OPINI
Masyarakat suku Kerinci telah memiliki berbagai peninggalan seni dan kebudayaan, berbagai benda-budaya tersimpan hampir diseluruh penjuru dusun dan kalbu yang ada di dalam komunitas masyarakat adat paling kecil.
Peninggalan benda budaya sebagian besar masih tersimpan rapi, sebagian disimpan di rumah adat dan menjadi barang pusaka yang dikeramatkan. Ratusan benda budaya lainnya masih tersimpan di perut bumi Sakti Alam Kerinci dan belum tergali dan belum terdokumentasi dengan baik.
Latar belakang Kebudayaan negeri alam Kerinci dipengaruhi oleh tradisi megalitik, akulturasi dengan kebudayaan luar. Kendati alat-alat dari zaman Paleolitikum (Batu Tua) belum banyak ditemukan di alam Kerinci, namun mengingat letak geografis dan topografi alam Kerinci, maka tidak mustahil benda-benda budaya zaman Paleolithikum masih terkubur di perut bumi Alam Kerinci dalam jumlah yang cukup banyak untuk dijadikan bukti kuat mengenai fosil manusia zaman prasejarah yang saat ini belum ditemukan untuk dijadikan data keras manusia zaman Paleolithikum di Kerinci.
Penemuan sub fosil manusia oleh peneliti Paleontologi Indonesia E. Dubois di Gua Tiangko Sungai Manau Kabupaten Merangin dapat disimpulkan secara kasar bahwa ras manusia tesebut tergolong Australomelanesid. Dari penanggalan Radio Karbon dapat dipastikan kepurbaannya antara 6000 - 9000 Tahun SM.
Zaman Paleolitikum ditandai oleh pemakaian alat-alat batu, serpih tulang dengan bentuk yang sangat sederhana. kehidupan ini bekisar antara 750.000 tahun sampai ± 10.000 Tahun SM. Kehidupan masa itu di Indonesia di dominasi spesies homo yang disebut “Pithecanthropus”, di Jawa populasinya sekitar. 500.00 jiwa.
Di duga Pithecantropus juga hidup di Sumatera, Kalimantan kemungkinan besar juga ada di Sulawesi dan Filipina. Mereka hidup pada zaman es dengan tingkat kebudayaan yang sangat sederhana, pada masa itu Pulau Sumatera-Jawa dan Kalimantan masih menyatu dengan daratan Asia.
Sebagaimana diketahui proses pembentukan bangsa Indonesia adalah akibat perjalanan sejarah Hindia Belakang (Asia Tenggara) yang berlansung beberapa kali periode pertebaran bangsa Austronesia (Melayu tua) yang berlansung dalam zaman Prahistoria (Pra Sejarah) dan hal ini dapat dibuktikan dengan penggalian kapak batu yang serupa di berbagai daerah dalam kawasan Asia dan Austronesia.
Alat-alat zaman Neolithikum yang banyak ditemukan di daerah alam Kerinci terbuat dari bahan batu seperti beliung, penusuk, serut, batu inti, belincung, cakram beratur, serpihan serpihan obisidian, alat-alat budaya lainnya seperti lesung batu, lumping, batu persegi empat, gerabah bermotif Paddle Mark terbuat dari tanah liat yang dibakar, perhiasan manic-manik berwarna dari bahan batu akik darah.
Khusus mengenai serpihan obsidian yang ditemui di Kerinci disebut menjadi inti dari kebudayaan alat serpih (Flakes Culture) yang termasuk dalam zaman Mesolithikum atau zaman peralihan antara zaman Paleolithikum (Batu Tua) dan Neolithikum (Batu Baru).
Peninggalan masa prasejarah yang ditemukan di Alam Kerinci sejenis menhir, keadaan dan bentuk menhir cukup unik dan belum pernah ditemukan di daerah lain di Indonesia. Batu ini berbentuk Silinder (Silindrik) dengan posisi tidur atau tergeletak diatas permukaan tanah dengan posisi menghadap kearah gunung berapi.
