Arca Dwarapala yang menjadi simbol sebagai penjaga pintu masuk biasanya memiliki bentuk yang garang dan menakutkan. Namun sosok Dwarapala yang ditemukan di situs Percandian Muarajambi justru memiliki bentuk wajah yang lemah lembut, jenaka dan menggambarkan sosok yang humanis serta menebarkan kebaikan.

Saat itu Kamis 18 Oktober 2018,  waktu siang langit di atas kawasan Percandian Muarajambi diselimuti mendung dan terasa teduh, Abdul Haviz kembali menapaki jejak belasan tahun yang lalu di Candi Gedong II, berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya.

Dalam suasana sunyi di komplek bangunan candi tersebut, Abdul Haviz atau akrab disapa Ahok, mengingat saat ia menjadi tenaga kerja lokal untuk pemugaran candi bersama tim Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi.

Dia berkisah saat itu pada tahun 2001 pernah menjadi tenaga lokal pemugaran Candi Gedong II. Sebelum dipugar kondisi bangunan candi beserta gapuranya tersebut runtuh tak karuan yang mengisyaratkan bahwa dulu ada sebuah peradaban kuno.

Candi Gedong II adalah salah satu bangunan candi yang berhasil dipugar di situs Percandian Muarajambi, di Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi.

Saat menggali sebuah gundukan itu, Ahok mengira akan menemukan sebuah prasasati. Namun ketika terus menggali dan digali reruntuhan pada sisi kiri gerbang Candi Gedong II tersebut, ternyata dia menemukan sebuah Arca Dwarapala yang artinya penjaga "pintu masuk".

Pada umumnya Arca Dwarapala ada sepasang, tapi arca tersebut ditemukan sendiri, atau bisa jadi pasangannya belum ditemukan. Saat ini Arca Dwarapala disimpan bersama dengan koleksi benda sejarah lainnya di Museum Candi Muarajambi yang berada di dalam komplek percandian tersebut.

Arca Dwarapala yang berukuran tinggi 1,5 meter itu berbeda dengan arca penjaga candi di pulau Jawa yang lebih digambarkan berwajah garang. Arca Dwarapala yang ditemukan Ahok itu berwajah ramah dan malah berwajah jenaka meskipun memakai misai.

Tangan kanan Arca Dwarapala itu memegang temeng, dan tangan kirinya memegang pangkal gada. Sementara pada telinganya memakai anting yang agak besar dan memakai pakaian berbentuk cawat.

Berkat menemukan Dwarapala, saat ini nama arca itu pun melekat menjadi gelar namanya, sehingga saat ini ia kerap dijuluki dengan gelar Ahok Dwarapala yang memiliki arti penjaga candi.

Selain berkisah soal pertama kali menemukan Dwarapala, dia pun mengisahkan bagaimana bisa panggil Ahok oleh orang-orang di sekitarnya, julukan nama yang hampir sama dengan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

Dengan masih kental terhadap logat melayunya itu, dia mengaku yang saat itu masih belia tidak bisa melafalkan bicara yang lancar bagi orang-orang disekitarnya.

"Dulu waktu saya masih kecil ngomongnya tidak lancar, bisanya cuma aok, aok... itu saja. Jadi orang di kampung sini manggil saya aok, terus sampai sekarang jadi kebawa sering dijuluki Ahok gitu. Sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Ahok yang mantan gubernur itu," katanya sambil tertawa.  

Ahok merupakan salah satu tokoh pemuda di Desa Muarojambi, secara administrasi desa tersebut berada yang paling dekat disekitar kawasan Percandian Muarajambi. Kawasan percandian ini dalam sejarahnya kala itu dikenal sebagai pusat ajaran Buddhisme.

Cerita berlanjut dan Ahok pun berkisah lebih jauh yang awalnya ia dulu hanya beraktivitas menjadi tenaga lokal pemugaran hingga akhirnya mulai mempelajari sejarah di situs Percandian Muarajambi.

Awalnya memang kata Ahok, membangun dan mempelajari tradisi dan sejarah leluhur di kawasan Percandian Muarajambi itu sangat sulit, dan bahkan ia pernah dianggap oleh segelintir masyarakat di desanya itu sebagai orang gila.

"Saat itu pernah dianggap gila oleh orang di kampung sini, ngapain menggali sejarah candi, enggak kerja ke ladang. Tapi saya menyikapinya dengan rendah hati, itu bukan umpatan, tapi itu untuk motivasi kita, sempat juga malah dibilang orang sini akan pindah agama," kata Ahok saat ditemui di rumahnya yang berada di RT 06 Dusun Sungai Melayu, Desa Muarojambi.

