Dampak sosial dari pembagian bantuan sosial menjadi perhatian DPRD Provinsi Jawa Barat.
Seorang anggota Komisi V DPRD Jawa Barat mewanti-wanti Pemprov Jabar agar dapat mengantisipasi adanya gejolak di masyarakat dari pembagian bantuan sosial (bansos) terdampak pandemik COVID-19, seperti kericuhan yang sudah terjadi di beberapa wilayah.
"Fenomena penolakan untuk menerima bantuan yang terjadi di hampir seluruh pelosok Jawa Barat ini meskipun sifatnya belum masif, namun bagaimana pun harus diantisipasi sedini mungkin," ujar Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya alias AW saat dihubungi dari Bogor, Selasa (28/4).
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Jawa Barat itu mengaku sudah melihat sejak awal adanya potensi kericuhan warga, jika jumlah bansos yang didistribusikan dianggap tidak proporsional. DPRD Jawa Barat pun menurutnya sudah mengingatkan hal itu pada Pemprov Jabar.
"Secara ekstrem saya pernah juga sampaikan pada saat forum rapat pimpinan DPRD Jabar beserta jajaran Satgas COVID-19 Jabar, hati-hati dengan skenario pemberian bansos kepada warga, jika tak matang perencanaannya maka bisa menjadi pemicu terjadinya gejolak sosial di akar rumput," kata AW.
Namun, ia memaklumi jika saran dari para legislator dianggap angin lalu oleh Pemprov Jabar. Pasalnya, pada Perppu No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemik COVID-19 tanggal 31 Maret 2020, keterlibatan parlemen dalam urusan penganggaran sudah tidak ada.
"Sebagai akibat dari telah diamputasinya hak anggaran parlemen dalam hal penanganan wabah COVID-19, protokol penanganan termasuk anggaran yang diperlukannya pun menjadi eksekutif sentris," tuturnya.
Padahal, menurutnya permasalahan utama terjadinya kericuhan ada pada seberapa banyak pemerintah memiliki dana bantuan, bukan seberapa banyak pintu bantuan sosial yang disediakan.
Ia juga memberikan gambaran krisis ekonomi dampak pandemik COVID-19 yang menurutnya akan lebih buruk dari krisis moneter pada tahun 1998 silam. Kondisi itu menurut AW harus diwaspadai oleh semua tingkatan pemerintah ketika akan meluncurkan program bansos.
"Kalau pada tahun 1998, meskipun para konglomerat hancur bisnisnya, namun ekonomi rakyat dengan kekuatan sektor informalnya masih mampu menggerakan ekonomi warga di arus bawah. Nah, kalau sekarang perputaran ekonomi formal di tingkat atas dan kekuatan ekonomi di sektor informal yang di arus bawah itu sama-sama hancurnya," ujar AW.
Seperti diketahui, bantuan sosial dari pemerintah untuk masyarakat terdampak pendemik COVID-19 banyak menimbulkan gejolak sosial. Terbaru, warga menyegel Kantor Kelurahan Sukahati, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor pada Senin (28/4), karena menuntut kejelasan pendataan penerima bantuan terdampak pandemik COVID-19.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020
Seorang anggota Komisi V DPRD Jawa Barat mewanti-wanti Pemprov Jabar agar dapat mengantisipasi adanya gejolak di masyarakat dari pembagian bantuan sosial (bansos) terdampak pandemik COVID-19, seperti kericuhan yang sudah terjadi di beberapa wilayah.
"Fenomena penolakan untuk menerima bantuan yang terjadi di hampir seluruh pelosok Jawa Barat ini meskipun sifatnya belum masif, namun bagaimana pun harus diantisipasi sedini mungkin," ujar Anggota Komisi V DPRD Jawa Barat, Asep Wahyuwijaya alias AW saat dihubungi dari Bogor, Selasa (28/4).
Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Jawa Barat itu mengaku sudah melihat sejak awal adanya potensi kericuhan warga, jika jumlah bansos yang didistribusikan dianggap tidak proporsional. DPRD Jawa Barat pun menurutnya sudah mengingatkan hal itu pada Pemprov Jabar.
"Secara ekstrem saya pernah juga sampaikan pada saat forum rapat pimpinan DPRD Jabar beserta jajaran Satgas COVID-19 Jabar, hati-hati dengan skenario pemberian bansos kepada warga, jika tak matang perencanaannya maka bisa menjadi pemicu terjadinya gejolak sosial di akar rumput," kata AW.
Namun, ia memaklumi jika saran dari para legislator dianggap angin lalu oleh Pemprov Jabar. Pasalnya, pada Perppu No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemik COVID-19 tanggal 31 Maret 2020, keterlibatan parlemen dalam urusan penganggaran sudah tidak ada.
"Sebagai akibat dari telah diamputasinya hak anggaran parlemen dalam hal penanganan wabah COVID-19, protokol penanganan termasuk anggaran yang diperlukannya pun menjadi eksekutif sentris," tuturnya.
Padahal, menurutnya permasalahan utama terjadinya kericuhan ada pada seberapa banyak pemerintah memiliki dana bantuan, bukan seberapa banyak pintu bantuan sosial yang disediakan.
Ia juga memberikan gambaran krisis ekonomi dampak pandemik COVID-19 yang menurutnya akan lebih buruk dari krisis moneter pada tahun 1998 silam. Kondisi itu menurut AW harus diwaspadai oleh semua tingkatan pemerintah ketika akan meluncurkan program bansos.
"Kalau pada tahun 1998, meskipun para konglomerat hancur bisnisnya, namun ekonomi rakyat dengan kekuatan sektor informalnya masih mampu menggerakan ekonomi warga di arus bawah. Nah, kalau sekarang perputaran ekonomi formal di tingkat atas dan kekuatan ekonomi di sektor informal yang di arus bawah itu sama-sama hancurnya," ujar AW.
Seperti diketahui, bantuan sosial dari pemerintah untuk masyarakat terdampak pendemik COVID-19 banyak menimbulkan gejolak sosial. Terbaru, warga menyegel Kantor Kelurahan Sukahati, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor pada Senin (28/4), karena menuntut kejelasan pendataan penerima bantuan terdampak pandemik COVID-19.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2020