Dunia saat ini bergerak menuju Society 5.0, era dimana teknologi merupakan bagian dari manusia itu sendiri.

Semua sektor dalam pemerintahan dan negara mau tak mau harus beradaptasi, pun demikian dengan intelijen. Era Society 5.0 muncul sebagai resolusi terhadap hubungan manusia dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

Teknologi pada awalnya diciptakan sebagai alat untuk membantu manusia. Interaksi manusia dan TIK memungkinkan munculnya nilai-nilai baru yang dapat mendegradasi kemanusiaan. Bagaimanapun, manusialah yang menciptakan nilai dan membangun peradaban.

Oleh karena itu, Society 5.0 memosisikan manusia sebagai sentral dalam menentukan penggunaan teknologi untuk kemanusiaan itu sendiri. Konvergensi kehidupan manusia di dunia maya dan dunia nyata adalah hal lazim di masa mendatang. Society 5.0 melampaui masyarakat informasi.

Perkembangan TIK telah dan akan mampu menggunakan robot untuk mengumpulkan informasi dalam jumlah besar (big data) dan menganalisanya dengan robot (artificial intelligence) untuk selanjutnya disajikan kembali kepada manusia di dunia nyata sebagai acuan dalam pembuatan keputusan atau kepentingan lainnya.

Dalam konteks intelijen, perkembangan ini menghadirkan tantangan yang semakin kompleks. Dalam rangka melaksanakan tujuan deteksi dini dan peringatan dini terhadap berbagai bentuk ancaman, mau tidak mau Badan Intelijen Negara (BIN) harus juga menggunakan TIK yang, setidaknya, setara dengan TIK yang digunakan oleh aktor-aktor lain, baik aktor negara maupun non-negara.

Itu berlaku pada seluruh fungsi intelijen negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, yaitu fungsi penyelidikan, penanganan, dan penggalangan.

Sebagai ilustrasi, Central Intelligence of America (CIA) mengembangkan berbagai perangkat nirawak (drone) yang berfungsi memata-matai, seperti U-2 spy plane (1962), robot capung (1970-an) dan robot ikan (2020). CIA juga memiliki akses khusus ke google terkait informasi rahasia (classified). Pengembangan perangkat dan akses itu memberikan informasi penting dalam rangka deteksi dini dan antisipasi terhadap ancaman bagi Amerika Serikat.

Bagaimana dengan BIN? Kesiapan BIN dalam menggunakan TIK mendapatkan tantangan serius ketika pada 2021 lalu dibobol oleh sekelompok hacker asal China, Mustang Panda. Kebocoran itu dikonfirmasi oleh Badan Sandi dan Siber Nasional (BSSN) dan mengungkap lemahnya sistem pengadaan keamanan siber yang masih mengandalkan jasa pihak ketiga (swasta) sehingga rawan perpindahan data.

Berkaca dari kejadian tersebut, BIN, sebagai lembaga utama intelijen negara, haruslah mengambil pembelajaran penting. Dalam pandangan penulis, dalam konteks Society 5.0, tantangan utama BIN tidak hanya eksternal, tetapi juga internal.



Pertama, belum mumpuni terkait standar operasi, sumber daya manusia, dan pengembangan perangkat terkait cyber espionage dan cyber security.

Di ranah global, Indonesia memang bukan negara yang memimpin dalam hal TIK, baik dari pengembangan perangkat lunak maupun perangkat keras. Akan tetapi, Indonesia memiliki instrumen hukum yang cukup kuat, bahkan termasuk satu dari sedikit negara yang memiliki UU Keantariksaan.

Kader-kader muda bangsa Indonesia pun berdiaspora di sejumlah perusahaan dan komunitas global pada bidang TIK dan hacking. Artinya, Indonesia tidaklah terlalu tertinggal jauh.

Yang dibutuhkan adalah paradigma yang lebih terbuka untuk membangun kolaborasi antara BIN dengan elemen bangsa tersebut dalam berbagai bentuk dan program kerja sama. Pengembangan Pusat Kajian TIK untuk intelijen, workshop, dan penguatan partisipasi publik dalam pelaporan intelijen adalah bentuk-bentuk yang dapat dikembangkan oleh BIN.

Kedua, perlunya peningkatan profesionalitas dan akuntabilitas BIN. Sebagai lembaga negara, BIN bergerak berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara dan sejumlah UU lainnya.

Dalam mengelola hal kepegawaian, BIN terikat dengan UU Aparatur Sipil Negara. Dalam mengelola data dan informasi, BIN terikat dengan UU Keterbukaan Informasi Publik. Demikian halnya untuk bidang lainnya.

Tampaknya, keterbukaan masih hal yang cukup tabu dibicarakan di dunia intelijen. BIN telah memulai membangun keterbukaan dalam satu dekade terakhir.

Tak bisa dibantah bahwa BIN memiliki sejumlah hal yang perlu dirahasiakan dari publik untuk melindungi kepentingan publik yang lebih besar. Akan tetapi, kinerja organisasi haruslah dapat dipantau dan diawasi publik karena BIN menggunakan APBN setiap tahunnya; tentu dengan batasan-batasan.

Ketiga, agenda reformasi badan intelijen perlu diperkuat. Intelijen adalah badan negara yang perlu penyegaran pemikiran dan regenerasi sehingga muncul inovasi-inovasi baru dan meningkatnya kemampuan adaptasi operasi intelijen terhadap perkembangan zaman.

Kasus kebocoran data, sebagaimana tersebut di atas, merefleksikan rendahnya perhatian pimpinan BIN terhadap isu-isu TIK. Pimpinan BIN perlu bebenah. Pembentukan Deputi Siber pada 2020 perlu diapresiasi sebagai langkah awal, namun perlu dikembangkan lebih lanjut agar lebih terlihat dampaknya secara signifikan

Pada akhirnya, di ulang tahun yang ke 76 ini, BIN tetaplah harus menjaga semangat untuk menjaga NKRI dari ancaman-ancaman dalam dan luar negeri.

Jika di masa lalu, cikal bakal BIN berhasil menangkal ancaman ideologi global di tanah Nusantara, maka di masa mendatang tidaklah terlalu berat bagi BIN untuk menangkal ancaman radikalisme di dalam negeri.

Tuntutan penggunaan TIK untuk spionase dan pengembangan sistem deteksi dini harus dijawab oleh BIN, terlebih di tengah lingkungan strategis yang terus berkembang: konflik Rusia-Ukraina, Presidensi G20 Indonesia, pemulihan global pascapandemi COVID-19, dan memanasnya situasi di Laut China Selatan.



*) Ngasiman Djoyonegoro adalah Pengamat Intelijen

Pewarta: Ngasiman Djoyonegoro *)

Editor : Syarif Abdullah


COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2022