Bandung, (Antaranews Jambi) - Lektor kepala di Kelompok Keahlian Teknik Ketenagalistrikan Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Ir Syarif Hidayat melakukan riset dan membuat inovasi alat deteksi peringatan dini petir yang disebut Early Warning Lighting Detection.
Dr Syarif Hidayat di Bandung, Kamis, mengatakan ide pembuatan alat pendeteksi petir ini berawal dari keprihatinannya dan pendapatnya bahwa kekuatan sebuah bangsa seharusnya berawal dari penderitaan bangsa itu sendiri.
"Tidak dapat dipungkiri, Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan tingkat kejadian petir yang cukup tinggi. Energi yang dilepaskan petir bahkan melebihi pusat pembangkit listrik di Amerika, sehingga dapat dibayangkan bencana yang mungkin saja terjadi akibat sambaran petir," katanya.
Dirinya mencontohkan negara Jepang yang terkenal dengan daerah rawan gempa, telah memiliki banyak infrastruktur bangunan tahan gempa. Kemudian Belanda, dicontohkannya banyak memiliki bendungan karena keterbatasan lahan dan letak negaranya yang rata-rata berada di bawah permukaan air laut.
"Begitu pula dengan kita, setidaknya bangsa Indonesia juga memiliki pakar ahli petir, karena kerapatan petir di Indonesia tertinggi sampai 24 sambaran per kilometer persegi per tahun. Itu di daerah Bogor, artinya 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan Jepang, dan dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan Florida, Amerika. Sedangkan di Bandung, sekitar 12 sambaran per kilometer persegi per tahun," ujarnya.
Early Warning Lighting Detection terdiri dari dua bagian utama, yaitu sensor dan prosesor. Sensor dengan diameter 20 cm dan tinggi 15 cm, diletakkan di atas tiang dengan minimal ketinggian satu meter dengan jarak minimal 3 kali dari ketinggian bangunan terdekatnya.
Sedangkan prosesor dari alat pendeteksi petir ini berupa personal komputer yang dihubungkan dengan sensor melalui kabel data dan diberi daya sebesar 10 watt.
Prinsip kerja dari alat ini adalah mendeteksi aktivitas medan elektrostatik di awan dengan radius dua kilometer. Berdasarkan prinsip tersebut, sebuah perangkat yang disebut electric field mill monitor, dapat memberikan prediksi mengenai sejauh mana aktivitas pemisahan muatan tersebut terjadi, sehingga dapat memberikan peringatan dini sebelum petir benar-benar terjadi.
Terdapat empat tahapan peringatan yang dapat diberikan oleh Early Warning Lighting Detection. Tahapan pertama ketika sudah terdeteksi adanya aktivitas pemisahan muatan di awan, yang artinya mulai waspada akan potensi terjadinya petir.
Kemudian tahap kedua, diberikan ketika mulai terjadi pelepasan muatan sebelum petir turun ke bumi. Selanjutnya di tahap ketiga, terakhir, ketika petir sudah turun ke bumi.
Tahap terakhir itu diberikan ketika sudah tidak terjadi aktivitas baik pemisahan maupun lepasnya muatan pada awan, sehingga masyarakat dapat melanjutkan aktivitas tanpa harus ditakutkan dengan terjadinya petir susulan yang tidak diduga.
Dr Syarif mengatakan bahwa seharusnya peringatan maksimum diberikan pada dua tahapan pertama, sehingga daerah yang harus dilindungi sudah harus dikosongkan.
"Daerah yang cocok untuk Early Warning Lighting Detection ini adalah daerah-daerah tempat dilaksanakannya kegiatan luar ruang (outdoor) seperti lapangan golf, daerah pertambangan, pertanian, rekreasi dan lain-lain yang merupakan daerah terbuka," ujarnya.
Saat ini, Early Warning Lightning Detection sedang dalam proses mendapatkan hak paten, dan satu lagi perangkat lunak assesment bahaya petir juga sedang dalam proses mendapatkan hak cipta.
