Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak berkaitan dengan cakupan imunisasi dasar lengkap bayi yang menurun drastis selama pandemi COVID-19, kata Dokter Spesialis Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A(K).
Untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit campak, Karyanti yang juga Anggota Komite Ahli Verifikasi Nasional Eliminasi Campak dan Pengendalian Rubela/Congenital Rubella Syndrome (CRS) itu, menambahkan diperlukan cakupan imunisasi minimal 95 persen.
Berdasarkan data Kemenkes RI (2022), pada 2020 dan 2021 cakupan imunisasi dasar lengkap anak 84 peesen. Data tersebut memperlihatkan KLB Campak terjadi pada anak-anak yang sebagian besar tidak pernah diimunisasi.
“Imunisasi dengan vaksin campak merupakan cara pencegahan terbaik dari penyakit campak. Cakupan imunisasi yang tinggi bukan hanya melindungi individu yang mendapatkan vaksin tersebut, tetapi juga dapat melindungi orang di sekitarnya sehingga terbentuk herd-immunity," katanya.
Imunisasi campak merupakan bagian dari program imunisasi pemerintah dengan menggunakan vaksin campak rubela atau measles rubella (MR) yang dapat diberikan pada anak mulai usia sembilan bulan. Pada seseorang yang belum pernah mendapatkan vaksinasi campak lalu terpapar penyakit campak, pemberian vaksin campak dalam 72 jam setelah terpapar dapat mencegah terjadinya penyakit campak.
Ia menyampaikan penyakit campak paling sering ditemukan pada bayi usia di bawah satu tahun, remaja, dan orang dewasa yang tidak mendapatkan imunisasi campak secara adekuat.
Selain itu, seseorang yang mengalami gangguan kekebalan tubuh (imunokompromais) akibat penyakit kronik atau pengobatan yang menekan daya tahan tubuh (steroid jangka panjang, kemoterapi, atau immunoglobulin) juga akan rentan terhadap penyakit campak.
Penularan campak, katanya, terjadi melalui airborne atau udara dari seseorang yang terkena penyakit campak dari empat hari sebelum gejala hingga empat hari setelah munculnya ruam.
Seseorang dapat mengalami campak karena belum terlindungi oleh antibodi terhadap campak yang bisa didapatkan dari imunisasi.
"Pada seseorang yang telah mendapatkan vaksin campak, respons tubuh yang inadekuat terhadap vaksin (tidak dapat membentuk antibodi yang adekuat untuk melawan campak) serta imunitas yang menurun dapat menyebabkan seseorang terkena penyakit campak,” ujar dia.
Ketika seseorang terinfeksi campak, katanya, terdapat gejala campak yang terbagi menjadi tiga tahap. Pertama, tahap prodromal yang ditandai dengan demam, batuk, pilek, nyeri menelan, sariawan, mata merah selama 2-3 hari, dan diare. Kedua, tahap erupsi yakni munculnya ruam kemerahan pada bagian mulai dari batas rambut di belakang telinga yang menyebar ke wajah, leher, dan tangan atau kaki selama 5-6 hari. Terakhir, tahap ketiga penyembuhan saat ruam hilang sesuai urutan kemunculannya menjadi berwarna kehitaman dan mengelupas yang akan hilang dalam 1-2 minggu.
Ia mengatakan campak dapat berbahaya jika terjadi komplikasi, seperti ensefalopati/ensefalitis (radang otak) yang ditandai dengan kejang atau penurunan kesadaran, bronkopneumonia (radang paru) yang ditandai dengan sesak napas, enteritis (radang saluran pencernaan) yang ditandai dengan diare sampai dehidrasi berat, dan infeksi telinga bagian tengah.
Ia menjelaskan penanganan penyakit campak bersifat suportif seperti asupan cairan yang cukup, suplemen nutrisi, dan vitamin A.
Pada kasus dengan komplikasi dapat diberikan antibiotik jika ada indikasi infeksi sekunder bakteri atau memerlukan perawatan di rumah sakit.
Ia mengatakan seseorang yang terkena penyakit campak cepat menularkan virus campak melalui udara empat hari sebelum hingga empat hari setelah munculnya ruam melalui udara sehingga perlu dilakukan isolasi baik secara mandiri di rumah atau di rumah sakit,” kata dr. Karyanti.
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2023