Kain tenun Badui yang diproduksi secara tradisional oleh pengrajin masyarakat Badui yang tinggal di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, makin diminati konsumen untuk dijadikan busana perempuan.
"Setiap hari bisa memenuhi permintaan konsumen secara online mencapai 15 sampai 20 potong," kata Amir (40), pedagang khas produksi Badui di Kampung Kadu Ketug, Desa Kanekes Kabupaten Lebak, Minggu.
Permintaan kain tenun Badui, kata dia, kebanyakan warga domestik untuk dijadikan bahan pakaian busana dan mereka dijual kembali melalui daring maupun ke butik.
Ia mengaku banyak pesanan kain tenun Baduy itu dari pengrajin pakaian. Bahkan, busana Badui bisa dijual Rp750 ribu hingga Rp5 juta.
Konsumen membeli kain tenun itu mulai Rp300 ribu hingga Rp1,2 juta/potong dengan ukuran 3 meter dan lebar 1,5 meter.
Menurut dia, kelebihan kain Badui itu cukup unik dan berbeda dengan kain-kain lain di Tanah Air karena warnanya sangat alami dengan menggunakan pepohonan.
"Kami sangat terbantu adanya peningkatan pembeli itu sehingga mampu menggulirkan ekonomi masyarakat Badui," katanya menjelaskan.
Rasti (40), pengrajin warga Badui, mengatakan bahwa konsumen kain Badui bukan hanya wisatawan, melainkan banyak pengrajin busana dari Jakarta dan Bandung.
Mereka menilai kain tenun Badui memiliki seni dan cocok untuk busana perempuan karena memiliki keanekragaman warna dan corak.
Produksi kain tenun Baduy itu dirajut secara manual dengan bahan baku benang yang didatangkan dari Majalaya Bandung, Jawa Barat.
Kerajinan kain tenun itu dikerjakan kaum perempuan. Selama sepekan, mereka bisa memproduksi sekitar 15 potong.
"Kami sudah bisa menjual ke pelanggan dan ditampung mereka dengan pendapatan bisa mencapai Rp7 juta/pekan," ujar Rasti.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak Dedi Rahmat mengatakan bahwa pihaknya terus meningkatkan produksi kain tenun Badui dengan membina agar memiliki mutu sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga Badui.
Saat ini, kata dia, produksi kain tenun Badui sangat bagus dan lemas daripada sebelumnya, bahkan saat ini menggunakan pewarna alami dari akar pepohonan.
"Pewarna alami itu memiliki nilai jual tinggi hingga Rp1,5 juta/potong," kata Dedi Rahmat.
Ia menyebutkan pengrajin kain tenun Badui mencapai 600 orang. Mereka masih menggunakan alat sederhana dan tidak ada sentuhan teknologi modern dalam produksinya.
Keunggulan tenun Badui memiliki corak warna dan motif berbeda, di antaranya poleng hideung, poleng paul, mursadam, pepetikan, kacang herang, maghrib, capit hurang, susuatan, suat songket, dan smata (girid manggu, kembang gedang, kembang saka).
Selain itu, juga motif adu mancung dan motif aros yang terdiri atas aros awi gede, kembang saka, kembang cikur, dan aros anggeus.
"Kami terus mendorong ke depan terus ditingkatkan kualitas kain Badui yang menggunakan bahan benang sutra dan pewarna alami," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020
"Setiap hari bisa memenuhi permintaan konsumen secara online mencapai 15 sampai 20 potong," kata Amir (40), pedagang khas produksi Badui di Kampung Kadu Ketug, Desa Kanekes Kabupaten Lebak, Minggu.
Permintaan kain tenun Badui, kata dia, kebanyakan warga domestik untuk dijadikan bahan pakaian busana dan mereka dijual kembali melalui daring maupun ke butik.
Ia mengaku banyak pesanan kain tenun Baduy itu dari pengrajin pakaian. Bahkan, busana Badui bisa dijual Rp750 ribu hingga Rp5 juta.
Konsumen membeli kain tenun itu mulai Rp300 ribu hingga Rp1,2 juta/potong dengan ukuran 3 meter dan lebar 1,5 meter.
Menurut dia, kelebihan kain Badui itu cukup unik dan berbeda dengan kain-kain lain di Tanah Air karena warnanya sangat alami dengan menggunakan pepohonan.
"Kami sangat terbantu adanya peningkatan pembeli itu sehingga mampu menggulirkan ekonomi masyarakat Badui," katanya menjelaskan.
Rasti (40), pengrajin warga Badui, mengatakan bahwa konsumen kain Badui bukan hanya wisatawan, melainkan banyak pengrajin busana dari Jakarta dan Bandung.
Mereka menilai kain tenun Badui memiliki seni dan cocok untuk busana perempuan karena memiliki keanekragaman warna dan corak.
Produksi kain tenun Baduy itu dirajut secara manual dengan bahan baku benang yang didatangkan dari Majalaya Bandung, Jawa Barat.
Kerajinan kain tenun itu dikerjakan kaum perempuan. Selama sepekan, mereka bisa memproduksi sekitar 15 potong.
"Kami sudah bisa menjual ke pelanggan dan ditampung mereka dengan pendapatan bisa mencapai Rp7 juta/pekan," ujar Rasti.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lebak Dedi Rahmat mengatakan bahwa pihaknya terus meningkatkan produksi kain tenun Badui dengan membina agar memiliki mutu sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga Badui.
Saat ini, kata dia, produksi kain tenun Badui sangat bagus dan lemas daripada sebelumnya, bahkan saat ini menggunakan pewarna alami dari akar pepohonan.
"Pewarna alami itu memiliki nilai jual tinggi hingga Rp1,5 juta/potong," kata Dedi Rahmat.
Ia menyebutkan pengrajin kain tenun Badui mencapai 600 orang. Mereka masih menggunakan alat sederhana dan tidak ada sentuhan teknologi modern dalam produksinya.
Keunggulan tenun Badui memiliki corak warna dan motif berbeda, di antaranya poleng hideung, poleng paul, mursadam, pepetikan, kacang herang, maghrib, capit hurang, susuatan, suat songket, dan smata (girid manggu, kembang gedang, kembang saka).
Selain itu, juga motif adu mancung dan motif aros yang terdiri atas aros awi gede, kembang saka, kembang cikur, dan aros anggeus.
"Kami terus mendorong ke depan terus ditingkatkan kualitas kain Badui yang menggunakan bahan benang sutra dan pewarna alami," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020