Bogor (ANTARA Jambi) -Indonesia sebagai negara kepulauan dikaruniai 3,1 juta hektare kawasan hutan mangrove di sejumlah kawasan pesisir yang memiliki manfaat ekonomi dan juga sebagai sumber keanekaragaman hayati yang tentu harus dijaga dan dilestarikan.
Menurut Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), kawasan hutan mangrove dunia seluruhnya tercatat seluas 16,5 juta, tersebar di wilayah Asia (7,4 juta ha termasuk 3,1 juta ha di wilayah Indonesia) , Afrika (3,3 juta ha), dan Amerika (5,8 juta ha).
Sedangkan dari 130 jenis tanaman mangrove yang terdapat di negara-negara Asia Pasifik, 101 jenis di antaranya tumbuh di Indonesia.
Sejumlah tanaman mangrove telah dimanfaatkan secara tradisional oleh warga pribumi yakni Acanthus spp, Acrostichum spp, Aegiceras spp, Avicennia spp, Bruguiera spp, Ceriops spp, Excoecaria spp, Heritiera spp, Lumnitzera spp, Oncosperma spp, Rhizopora spp, Sonneratia spp, Xylocarpus spp dan Nipa spp.
Tanaman mangrove tidak hanya diambil kayunya untuk kepentingan industri kertas atau arang, tetapi juga ternyata juga bisa dijadikan berbagai produk makanan olahan.
Sejauh ini memang sudah banyak bahan pangan terbuat dari berbagai species tanaman mangrove yang secara tradisional sudah dikonsumsi oleh masyrakat pesisir. Namun pemanfaatannya sebagai produk pangan masih bersifat insidentil atau hanya kala terjadi krisis pangan.
Salah satu species mangrove yakni tanaman api-api (avicennia spp), buahnya dapat dijadikan tepung untuk selanjutnya diolah menjadi kue bolu, onde-onde, bingka, ketimus atau cendol dan keripik serta berbagai jenis panganan cemilan lainya.
Species lainnya yakni pedada (sonneratia spp), buahnya juga bisa dijadikan tepung untuk bahan kue wajik, lempok (dodol), jus, sirup atau minuman instan, sedangkan tanaman nipah (nypa fructicans), dari tandannya bisa dihasilkan bahan pembuat gula nipah, dan buahnya bisa dimasak untuk dijadikan kolak.
Tanaman jeruju (achantus iliciofolius) yang juga termasuk species mangrove, ekstrak daunnya dapat diolah menjadi kerupuk, waru laut (hibiscus tilaceus) daunnya bisa dijadikan campuran bahan pembuat tempe, sedangkan tanaman lindur (bruguiera gymnorhyza) buahnya juga bisa dijadikan tepung untuk bahan berbagai jenis penganan.
Areal hutan mangrove menjadi habitat berbagai satwa seperti kera, ular, kepiting, udang dan keong, sedangkan kecambah (propagul) dari buah mangrove yang mengandung tanin juga bisa dimanfaatkan untuk pewarna batik.
Pentingnya kegiatan pemanfaatan hutan mangrove dibarengi dengan upaya pelestariannya diserukan dalam seminar untuk memperingati "25 Tahun Pengelolaan Hutan Mangrove oleh PT Bintuni Utama Murni Wood Industries (BUMWI) dan Dampaknya terhadap Kesinambungan Ekosistem Mangrove" yang diselenggarakan Fakultas Kehutanan IPB dan PT BUMWI di Bogor, 16-17 Oktober, 2013.
PT BUMWI yang didirikan pada 1988 memperoleh izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di kawasan hutan mangrove seluas 82.120 ha di wilayah Teluk Bintuni, Provinsi Papua Barat sampai tahun 2052.
Harus ditanggulangi segera
Tenaga Ahli Menteri Kehutanan Bidang Pengembangan Pengelolaan DAS Dr Ir Harry Santoso menekankan harus segera ditanggulangi terjadinya degradasi lingkungan secara masif di wilayah pantai berhutan mangrove yang diikuti pemiskinan penduduknya.
