Sekitar 150 ribu warga sipil telah meninggalkan Khan Younis di Jalur Gaza menyusul perintah evakuasi dari Israel, kata juru bicara PBB pada Selasa.
"Kemarin, sekitar 150 ribu orang meninggalkan daerah di Khan Younis, menurut perhitungan rekan-rekan kemanusiaan yang memantau pergerakan penduduk di daerah itu," kata Stephane Dujarric kepada wartawan.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyampaikan kekhawatiran tentang jeda waktu yang pendek antara penyebaran selebaran yang mengumumkan perintah evakuasi dan eskalasi operasi militer, yang menimbulkan "risiko signifikan" bagi mereka yang mengungsi, tambahnya.
"OCHA mengingatkan bahwa setiap perintah evakuasi sangat mengganggu kehidupan warga. Orang-orang dipaksa pindah ke daerah yang infrastrukturnya minim atau bahkan tidak ada, di mana akses ke tempat berlindung, sanitasi atau bantuan kemanusiaan lain yang menyelamatkan jiwa sangat terbatas," kata Dujarric.
Dia juga menekankan bahwa perintah evakuasi tersebut juga mengganggu operasi kemanusiaan.
Karena mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, Israel menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutalnya yang terus berlanjut di Gaza sejak awal Oktober 2023.
Lebih dari 38.800 warga Palestina, yang sebagian besar perempuan dan anak-anak, sejak saat itu telah tewas, sementara lebih dari 89.400 lainnya luka-luka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Lebih dari sembilan bulan sejak serangan, sebagian besar wilayah Gaza hancur di tengah blokade yang melumpuhkan terhadap akses makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel dituding melakukan genosida di Mahkamah Internasional, yang dalam putusan terbarunya memerintahkan Tel Aviv untuk segera menghentikan operasi militernya di kota selatan Rafah, di mana lebih dari satu juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum mereka diserang pada 6 Mei.
Sumber: Anadolu
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024
"Kemarin, sekitar 150 ribu orang meninggalkan daerah di Khan Younis, menurut perhitungan rekan-rekan kemanusiaan yang memantau pergerakan penduduk di daerah itu," kata Stephane Dujarric kepada wartawan.
Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyampaikan kekhawatiran tentang jeda waktu yang pendek antara penyebaran selebaran yang mengumumkan perintah evakuasi dan eskalasi operasi militer, yang menimbulkan "risiko signifikan" bagi mereka yang mengungsi, tambahnya.
"OCHA mengingatkan bahwa setiap perintah evakuasi sangat mengganggu kehidupan warga. Orang-orang dipaksa pindah ke daerah yang infrastrukturnya minim atau bahkan tidak ada, di mana akses ke tempat berlindung, sanitasi atau bantuan kemanusiaan lain yang menyelamatkan jiwa sangat terbatas," kata Dujarric.
Dia juga menekankan bahwa perintah evakuasi tersebut juga mengganggu operasi kemanusiaan.
Karena mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, Israel menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutalnya yang terus berlanjut di Gaza sejak awal Oktober 2023.
Lebih dari 38.800 warga Palestina, yang sebagian besar perempuan dan anak-anak, sejak saat itu telah tewas, sementara lebih dari 89.400 lainnya luka-luka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Lebih dari sembilan bulan sejak serangan, sebagian besar wilayah Gaza hancur di tengah blokade yang melumpuhkan terhadap akses makanan, air bersih, dan obat-obatan.
Israel dituding melakukan genosida di Mahkamah Internasional, yang dalam putusan terbarunya memerintahkan Tel Aviv untuk segera menghentikan operasi militernya di kota selatan Rafah, di mana lebih dari satu juta warga Palestina mencari perlindungan dari perang sebelum mereka diserang pada 6 Mei.
Sumber: Anadolu
COPYRIGHT © ANTARA News Jambi 2024