Pada umumnya menhir yang ada di Indonesia dalam bentuk batu tegak, kondisi menhir di alam Kerinci terlihat adanya penyimpangan dari tradisi megalitik yang terdapat di Indonesia, kemungkinan ini bersifat lokal meski berasal dari satu rumpun bangsa yang sama. Batu silindrik di Kerinci ada yang memiliki releif dan ada yang polos tidak memiliki relief.
Sampai saat ini ada 7 batu silindrik yang ditemukan di alam Kerinci yang bernilai arkeologis, dengan relief manusia kang kang, matahari, lingkaran, sulur, garis-garis simetris, garis tanda berbentuk oval, dan manusia berwujud raksasa. Secara kronologis berasal dari 10.000 tahun SM, temuan serupa juga terdapat 1 buah di negara India.
Ukuran batu silindrik bervariasi, seperti contoh batu patah di Desa Muak memiliki panjang 4,20 m, lebar 1 m dan Tinggi 1,17 m. Sebuah monolit berukuran tinggi 35 cm dengan diameter 66 cm motif relief pada monolit adalah gambar gajah, kerbau, kuda, anjing dan manusia bermahkota.
Masa prasejarah di alam Kerinci dimuai sejak permulaan adanya manusia sampai ditemukan adanya keterangan tertulis tentang kehidupan Kecik Wok Gedang Wok. Manusia tertua ini diperkirakan telah ada di alam Kerinci sejak 35.000 SM.
Akan tetapi hasil penelitian yang dilakukan oleh Anthony, J Whitten (1973) di gua Tiangko yang berada di wilayah Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin (wilayah ini dahulunya termasuk dalam wilayah Kerinci rendah, pen) dari hasil temuan ini dipastikan manusia Kecik Wok Gedang Wok telah ada di alam Kerinci sejak 10.000 SM.
Pada tahun 1987 (Budhi VJ) bersama peneliti sejarah dari Aucland DR. Barbara Waltson Andaya telah mengunjungi situs purbakala yang ada di alam Kerinci dan mendamipingi Dr. Barbara Waltson Andaya melakukan penelitian suku Batin diwilayah Kecamatan Limun dan Sarolangun.
Pada Agustus 2011, penulis kembali melakukan perjalanan ke pemukiman manusia purba di gua Tiangko dan lokasi “Taman Bumi” (Geo Park) di sepanjang Sungai Batang Merangin.
Perjalanan menggunakan motor perahu tempek ukuran kecil dimulai dari Desa Biuku Tanjung hingga ke Teluk Wang Kecamatan Bangko Barat Kabupaten Merangin.
Diwilayah Kerinci rendah khususnya di Kabupaten Merangin yang berada di lokasi kewasan Kecamatan Pangkalan Jambu, Kecamatan Sungai Manau, Kecamatan Bangko Barat, Muara Siau, Kecamatan Lembah Masurai, Kecamatan Jangkat hingga kawasan Lubuk Gaung, Nalo Tantan dan Ngaol banyak ditemukan tinggalan kebudayaan prasejarah yang nyaris hampir sama dengan tinggalan kebudayaan zaman prasejarah yang berada di Kawasan Kerinci Tinggi (Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh).
Hasil penelitian peneliti dari luar negeri dan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Idris Jakfar, SH mengungkapkan bahwa di kawasan Kerinci Rendah dan Kerinci tinggi terdapat kawasan pemukiman manusia purba “Gedang Wok Kecik Wok” umumnya lokasi gua-gua tempat pemukiman manusia purba itu berada daerah sulit dijangkau, lokasi banyak cerukan dan kondisi gua-gua batu itu merupakan batu stalagnit dan stalagtit.
Di gua Tiangko misalnya terdapat puluhan pintu-pintu berupa gua-gua bertingkat dan di pintu masuk terdapat ruangan yang cukup besar, dibelakang gua terdapat celah tempat sinar matahari memasukkan cahayanya.
Kondisi gua dari luar terlihat tertutup, setelah gua dimasuki diatas sebuah bukit kecil tampak suasana gua yang menakjubkan, pengunjung dapat memasuki lorong-lorong gua yang berliku, dikedalaman gua kondisi agak gelap karena cahaya sinar matahari tidak dapat menembus gua batu Tiangko.