Dengan kegigihannya, ia terus membangun kesadaran masyarakat dengan mendirikan komunitas. Sejumlah komunitas pernah didirikannya bersama dengan pemuda lainnya dan sempat vakum.

Namun waktu terus berlanjut dan kemudian pada tahun 2008 ia kembali mendirikan komunitas Padmasana, yang lebih konsen untuk terus menjembatani masyarakat agar memahami aktivitas mereka di kawasan tersebut.

Melalui komunitas yang telah dibangun Ahok dan temannya itu ingin menunjukan bahwa kawasan Percandian Muarajambi tersebut, adalah sebuah warisan leluhur pada masa lampau yang harus dijaga dan dihormati tanpa memandang suku dan agama.

"Terkait ritual umat Buddha di candi itu, kemudian saya jelaskan bahwa harus memilah mana yang ibadah secara muslim dan mana yang memang untuk menghormati leluhur. Soal itu memang awalnya susah menjelaskan ke orang-orang kampung di sini," kata pria kelahiran 40 tahun silam itu.

Meskipun sulit, kepada masyarakat di desanya Ahok terus menjelaskan bahwa keberadaan Candi Muarajambi bukan merupakan sebuah peninggalan dalam konteks Buddha, melainkan candi tersebut merupakan sebuah peninggalan dari bangsa sebelumnya yang mesti dilestarikan dan dijaga.

"Kita jelaskan kepada masyarakat, karena kalau kita masih bicara bahwa candi ini peninggalan dalam konteks agama, ya tidak bakal terjadi toleransi antarumat beragama," kata dia.
Abdul Haviz atau yang bisa lebih dikenal dengan nama Ahok (kanan) saat foto bersama Bhiksu di situs percandian Muarajambi. (Antaranews Jambi/Dok IG)

Membantu Pelaksanaan Ibadah

Dalam beberapa tahun terakhir hingga sekarang banyak umat Buddha dari berbagai penjuru yang terus berdatangan ke kawasan Percandian Muarajambi. Tak jarang pula Ahok sering diminta membantu pelaksanaan ibadah dan ritual umat Buddha di kawasan percandian tersebut.

Biasanya sebelum pelaksanaan ibadah dan ritual di candi itu, Ahok kerap diminta untuk menyiapkan sesaji, seperti menyiapkan kembang, buah-buahan dan memasangkan dupa di pelataran bangunan candi.

Untuk memasangkan dupa di bangunan salah satu bangunan candi yang akan digunakan ritual itu, ia mengaku juga memikirkan konsep pelestarian dengan memberikan alas di bawah dupa yang akan dibakar itu.

"Saya pernah bilang kepada Bhiksu, bahwa dupa ini kalau bisa dikasih alas, karena kita harus memikirkan konsep pelestarian batu bata, dan justru kemudian saat itu mereka mencontoh dan berkata; ini baru benar, kita boleh beribadah tapi juga harus menjaga pelestariannya," kata Ahok.

Awalnya kata dia, saat diminta untuk membantu menyiapkan sesaji untuk pelaksanaan ibadah umat Buddha itu pernah ada pertentangan hati, sebab Ahok sendiri seorang muslim.

"Awalnya memang pernah ada pertentangan batin, tapi kembali lagi kita ini berbuat, selain untuk membantu orang, saya juga ingin menghormati leluhur. Intinya itu menghormati, bukan menentang," katanya.

Selain itu, Ahok juga biasanya juga menjadi "guide" dan diminta menunjukkan ibadah atau menunjukkan candi yang harus didatangi umat Buddha untuk melakukan ibadah, seperti pembacaan Kitab Parita, Pradaksina dan hingga proses meditasi yang akan dilakukan umat Buddha.

Kemudian suatu ketika Ahok pernah bertemu dengan Tanzin Dakpa (Tashila), yang merupakan guru upacara Tantra Wihara, dari Tibet. Tashila yang merupakan salah satu orang kepercayaan Dalai Lama itu juga pernah beberapa malam menginap di rumah Ahok.

Ahok pun banyak berdiskusi dan banyak mendapatkan pelajaran kebaikan dari Tashila, dan bahkan saat bermalam di rumahnya itu, saat menjelang Subuh ia pernah dibangunkan oleh Tashila.

"Waktu menginap di rumah saya, saat Subuh saya pernah dibangunkan oleh Tashila, saya disuruh shalat, dia sangat menghargai agama saya," kenang Ahok yang mengidolakan sosok Sujiwo Tejo itu.