"Hal itu sejalan dengan strategi pembangunan 2010-2014 yakni `propertumbuhan, `prolapangan kerja dan `prolingkungan," kata Harry dalam sambutannya pada pembukaan seminar.
Alternatif pendekatan yang ia sarankan, yakni bagi kawasan pantai yang telah dikelola masyarakat nelayan dan pesisir untuk tujuan nonkomersial, perlu pemberian akses dan pemulihan hak pengelolaan sumberdaya sesuai budaya dan kearifan lokal yang telah dipraktekkan mereka turun temurun.
Hal lain yang perlu dilakukan, berupa hak pengelolaan sumberdaya dan hak memperoleh lingkungan bersih dan sehat bagi masyarakat sekitar hutan mangrove, serta mengefektifkan peran pemerintah dalam memanfaatkan pulau-pulau tanpa penghuni dan pulau-pulau kecil terdepan.
Pengelolaan hutan mangrove, lanjut Harry, harus bermanfaat bagi rakyat, mengedepankan azas pemerataan dan mendorong peran masyarakat serta mempercepat pemulihan kerusakan kawasan yang telah terdegradasi, termasuk mencegah maraknya kegiatan ekstraktif yang mengancam kelestarian ekosistem mangrove.
Sementara Peter Saenger dari Southern Cross University, Lismore, Australia menyebutkan manfaat hutan bakau, secara langsung: antara lain kayunya untuk bahan kertas, arang dan produk lainnya, dan secara tidak langsung sebagai habitat ikan, udang, kepiting, kerang-kerangan, liang dan tempat pembiakan berbagai satwa lainnya.
Kawasan hutan mangrove berfungsi melindungi kawasan pantai dari badai dan tsunami, perbaikan kualitas air dan juga sebagai kawasan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity).
Sementara Dirut PT BUMWI Raflis, mengemukakan penyelenggaraan seminar juga dilatarbelakangi upaya menghapus stigma di tengah masyarakat dunia bahwa kerusakan yang terjadi pada areal hutan mangrove di Indonesia akibat eksploitasi yang berlebihan atau ulah manusia.
"Mereka menuduh, kerusakan hutan mangrove terjadi akibat pemanfaatan kayu mangrove tanpa validasi sehingga terbentuk persepsi, apa pun yang dilakukan pemegang HPH di kawasan hutan mangrove akan merusak kelestarian hutan," ujarnya.
Informasi sejujurnya
Pada bagian lain Raflis mengemukakan, PT BUMWI yang telah memiliki pengalaman 25 tahun mengelola hutan mangrove, tergerak untuk memberikan informasi sejujurnya dan terbuka bahwa tidak semua kegiatan atau pengelolaan hutan mangrove merusak lingkungan.
"Pengelolaan hutan mangrove secara bijaksana justeru akan menguntungkan negara, meningkatkan kesejahteraan masyrakat sekitar kawasan hutan, sekaligus melestarikan lingkungan," tandasnya.
Menurut dia, memang terjadi kerusakan hutan mangrove di beberapa tempat di Indonesia, tetapilebih sering terjadi akibat konversi hutan mangrove untuk peruntukan lain seperti pembangunan tambak dan perumahan.
Sebagai bukti keseriusan dalam pengelolaan dan pelestarian hutan mangrove, PT BUMWI telah memperoleh Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang bersifat mandatory (wajib) dan Sertifkat Legal Harvest Verification (LHV) dari Lembaga Scientific Certification System (SCS) yang bersifat sukarela (voluntary).
"Dalam waktu dekat ini, kami juga akan mendapatkan Sertifikat 'Sustainable Forest Management (SFM) berdasarkan standar internasional dari Forest Stewardship Council' (FSC)," kata Raflis.