Pemerintah Hindia Belanda dengan surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 90 Tahun 1919 telah menetapkan gua-gua yang berada di kawasan Kerinci Tinggi dan Kerinci Rendah sebagai cagar alam budaya. Gua-gua yang dijadikan sebagai kawasan cagar alam budaya itu adalah Gua Tiangko, Gua Sengering, Gua Keruh, Gua Masjid, Gua terentak, Gua Pancur, Gua Tali, Gua Senamat, Gua Putih, Gua Batu, Gua Sungai Batang.
Gua-gua lain yang diperkirakan pernah menjadi kediaman manusia Gedang Wok Kecik Wok adalah Gua Kasah, Gua Kapeh, Gua Kelelawar, Gua Tiang Bungkuk, Gua Sengayau, Gua Batu kuning, sejumlah gua-gua di daerah bekas Marga Serampas dan bekas Marga Sungai Tenang, Muara Siau dan di wilayah Lembah Masurai. Wilayah ini dikenal sebagai daerah yang kaya dengan flora dan fauna yang dikonsumsi oleh manusia purba ”Gedang Wok Kecik Wok”.
DR. Barbara Waltson Andaya dalam diskusinya dengan penulis (Budhi Vj: Bangko 1987) mengemukakan manusia purba yang mendiami lembah alam Kerinci merupakan mayarakat nomaden yang menggantungkan hidupnya pada hasil alam dan hewan buruan, mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil, sebelum memilih tinggal di dalam gua-gua batu, manusia purba ini tinggal sementara di dalam ceruk pangkal kayu yang besar/bane kayu (lobang kayu).
Sepintas pola kehidupan manusia purba penunggu lembah alam Kerinci memiliki banyak kesamaan dengan pola kehidupan manusia suku pedalaman Jambi, suku anak dalam primitive yang hidup nomaden, meramu dan melakukan kegiatan berburu.
Pendapat penulis besar kemungkinan suku anak dalam (Kubu) yang ada kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas, Bukit 30 dan sebagian besar suku anak dalam di wilayah Hitam Ulu, hingga Senamat, Pelepat Kabupate Bungo dan Kabupaten Tebo di duga merupakan sisa-sisa manusia purba di lembah alam Kerinci yang masih tersisa. Kesamaan yang terlihat jelas antara manusia purba dengan suku kubu (suku anak dalam) adalah hidup nomaden.
Hingga paruh abad ke 20 orang kubu masih tinggal di bane kayu, mereka sama-sama tergantung dari alam dan hasil kegiatan berburu, suku kubu tradisional/primitif tidak berpakai lengkap, pola hidup dan pola pengolahan untuk dikonsusi masih sangat sederhana.
Sistim kemasyarakatan dan pola kehidupan mereka yang masih sungguh sangat sederhana, maka para ilmuawan sepakat bahwa manusia Gedang Wok Kecik Wok adalah manusia pertama yang hidup pada zaman batu tua (Paleolitikum).
Manusia Kecik Wok Gedang Wok telah mengenal api, hasil penelitian ahli sejarah pada sejumlah gua-gua yang dilakukan penelitian terdapat bekas tempat unggun api, mereka membuat unggun api untuk memanaskan ruangan gua pada malam hari. Nenek moyang orang suku Kerinci pada masa lalu menganut kepercayaan dinamisme dan animisme, mereka sangat mempercayai kekuatan benda dan kekuataan roh.
Benda-benda itu mereka yakini memiliki steih semangat, mereka sangat meyakini bahwa para nenek moyang yang telah meninggal dunia rohnya tetap hidup dan abadi, roh-roh ini mereka yakini masih hidup menetap pada batu-batu besar, pohon-pohon besar dan gunung.
Mereka sangat memuja arwah/roh para leluhur, ketergantungan terhadap roh-roh nenek moyang sangat mereka andalkan, mereka memuja dan meminta perlindungan, keselamatan dan meminta rezeki ke pada para roh-roh nenek moyang mereka.
