Rajib, begitu ia disapa. Siang itu bergegas mengambil baju dinas berwarna hitam yang tergantung di sebuah paku di dalam kandang maggot.
Dari situ, ia lalu mengajak koleganya menunjukkan larva lalat tentara hitam atau yang dikenal dengan maggot yang tiap hari ia urus di sana kepada Antara.
Pria bernama lengkap Rajib Gandi ini lantas memasukkan tangannya ke dalam sebuah kotak (box) berwarna hijau yang berisi ratusan larva lalat dewasa yang berdiam diri.
Ia lalu mengangkat mereka seraya menunjukkan bagaimana rupa dari mahkluk hidup tersebut. Tangannya begitu lincah, tak ada rasa jijik sama sekali.
Setidaknya ada sekitar 60 kotak kontainer yang menampung maggot yang ia budidayakan. Setiap kotak dapat diisi sekitar 500 gram hingga dua kilogram maggot.
“Lalat BSF (black soldier fly) ini bisa mengurai sampah organik dan bisa bermanfaat untuk menghasilkan pakan ternak dan menghasilkan nilai ekonomi lainnya,” katanya.
Ia lalu mengangkat puluhan maggot di dua telapak tangannya di dalam salah satu kandang maggot berukuran 5x7 meter di Satuan Pelaksana (Satpel) Lingkungan Hidup Pesanggrahan, Minggu (17/10).
Rajib sejak pertengahan 2020 adalah penanggung jawab budidaya Maggot di Satpel Pesanggrahan ini.
Ia menjelaskan bagaimana siklus hidup dari larva tentara hitam tersebut, dimulai dari proses bertelur, masa bayi (larva), pra-pupa (kepompong), hingga menjadi pupa.
Ia menjelaskan fase hidup dari lalat tentara hitam itu dimulai dari proses pembuahan oleh lalat betina, yang mampu menghasilkan 500 lebih telur dalam sekali perkawinan.
Ratusan telur itu kemudian akan menetas dan menjadi larva yang disebut dengan maggot.
Sehari setelah menetas, proses mengurai sampah organik pun dapat dimulai. Maggot tersebut mulai memakan sampah organik. Usia terbaik mengurai sampah organik adalah saat maggot berusia 1-21 hari.
"Ada empat kandang maggot yang masing-masing luasnya 5x7 meter,” kata dia.
Selama kurang lebih setengah tahun, Rajib didampingi tiga petugas Satpel Lingkungan Hidup Pesanggrahan lainnya mengurus ribuan maggot tersebut.
Saban hari, kata Rajib, ribuan maggot yang dibudidayakan tersebut dapat mengurai sampah organik sebanyak 200-300 kilogram per hari.
Artinya, lalat tentara hitam itu dapat menghabiskan sampah hingga 12,5 kg per hari.
Apabila dibandingkan dengan produksi sampah organik di Jakarta Selatan setiap harinya, maka jumlah itu dapat menekan angka produksi sampah organik sekitar 27 persen dari total saat ini sekitar 900 kilogram sampah organik setiap harinya.
“Alhamdulillah, bisa mengurai sampah organik sekitar 200-300 kilogram per hari. Hanya dari maggot ini saja, jenis sampah organiknya campur,” kata dia.
Merambah pasar
Selain mengurai sampah, larva lalat tentara hitam ini bernilai ekonomis. Pada fase pupa, larva lalat, dapat diolah menjadi pakan ternak, kompos, hingga manfaat lainnya.
Rajib dan kawan-kawan pun tak mau hanya memanfaatkan maggot untuk mengurai sampah saja.
Setiap minggunya maggot-maggot itu laris manis di berbagai kalangan. Banyak pembeli, mulai dari orang perorangan, hingga pengusaha ternak.
“Kita Alhamdulillah ada yang pasarannya dari orang yang hobi mancing hingga pengusaha karena maggot bisa menghasilkan pelet,” tuturnya.
Dalam sepekan, mereka dapat menjual maggot sebanyak 50 kilogram, yang dijual dari Rp7 ribu hingga Rp20 ribu per kilogram (kg).
“Kita masih sekarang sistemnya per kg Rp7 ribu, tergantung keperluan, ada yang per kg Rp10 ribu ada yang sekilonya 15-20. Kita disini masih murah karena uang itu untuk kembali lagi membeli kotak, bukan masuk ke kantong pribadi tapi uang itu masuk lagi untuk kegunaan dia (maggot) beli kotak maggot,” ujarnya.
