Aktivitas pembalakan liar di lanskap penyangga Bukit Tigapuluh di Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, semakin leluasa sehingga mengkhawatirkan bagi habitat satwa terancam punah di kawasan itu.

Pada jalur aktivitas pembalakkan liar di Tebo itu, selain terdapat bekas tumbangan tegakan kayu, juga terlihat tapak roda rantai alat berat yang mencoba memasuki kawasan itu pada pertengahan Desember 2018 lalu.

Sampai pada titik radius 1,3 kilometer dari Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) itu bahkan pembalak liar mencoba mengelabui dengan memalangkan kayu balok di tengah jalan, supaya menutup akses pergerakan tim keamanan yang berpatroli.   

Kondisi kerusakan hutan akibat pembalakan liar selain mengancam penduduk asli di kawasan itu juga mengancam habitat satwa terancam punah seperti Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), Orang Utan Sumatera (Pongo abelii) dan Tapir (Tapirus indicus).

"Jangan sampai hutan rusak, kalau hutan kami rusak tidak ada tempat tinggal buat kami," kata Toyo, warga suku Talang Mamak yang merupakan penduduk asli yang mendiami kawasan lanskap Bukit Tigapuluh itu.

Di kawasan lanskap ekosistem Bukit Tigapuluh itu diperkirakan terdapat populasi 143 Gajah Sumatra, 20 ekor Harimau Sumatera dan 179 ekor Orang Utan Sumatera.

Berbagai jenis satwa yang tercancam punah itu juga ada yang hidup di kawasan restorasi ekosistem Alam Bukit Tigapuluh yang berfungsi sebagai penyangga (buffer zone) Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT).

Kondisi areal ABT yang merupakan perusahaan pemegang konsesi restorasi ekosistem (RE) seluas 38.665 hektare itu dalam beberapa tahun terakhir rusak akibat aksi illegal logging tersebut.

Aksi pembalakkan liar diduga dilakukan para pemodal besar yang memanfaatkan pekerja dari penduduk sekitar dengan merambah masuk pada areal konservasi penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh itu.

Modus pekerja pembalakan liar itu membuka jalur dengan menggunakan alat berat dan mengangkat kayu dari bawah tebing ke jalur yang telah dibuka hingga keluar kawasan.

Sebab itu, pengawasan dan penegakan hukum sangat dibutuhkan untuk menahan laju kerusakan hutan negara di Tebo Provinsi Jambi ini, sehingga dapat melindungi habitat dan keberadaan pangan satwa liar yang tercanam punah itu.

Direktur PT ABT Dody Rukman menjelaskan, aktivitas illegal logging dan perambahan yang masif itu terjadi dari sebelum ijin diberikan di dalam kawasan konsesi menjadi ancaman bagi keberadaan satwa liar tersebut.

Menurutnya untuk memberantas aksi illegal itu dibutuhkan kerja sama banyak pihak agar hasilnya maksimal.

Selain itu, masyarakat juga perlu menyadari bahwa pemanfaatan hasil hutan yang berkelanjutan hanya dapat dicapai jika kawasan tersebut lestari, sehingga mereka dapat turut menjaganya.

"Saat ini kami serius untuk mengatasi illegal logging, perambahan dan kebakaran hutan, serta berusaha meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai hal ini," katanya setelah itu, dapat berkonsentrasi memulihkan kawasan hutan yang telah terdegradasi untuk mengembalikan fungsi dan keseimbangan ekosistem, sesuai mandat dalam IUPHHK-RE yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk PT ABT pada tahun 2015.

"Kemudian yang harus disadari bahwa areal tersebut adalah hutan negara dan kami ditunjuk untuk untuk mengelolanya, dan memulihkan fungsinya," sambung Doddy.

Kasat Reskrim Polres Tebo AKP Hendra Wijaya Manurung mengaku telah mendapat intruksi untuk membentuk tim khusus guna menindak pelaku pembalakan liar di wilayahnya itu.

"Di wilayah Tebo ini kami telah berupaya, yakni dengan membuat tim khusus untuk penanganan illegal logging dan telah beberapa kali masuk di kawasan. Selain itu kami juga melakukan penyelidikkan untuk mencari tahu siapa yang dibelakang (beking) ini," katanya.

Sementara itu, berdasarkan catatan Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi, dalam kurun waktu tahun 2018 terdapat delapan kasus disektor kehutanan yang telah lengkap atau P21.

Dari delapan kasus di Provinsi Jambi tersebut, diantaranya empat kasus pembalakan liar dan empat kasus perambahan. "Dengan total ada delapan tersangka," kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Ahmad Bestari.

Sampai ke Presiden

Aktivitas pembalakan liar yang masih leluasa terjadi di wilayah Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Tebo itu terdengar langsung sampai ke telinga Presiden Joko Widodo saat kunjungannya ke Jambi pada awal Desember 2018.

Keluhan soal aktivitas pembalakan hutan itu muncul dari salah satu petani di Kabupaten Tebo bernama Zulkipli yang langsung menyampaikannya ke orang nomor satu di republik ini.

"Saya minta pembalak liar, cukong yang merajalela untuk ditindak Pak, jangan ada pembiaran," kata Zulkipli dalam dialog dengan Presiden dalam acara tersebut.

"Saya sudah kirim surat ke Pak Kapolda, sudah saya surati Kapolres, sampai mabes Polri tolong ditertibkan," tegas Zulkipli.

Presiden Joko Widodo pun langsung meminta aparat keamanan serius menangani pembalakan liar yang masih terjadi di Provinsi Jambi.

"Tolong ditertibkan Pak Kapolda, tidak ada pembiaran," kata Presiden Joko Widodo di Taman Hutan Pinus Kenali, Kota Jambi, Minggu (16/12/2018).

"Di semua provinsi masih ada (pembalakan liar). Itu tugasnya aparat hukum dan kepolisian. Urusan jaga hutan ke bu menteri kehutanan," tambah Presiden.

Dengan kondisi tersebut sudah saatnya kini gerakan yang memerangi praktik pembalakan liar itu harus diperkuat untuk melindungi hutan yang kelak menjadi warisan bagi anak cucu kita.***

Pewarta: Gresi Plasmanto

Editor : Ariyadi


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2019