Dan sisa-sisa peninggalan purba sampai saat ini masih dapat di lihat di alam Kerinci, namun sisa-sisa tersebut telah berubah dalam bentuk kebudayaan yang dikemas untuk sebuah pertunjukkan dan atraksi seni dan budaya.
Walau masa kuno telah berlalu, akan tetapi sisa-sisa peninggalan kebudayaan nenek moyang sampai saat ini masih dapat kita temui pada sejumlah situs-sistus peninggalan batu tua, batu tengah, maupun zaman batu baru. Untuk mengenal lebih dekat peninggalan-peninggalan masa lampau, penulis akan menampilkan sejumlah peninggalan nenek moyang suku Kerinci yang mendiami alam Kerinci diantaranya:
A. Situs Batu Silindrik Pondok
Situs Pondok terletak di Dusun Pondok, Desa Pondok, Kecamatan Bukit Kerman, Situs ini terletak di tengah pematang yang berada pada ketinggian 960 m di atas permukaan laut.
Tinggalan megalitik yang terdapat di situs ini berupa batu silindrik (penduduk menyebut dengan batu bedil, batu larung, batu gong, batu meriam). Batu tersebut berbentuk bulat, memanjang dengan ukuran 4,2 x 0,65 x 0,7 m. Pada bagian ujung dan kedua sisi permukaan terdapat hiasan motif spiral, semacam lingkaran-lingkaran yang makin mengecil pada bagian tengah. Kini kondisi batu silindrik tersebut sudah patah pada bagian tengah, oleh karena itu masyarakat setempat juga menyebut Batu patah. Tinggalan batu silindrik ini tidak berdiri sendiri karena tidak jauh dari tempat berdirinya juga ditemukan deretan batu bulat yang menyerupai umpak.
B. Situs Batu Silindrik Pulau Sangkar
Situs Pulau Sangkar terletak di Desa Pulau Sangkar, Kecamatan Batang Merangin, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Situs ini berada pada ketinggian 895 m di atas permukaan laut, sekitar 100 m dari tepi Sungai Paun. Tinggalan megalitik yang ada di situs ini berupa batu silindrik yang berbentuk bulat memanjang dengan ukuran 3,9 x 1 x 0,8 m dan menghadap ke arah tenggara, yakni puncak Bukit Muak.
C. Situs Batu Silindrik Bukit Talangpulai
Situs Bukit Talang pulai terletak di Dusun Koto Baru, Desa Jujun, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Situs ini terletak di atas Bukit Talang Pulai dengan ketinggian 995 m di atas permukaan laut.
Tinggalan megalitik yang ada di situs ini berupa batu silindrik yang berbentuk bulat memanjang dengan ukuran 1,5 x 0,98 x 1,2 m. Sisi depan dihias pahatan berbentuk manusia memakai penutup dada (kemben), sedangkan sisi belakang dihias pahatan berbentuk manusia memegang semacam gada dan memakai kain sarung. Batu silindrik tersebut tersebut dikelilingi oleh sejumlah batu datar yang membentuk susunan tertentu.
Tinggalan arkeologi yang terkait dengan keberadaan batu silindrik tersebut adalah ditemukannya sejumlah fragmen gerabah baik polos maupun berhias tatap tali dan diperkirakan bagian dari sisa aktivitas pemukiman kehidupan prasejarah yang berlangsung pada waktu itu.
D. Situs Dolmen Pulau Tengah
Situs Dolmen Pulau Tengah terletak di Desa Pulau Tengah, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Situs Dolmen di Pulau Tengah berada pada ketinggian 850 m di atas permukaan laut, sekitar 50 m di dekat aliran Sungai Labo, tepatnya di tepi jalan raya Desa Pulau Tengah.
Lokasi Situs Dolmen Pulau Tengah berada di pinggir jalan raya dan berada 75 meter dari Jembatan Merah Pulau Tengah.
Dibelakang situs terdapat sebuah rumah yang dijadikan sebagai markas tentara Kolonial Belanda pada masa pendudukan Belanda di Pulau Tengah Kerinci.
Dibelakang situs ini terdapat hutan belantara yang dijadikan sebagai basis gerilya pejuang Kerinci pada masa perang Pulau Tengah tahun 1903.