Selain dipasarkan, Rajib juga mendistribusikannya secara cuma-cuma kepada Satpel Kecamatan lainnya dan warga sekitar. Hal ini tak terlepas dari status rumah maggotnya yang terbesar di kawasan Jakarta Selatan.
Bersama tiga koleganya, ia menjadi ujung tombak di tengah warga Pesanggrahan dalam diversifikasi budidaya maggot ini.
Dari catatannya, Rajib menyampaikan ada sekitar 10 lokasi yang ia bimbing untuk dimonitor pembudidayaan maggot setiap harinya, mulai dari tingkat kelurahan hingga rukun warga.
Menurutnya, saat ini tantangan yang kerap dihadapi adalah bentuk dari maggotnya sendiri, yang membuat warga enggan berinteraksi secara langsung.
Kondisi fisik dan bau dari binatang tersebut sedikit mengganggu panca indra manusia.
Kendati demikian, pria berusia 26 tahun itu tak patah arang untuk terus menggelorakan gerakan tersebut.
Apalagi saat ini, sudah ada Peraturan Gubernur Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Lingkup Rukun Warga yang diterbitkan pada 13 Agustus 2020.
Kebijakan itu mengajak warga untuk memilah sampah rumah tangga semaksimal mungkin agar volume sampah yang diangkut ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang dapat ditekan.
“Saya akan terus mengajak warga, agar Jakarta ini bersih dari segi sampah organiknya. Karena itu budidaya maggot semakin dibudidayakan, selain membantu masyarakat secara ekonomis, juga mengurai sampah,” ucapnya.
Semakin masif
Tak hanya di Pesanggrahan, geliat budidaya maggot ini hampir dapat ditemukan di setiap sudut selatan Ibu Kota.
Salah satunya, yakni di depo sampah Kramat Pela, Kebayoran Baru yang saat ini baru memulai diversifikasi budidaya maggot untuk mengurai sampah organik di sana.
Fauzi (20) Petugas 3 R (reuse, recycle, dan reduce) Lingkungan Hidup Kecamatan Kebayoran Baru mengatakan budidaya maggot di bank sampah tersebut berfokus pada pengurangan limbah rumah tangga dan restoran yang dikumpulkan setiap harinya.
Kandang maggot berukuran 3x3 meter itu juga dimanfaatkan sebagai media edukasi bagi warga sekitar untuk membudidayakan lalat tentara hitam tersebut.
“Kalau kita lebih ke pelayanan warga-warga di tingkat kelurahan, kalau bisnis kita tidak. Makanya di sini edukasi sampah organiknya hanya 9-20 kilogram setiap harinya,” katanya.
Solusi terbaik
Maggot dewasa yang mampu mengonsumsi sampah organik dua hingga lima kali berat badannya per hari, tanpa menggunakan lahan atau wadah yang besar, menjadikannya sebagai solusi terbaik mengurai sampah organik.
Kepala Bidang Peran Serta Masyarakat Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Agung Pujo Winarko menyatakan maggot menjadi solusi terbaik karena mampu mereduksi sampah organik dalam jumlah besar dan cepat.
Karenanya, warga Ibu Kota diajak untuk mengolah sampah organik, terutama limbah rumah tangga dengan memanfaatkan maggot atau larva dari tentara hitam tersebut, selain dengan menggunakan cara lain, yakni mengolahnya menjadi pupuk kompos.
Kondisi DKI Jakarta yang saat ini memproduksi sampah sekitar 7.700 ton per hari pun diharapkan dapat ditekan dengan cara itu.
Apalagi jumlah tersebut merupakan total sampah yang dikirimkan ke TPST Bantargebang, Bekasi, yang saat ini kapasitasnya semakin terbatas dan diprediksi tidak lagi dapat menampung sampah kiriman dalam beberapa waktu mendatang.
Agung menyebutkan, dari jumlah tersebut sekitar 60 persen berasal berasal dari kawasan permukiman atau rumah tangga.
"Dari 60 persen itu, 53 persen di antaranya adalah sampah organik,” katanya.
Artinya ada sekitar 4.080 ton sampah organik yang dihasilkan setiap harinya.
Jika penggunaan maggot sebagai alat bantu organik untuk mengurangi sampai jenis ini dengan manfaat ganda lainnya sudah nyata, maka wajar, ini akan jadi salah satu pilihan rumah tangga di Ibu Kota.
Tinggal sekarang, bagaimana pemanfaatan maggot ini menjadi massal dan masif pada semua kalangan di Ibu Kota.
Tentu, untuk mencapai itu perlu dukungan semua pihak. Perlu ratusan hingga ribuan Rajib lainnya di Jakarta.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2021