Ahok pun mengaku sempat pernah melemparkan sebuah pertanyaan kepada Tashila, "agama apa yang paling baik."

"Agama yang paling baik itu, ya agama yang memberikan kebaikan sebanyak mungkin, tidak ada kekerasan," kata Ahok yang menirukan jawaban Tashila saat diberikan pertanyaan tersebut.

Sementara itu, Ketua Perkumpulan Umat Buddha Jambi Rudy Zhang menceritakan saat itu pernah terdapat seorang Bhiksu yang akan berkunjung ke Candi Muarajambi, namun tidak berani mengenakan pakaian Bhiksu dengan alasan takut dan tidak aman.

Namun guna meyakinkan, Rudy kemudian menunjukan kepada Bhiksu perilah kiprah Ahok dan masyarakat tersebut sehingga tidak perlu takut untuk berkunjung ke Candi Muarajambi, sebab di kawasan itu terdapat keindahan dan toleransi umat beragama yang telah terjalin.

"Saya tunjukin foto-foto aktivitas ibadah di Candi Muarajambi, saya jelaskan di sini bukan cuman aman. Tapi di Candi Muarajambi ini memang masyarakat seluruhnya tidak ada yang Buddis, semua masyarakatnya muslim, tapi masyarakat di sana (Muarojambi) sangat baik kepada kami," kata Rudy.

Setelah diyakinkan melalui aktivitas masyarakat di sana, sehingga saat ini situs Percandian Muarajambi menjadi destinasi yang kian diminati oleh umat Buddha, bahkan Bhiksu dari luar negeri tak sedikit yang berkunjung ke kawasan itu untuk melaksanakan perjalanan suci.

Menurut Rudy, Ahok saat ini tidak hanya mendampingi umat Buddha dari dalam negeri, tapi Ahok juga sering membantu ibadah umat Buddha yang dari berbagai penjuru, seperti India, Banglades, Thailand, Kamboja, Tiongkok dan Tibet.

Berkat peran Ahok dan komunitas pemudanya di desa itu, sehingga saat ini keberadaan Candi Muarajambi telah saling memberi manfaat antarumat beragama.

"Ahok dan rekannya sudah mengerti kebutuhan ritual kami, misalnya saat ritual pelepasan hewan, burung, ikan, mereka sudah siapkan, kami butuh bunga, mereka juga siapkan, kami butuh tikar untuk meditasi dengan suasana nyaman, mereka sudah disiapkan," katanya.

Sehingga menurut Rudy, dengan peran Ahok yang turut menjembatani masyarakat untuk saling menjaga warisan leluhur tersebut, saat ini di kawasan tersebut berjalan harmonis, kondisi ini semakin intens terjalin sejak lima tahun terakhir.

Berdasarkan data yang dilansir dari Perkumpulan Umat Buddha Jambi tersebut, saat ini tercatat umat Buddha di Provinsi Jambi sebanyak 30.000 orang. Saat perayaan Waisak setiap tahunnya selalu dipusatkan di kawasan Percandian Muarajambi.

Pada perayaan Waisak 2562 BE (Buddha Earth)/2018 di situs purbakala Candi Muarajambi menjadi pelaksanaan perayaan Waisak bagi umat Buddha se-Sumatra. Perayaan Waisak pada tahun 2018 tersebut bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.

Bahkan perayaannya saat itu panitia yang berasal dari umat Buddha juga menyiapkan takjil untuk berbuka puasa bagi umat muslim yang datang ke kawasan itu.

Selain itu setiap tahun dalam perayaan ibadah menyambut hari Tri Suci Waisak itu, masyarakat desa setempat juga ikut membantu pelaksanaan, seperti menjaga keamaan dan lalu lintas kendaraan yang akan menuju ke kawasan itu.

Sempat Ada Penolakan

Menurut Kepala Dusun I Sungai Melayu, Desa Muarojambi, Saparudin, toleransi antarumat bergama hingga saat ini telah terjaga cukup sangat baik. Hal itu menurut dia tidak terlepas dari komunitas yang telah dibangun oleh Ahok dan pemuda lainnya untuk masyarakat di desanya.

Ia mengatakan tidak mudah yang dilakukan Ahok dan komunitasnya untuk menjembatani dan memberikan pemahaman kepada masyarakat di desa tersebut agar menjaga toleransi.

Ahok dan semua pemuda di desa tersebut kata Supardi, aktif berkecimpung di situs percandian Muarajambi, dan membantu pelaksaan ibadah umat Buddha di kawasan tersebut.

"Memang sebelumnya ada orang (tidak suka) seperti itu, tapi ya itu hanya segelintir orang," kata Saparudin.