Tak berhenti sampai situ, Dr Syarif yang menyelesaikan studinya di Tokyo University, Jepang, ini juga tetap aktif melakukan pemetaan dan puluhan jenis alat proteksi petir.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2018
Dr Syarif Hidayat di Bandung, Kamis, mengatakan ide pembuatan alat pendeteksi petir ini berawal dari keprihatinannya dan pendapatnya bahwa kekuatan sebuah bangsa seharusnya berawal dari penderitaan bangsa itu sendiri.
"Tidak dapat dipungkiri, Indonesia merupakan salah satu negara tropis dengan tingkat kejadian petir yang cukup tinggi. Energi yang dilepaskan petir bahkan melebihi pusat pembangkit listrik di Amerika, sehingga dapat dibayangkan bencana yang mungkin saja terjadi akibat sambaran petir," katanya.
Dirinya mencontohkan negara Jepang yang terkenal dengan daerah rawan gempa, telah memiliki banyak infrastruktur bangunan tahan gempa. Kemudian Belanda, dicontohkannya banyak memiliki bendungan karena keterbatasan lahan dan letak negaranya yang rata-rata berada di bawah permukaan air laut.
"Begitu pula dengan kita, setidaknya bangsa Indonesia juga memiliki pakar ahli petir, karena kerapatan petir di Indonesia tertinggi sampai 24 sambaran per kilometer persegi per tahun. Itu di daerah Bogor, artinya 10 kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan Jepang, dan dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan Florida, Amerika. Sedangkan di Bandung, sekitar 12 sambaran per kilometer persegi per tahun," ujarnya.
Early Warning Lighting Detection terdiri dari dua bagian utama, yaitu sensor dan prosesor. Sensor dengan diameter 20 cm dan tinggi 15 cm, diletakkan di atas tiang dengan minimal ketinggian satu meter dengan jarak minimal 3 kali dari ketinggian bangunan terdekatnya.
Sedangkan prosesor dari alat pendeteksi petir ini berupa personal komputer yang dihubungkan dengan sensor melalui kabel data dan diberi daya sebesar 10 watt.
Prinsip kerja dari alat ini adalah mendeteksi aktivitas medan elektrostatik di awan dengan radius dua kilometer. Berdasarkan prinsip tersebut, sebuah perangkat yang disebut electric field mill monitor, dapat memberikan prediksi mengenai sejauh mana aktivitas pemisahan muatan tersebut terjadi, sehingga dapat memberikan peringatan dini sebelum petir benar-benar terjadi.
Terdapat empat tahapan peringatan yang dapat diberikan oleh Early Warning Lighting Detection. Tahapan pertama ketika sudah terdeteksi adanya aktivitas pemisahan muatan di awan, yang artinya mulai waspada akan potensi terjadinya petir.
Kemudian tahap kedua, diberikan ketika mulai terjadi pelepasan muatan sebelum petir turun ke bumi. Selanjutnya di tahap ketiga, terakhir, ketika petir sudah turun ke bumi.
Tahap terakhir itu diberikan ketika sudah tidak terjadi aktivitas baik pemisahan maupun lepasnya muatan pada awan, sehingga masyarakat dapat melanjutkan aktivitas tanpa harus ditakutkan dengan terjadinya petir susulan yang tidak diduga.
Dr Syarif mengatakan bahwa seharusnya peringatan maksimum diberikan pada dua tahapan pertama, sehingga daerah yang harus dilindungi sudah harus dikosongkan.
"Daerah yang cocok untuk Early Warning Lighting Detection ini adalah daerah-daerah tempat dilaksanakannya kegiatan luar ruang (outdoor) seperti lapangan golf, daerah pertambangan, pertanian, rekreasi dan lain-lain yang merupakan daerah terbuka," ujarnya.
Saat ini, Early Warning Lightning Detection sedang dalam proses mendapatkan hak paten, dan satu lagi perangkat lunak assesment bahaya petir juga sedang dalam proses mendapatkan hak cipta.
Tak berhenti sampai situ, Dr Syarif yang menyelesaikan studinya di Tokyo University, Jepang, ini juga tetap aktif melakukan pemetaan dan puluhan jenis alat proteksi petir.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2018