Sementara Yasuko Inoue BSc, MA dari Jepang dalam makalahnya berjudul "Studi Retrospektif Pertumbuhan Mangrove, Manajemen dan Perspektif Komunitas di PT BUMWI" membenarkan, setelah 15 tahun dieksploitasi (2004), dari hasil temuannya, diameter dan tinggi pohon mangrove yang ditanam kembali ternyata lebih besar dari 6,6 cm menjadi 10,3 cm, sedangkan tinggi pohon dari 10,3 meter menjadi 12,8 meter.
Hasil studi yang dilakukan oleh Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA) itu juga menyebutkan dari sisi perspektif komunitas, masyarakat di wilayah konsesi BUMWI juga menikmati pembangunan sarana dan prasarana berupa jalan, jembatan, sekolah, bantuan pangan, pengobatan, pembayaran hak ulayat dan juga pekerjaan.
"Adat warga setempat juga tetap dipertahankan, misalnya dengan mengadakan rapat-rapat para pemuka warga sebelum operasi penebangan kayu mangrove dilakukan," tutur Inoue yang saat ini menjabat penasehat kementerian pertanian Mozambique.
Dr Wahyudi S. Pono dari Universitas Papua juga memuji sistem "silviculture" yang diterapkan oleh PT BUMWI dalam metode pembibitan tanaman mangrove diindikasikan mampu menghasilkan regenerasi alamiah dalan kegiatan pembibitan di sejumlah kawasan populasi hutan mangrove.
Ia menilai, metode pembibitan yang dilakukan perusahaan ini selama 24 tahun dalam pengelolaan hutan mangrove berhasil, sehingga perlu diteruskan.
Penting secara geopolitik
Prof Dr H. Cecep Kusuma dari IPB menilai, sebagai negeri kepulauan, keberadaan kawasan hutan mangrove penting bagi Indonesia secara geopolitik untuk menjaga eksistensi pulau-pulau terluar sebagai tapalbatas dengan negara tetangga.
Manfaat lain kawasan hutan mangrove, menurut dia, disamping kayunya untuk bahan produk industri, juga sebagai habitat berbagai fauna dan satwa laut, proteksi pantai, pemurnian air dari polusi dan menurunkan kadar emisi karbon.
Sementara pakar bidang Nilai Tinggi Konservasi Hutan (High Conservation Value Forest) Dr Ir Nyoto Santoso, juga dari IPB, mengungkapkan kekayaan hayati di kawasan hutan mangrove yang dikelola PT BUMWI berupa 329 species dan 91 famili tanaman dan 87 species fauna (75 jenis burung, lima satwa mamalia dan tujuh jenis reptil.
Terdapat pula sejumlah satwa yang dilindungi seperti elang bondol, kuskus pohon, cikukua dan kasuari di areal hutan mangrove perusahaan tersebut.
Muljadi Tantra dari Green Forest Product and Technology, Singapura, dalam makalahnya berjudul dampak ekonomi pengelolaan hutan mangrove BUMWI menyebutkan, sejak 1989 BUMWI telah mengeskpor 2,9 juta ton chip mangrove atau dengan produksi sekitar 240 ton kayu mangrove per ha.
Dalam makalahnya Muljadi mengemukakan, kesinambungan usaha hanya biasa dicapai bila ketiga segmen yakni ekonomi, sosial dan lingkungan berinteraksi secara positif.
Kalangan usaha semakin mantap jika berimbas positif bagi kesejahteraan sosial dan lingkungan --dimana kegiatan dilakukan dan keuntungan diraih-- tetap terjaga," tuturnya.
Mengingat besarnya manfaat hutan mangrove bagi masyarakat dan pemerintah, perlu aksi bersama secara lintas sektoral, termasuk dengan melibatkan kalangan perguruan tinggi dan swasta guna menggali secara komprehensif potensi nilai tambahnya, tanpa merusak atau membuat lingkungan terdegradasi tentunya.(Ant)