Meskipun terdapat segelintir orang yang tidak suka, namun kata Saparudin kondisi keamanan di kawasan tersebut hingga sekarang masih sangat aman, berkat Ahok dan pemuda lainnya cukup berperan dalam menjembatani dan memberikan pemahaman terhadap warga di sekitar kawasan percandian.

Perjuangan yang dibangun Ahok dan pemuda lainnya melalui komunitasnya itu kata dia, juga dengan memberikan edukasi kepada masyarakat di desa. Selain itu edukasi juga diberikan kepada anak-anak penduduk di desa tersebut dengan membentuk Sekolah Alam Raya Muarajambi.

Dulu kata dia, di dalam pelaksanaan sekolah alam yang dilaksanakan setiap hari minggu itu selalu menyelipkan pesan kepada anak-anak untuk terus toleransi dan menjaga warisan sejarah dan peninggalan Buddha di Muarojambi.

Selain itu, berbagai cara dilakukan Ahok dan para pemuda Muarojambi saat itu agar masyarakat dapat mempertahankan toleransi umat beragama lewat pemutaran film dokumenter dan layar tancap di kampung tersebut.

"Mereka peduli dan punya keinginan yang besar supaya generasi besoknya tahu sejarahnya yang memang menjadi tempat anak-anak dilahirkan dan dibesarkan di sini," katanya.

Penduduk di desa tersebut kata Saparudin, berjumlah sekitar 1.000 kepala keluarga yang semuanya muslim. Saat ini di desa sekitar kawasan Percandian Muarajambi itu terdapat dua masjid dan dua mushala.

Dengan pemahaman yang diberikan komunitas yang didirikan Ahok dan pemuda lainnya itu cukup membantu, sehingga saat ini lebih banyak masyarakat yang telah bisa menghargai terhadap aktivitas di kawasan Percandian Muarajambi itu.

Sekilas Sejarah Kawasan Percandian Muarajambi

Sejarah kawasan Percandian Muarajambi yang terletak di Kecamatan Maro Sebo, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi itu, merupakan rangkaian keberadaan Suarnadwipa atau pulau emas.

Situs Purbakala Kompleks Percandian Muarajambi adalah sebuah kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara, dengan memiliki luas 3.981 hektar yang tersebar dalam delapan desa, termasuk desa terdekat adalah Desa Muarojambi.

Berdasarkan data sejarah dari BPCB Jambi menyebutkan, bahwa kawasan percandian Muarajambi itu pada beberapa abad silam adalah sebagai kampus atau pusat pendidikan ajaran Buddha.

Maha Guru Buddha Atisha dari Tibet pernah tinggal menetap dan belajar di Candi Muarajambi, Sumatera, selama 11 tahun lamanya atau sekitar tahun 1011-1023 Masehi.
 
Atisha yang merupakan seorang yang berperan penting dalam membangun gelombang kedua Buddhisme di Tibet dulunya pernah menjadi murid dari guru besar Buddhisme, yakni Serlingpa Dharmakirti di Percandian Muarajambi, Sumatera pada abad ke-10.

Saat ini menurut Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) tercatat terdapat 123 peninggalan sejarah mulai dari kanal kuno, candi dan menapo. Dan jumlah tersebut baru yang diduga tim ahli sehingga diperkirakan jumlah peninggalan itu bisa lebih banyak.

Selain itu kawasan Percandian Muarajambi itu memiliki 82 reruntuhan candi (menapo) bangunan kuno. Saat ini sudah ada sebelas bangunan candi yang telah dilakukan pemugaran.

Bangunan candi yang telah dipugar itu adalah, Candi Tinggi, Candi Gumpung, Candi Astana, Candi Kembarbatu, Candi Gedong l, Candi Gedong II, Candi Tinggi l. Candi Kedaton, Candi Teluk, Kata Mahligai.

Seiring sejarah dan peradaban yang ditinggalkan pada masa lampau itu saat ini masih mengakar di kawasan itu. Khususnya untuk destinasi wisata religi dan sejarah.

Kawasan Percandian Muarajambi selalu ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai latar belakang agama, termasuk juga umat Buddha yang akan melaksanakan ibadah atau pun mereka hanya berwisata religi.

Selain dari Indonesia, juga terdapat umat Buddha yang berasal dari, Thailand, Vietnam, Tibet, Tiongkok dan dari rumpun lainnya di Asia Tenggara yang berkunjung ke kawasan tersebut. ***  

Pewarta: Gresi Plasmanto

Editor : Dodi Saputra


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2018