Jambi.

Namun hingga saat ini ribuan nelayan di dua kabupaten itu banyak yang belum bisa menciptakan ekonomi yang mandiri. Contohnya banyak nelayan yang belum memiliki rumah yang layak apalagi kehidupan keluarga yang mapan.

Melalui perhatian/bantuan pemerintah baik kabupaten, provinsi maupun pemerintah pusat, diharapkan derajat mereka terangkat. Sebab bagaimanpun para nelayan adalah salah satu "lokomotif" ekonomi daerah.(***)

Pewarta: Dodi Saputra

Editor : Azhari


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2016