Jakarta (ANTARA Jambi) - Pemerintah dan PT Freeport Indonesia
akhirnya menyepakati perpanjangan operasi dan rencana investasi tambang
emas dan tembaga Grasberg di Papua setelah habis masa kontrak pada 2021.
Kesepakatan tersebut untuk menjawab pertanyaan bagaimana dengan
nasib usaha tambang Freeport di Indonesia, yang selama ini masih menjadi
tanda tanya.
Diperpanjangnya izin usaha pertambangan Freeport sebenarnya sudah
bisa terbaca saat Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman
Said bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas
Sofjan Djalil serta Menteri Perindustrian Saleh Husin mengunjungi lokasi
proyek perusahaan raksasa asal Amerika Serikat di Tembaga Pura itu pada
20 September 2015.
Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sudirman Said saat itu mengatakan
dirinya mendukung PT Freeport Indonesia untuk terus melanjutkan usaha
di Papua mengingat keberadaannya sangat membantu perekonomian Papua dan
nasional.
"Saya kira siapa pun tahu kalau ada pihak yang ingin investasi tentu
akan minta kepastian usaha jangka panjang. Apalagi kita saat ini sedang
gencar-gencarnya ingin menarik investor sebanyak mungkin," kata Menteri
Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) di Timika, Papua.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM
Hufron Asrofi pada 9 Oktober 2015 melalui siaran pers mengatakan
pemerintah telah memberi keyakinan kepada Freeport bahwa izin operasi
perusahaan raksasa tambang asal AS tersebut di Papua akan diperpanjang
pasca-2021.
"Besarnya investasi Freeport dan komitmen yang telah dan sedang
berlangsung, menjadi pertimbangan kesepakatan ini, termasuk peningkatan
royalti, pendirian pengolahan dan pemurnian di dalam negeri, kewajiban
divestasi dan konten lokal," katanya .
Sudirman Said mengatakan, kelanjutan investasi Freeport di Papua akan meningkatkan perekonomian lokal dan nasional.
Sedangkan, Direktur Utama Freeport-McMoRan Inc James R Moffett
menyatakan, pihaknya senang dengan jaminan hukum dan fiskal dari
Pemerintah Indonesia.
"Kami berharap melanjutkan kemitraan dan rencana investasi jangka
panjang kami untuk memajukan ekonomi, membuka lapangan pekerjaan, dan
meningkatkan perekonomian di Papua," katanya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM juga sudah menyatakan akan memperpanjang izin operasi Freeport di Papua selama 20 tahun.
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM saat itu Dadan
Kusdiana dalam jumpa pers pada 10 Juni 2015 mengatakan, kepastian
kelanjutan operasi selama 20 tahun tersebut menyusul persetujuan
Freeport mempercepat perubahan rezim kontrak karya (KK) menjadi izin
usaha pertambangan khusus (IUPK) sebelum kontrak berakhir pada 2021.
Kalau percepatan IUPK itu bisa dilakukan pada 2015, maka dengan diperpanjang 20 tahun, kontrak Freeport akan berakhir 2035.
Jumpa pers digelar untuk menjelaskan hasil pertemuan Menteri ESDM
dengan Chairman Freeport McMoRan Inc James R Moffet dan Direktur Utama
Freeport Indonesia Maroef Syamsuddin.
Menurut Dadan, pertimbangan pemberian kelanjutan operasi kepada
Freeport setelah 2021 adalah karena perusahaan tambang raksasa asal AS
itu membutuhkan kepastian sebelum menggelontorkan investasinya.
Freeport berencana mengeluarkan investasi sebesar 17,3 miliar dolar
AS yang terdiri atas 15 miliar dolar untuk tambang bawah tanah dan
infrastruktur, serta 2,3 miliar dolar untuk "smelter".
Pengembalian investasi yang rencananya digelontorkan mulai 2015 itu
baru bisa kembali jauh setelah kontrak Freeport habis pada 2021.
Dadan mengatakan, percepatan perubahan rezim pengelolaan tersebut
merupakan terobosan hukum tanpa melanggar UU No 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyebutkan perpanjangan operasi
bisa diajukan dua tahun sebelum kontrak berakhir.
Menurut dia, Pasal 169b UU Minerba menyebutkan, semua rezim KK harus
diubah menjadi IUPK. Freeport yang akan habis kontrak pada 2021, sesuai
UU Minerba, baru bisa mengajukan perpanjangan 2019.
Sementara, di sisi lain, Freeport membutuhkan kepastian kelanjutan
operasi untuk pengembalian investasinya. Atas persoalan tersebut,
Kementerian ESDM mengusulkan percepatan perubahan rezim KK menjadi IUPK
sebelum 2021.
"Pada pertemuan hari ini, Freeport menyatakan setuju KK diubah
menjadi IUPK," kata Dadan. Ia menambahkan, dengan rezim IUPK, maka
pemerintah bisa mencabut izin Freeport. Kalau KK, kedudukan investor
setara dengan negara. Tapi, kalau IUPK, maka kapan-kapan bisa dicabut.
Pernyataan sedikit berbeda disampaikan Staf Khusus Menteri ESDM Said
Didu yang mengatakan hingga saat ini, pemerintah belum memperpanjang
kontrak PT Freeport Indonesia di konsesi tambang Grasberg, Papua setelah
2021.
"Yang dilakukan pemerintah saat ini bukan atau belum perpanjangan
kontrak Freeport, tetapi upaya memberikan sinyal kuat kepada investor
bahwa pemerintah menghargai upaya investasi yang dilakukan khususnya
investor asing," katanya dalam siaran persnya.
Menurut dia, pemberian sinyal perpanjangan kontrak tersebut
merupakan kelaziman agar Freeport memiliki kesempatan mempersiapkan diri
melakukan investasi.
"Jumlah investasi Freeport sangat besar hingga 17,5 miliar dolar AS dan membutuhkan proses financial closing," ujarnya.
Said juga mengatakan, perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun
2014 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara bukan hanya untuk Freeport, namun juga investor lain yang
memiliki komitmen sama berinvestasi.
Menurut dia, perpanjangan kontrak Freeport juga merupakan
kepentingan nasional yakni mendorong pertumbuhan industri dalam negeri
dan kemampuan nasional mengelola tambang besar melalui proses divestasi.
"Terkait Freeport ini, Menteri ESDM bertindak sebagai perpanjangan
tangan pemerintah, dan semua tindakan dilakukan atas persetujuan
Presiden (Jokowi,red)," ujarnya.
Syarat
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menuntut sejumlah
persyaratan dari perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu jika ingin
melanjutkan operasi di Tanah Air.
"Pertama, kami minta mereka bayar royalti sebesar enam persen hingga
tujuh persen. Sebelumnya hanya satu persen. Bayangkan coba itu,"
katanya dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR di Gedung Parlemen,
Jakarta.
Menurut Rizal Ramli, saat awal Orde Baru, membayar royalti hasil
tambang sebesar satu persen tidak jadi masalah lantaran belum ada
investor yang masuk.
Namun, saat perpanjangan kontrak pada pertengahan tahun 80-an, ia menilai seharusnya bisa lebih menguntungkan Indonesia.
"Yang terjadi, mohon maaf, pejabatnya disogok. Sehingga terjadi
perpanjangan kontrak yang tidak berubah term-nya sama sekali," katanya.
Mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu meminta agar hal tersebut jangan sampai terjadi lagi.
Maka, renegosiasi kontrak dengan Freeport akan menjadi momentum
untuk menulis ulang sejarah dalam pengelolaan pertambangan mineral.
"Kedua, kami minta bereskan limbah itu. Selama ini, limbah beracun
dilempar begitu saja di Sungai Amungme. Ikannya mati, rakyatnya
sakit-sakitan," katanya.
Padahal, menurut Rizal, banyak pertambangan lain di Indonesia yang
limbahnya diproses dahulu sebelum disimpan di bawah tanah atau dibuang.
Ia menambahkan, di Negeri Paman Sam sendiri, tidak ada yang berani melanggar undang-undang lingkungan hidup itu.
Dicontohkan salah satu perusahaan yang menumpahkan minyak yang
besar ke Teluk Meksiko, tapi pemerintah Amerika Serikat mendenda
perusahaan tersebut sebesar 30 miliar dolar AS.
Angin segar untuk Freeport
Jumat, 16 Oktober 2015 13:23 WIB