Seiring
dengan reformasi pada 1998, banyak produk Orde Baru yang digusur. Selain
GBHN, BP7 yang bertugas menanamkan pemahaman ber-Pancasila bagi semua
warga negara sebagai bentuk bela negara, juga ikut digusur, dan masih
ada yang lain-lain.
Pada pertengahan dasawarsa
'90-an, Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto, merancang dan
menetapkan rangkaian GBHN bernama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I dan
Tahap II, yang berlaku setiap 25 tahun.
Hal
serupa ini yang dipatuhi --semisal-- Korea Selatan sehingga
pembangunannya berhasil dan terlihat hasilnya secara jelas kini. Demam
K-pop melanda dunia berdasarkan rancangan dan kepatuhan pada rencana
yang jitu.
Adalah Wakil Ketua MPR, Mahyudin, yang mengusulkan pembentukan dan penetapan GBHN itu.
"Tidak setiap ganti presiden ganti visi-misi, jadi menterinya tidak jelas kerjanya," kata dia, saat membuka kajian temu pakar implementasi Pancasila, UUD 1945 dan sistem ketatanegaraan, di Kendari, Jumat. Dalam bahasa sederhana di tingkat lebih rendah, dikenal istilah ganti pejabat ganti selera.
Ia mengatakan, meski GBHN ada pada masa Orde Baru, namun hal itu tidak berarti GBHN buruk.
Menurut dia, justru GBHN diperlukan agar kemajuan pembangunan dapat terukur dan menjadi pegangan para menteri dalam bekerja.
Melalui GBHN, para menteri dapat diukur kinerjanya sehingga memudahkan presiden dalam mengambil keputusan terhadap para menteri.
Dengan GBHN pula, pemerintah dari tingkat tertinggi dan juga menteri juga tidak akan terlalu banyak mengumbar pencitraan dibandingkan pencapaian kinerja karena langsung dapat diketahui.
Menurut dia, sejumlah menteri dalam pemerintahan saat ini lebih terlihat di media massa dibandingkan kinerjanya. Capaian kinerja dan arahnya tidak jelas.
Selain itu, dalam sambutannya ia juga menyinggung mahalnya biaya demokrasi di Indonesia.
Dengan biaya politik yang mahal, membuat korupsi juga semakin merajalela. Meski terus ditindak, namun korupsi seperti tak afa habisnya.
Untuk itu, ia berharap kaji ulang sistem pemilihan umum yang menempatkan kualitas bukan pada besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan.
"Tidak setiap ganti presiden ganti visi-misi, jadi menterinya tidak jelas kerjanya," kata dia, saat membuka kajian temu pakar implementasi Pancasila, UUD 1945 dan sistem ketatanegaraan, di Kendari, Jumat. Dalam bahasa sederhana di tingkat lebih rendah, dikenal istilah ganti pejabat ganti selera.
Ia mengatakan, meski GBHN ada pada masa Orde Baru, namun hal itu tidak berarti GBHN buruk.
Menurut dia, justru GBHN diperlukan agar kemajuan pembangunan dapat terukur dan menjadi pegangan para menteri dalam bekerja.
Melalui GBHN, para menteri dapat diukur kinerjanya sehingga memudahkan presiden dalam mengambil keputusan terhadap para menteri.
Dengan GBHN pula, pemerintah dari tingkat tertinggi dan juga menteri juga tidak akan terlalu banyak mengumbar pencitraan dibandingkan pencapaian kinerja karena langsung dapat diketahui.
Menurut dia, sejumlah menteri dalam pemerintahan saat ini lebih terlihat di media massa dibandingkan kinerjanya. Capaian kinerja dan arahnya tidak jelas.
Selain itu, dalam sambutannya ia juga menyinggung mahalnya biaya demokrasi di Indonesia.
Dengan biaya politik yang mahal, membuat korupsi juga semakin merajalela. Meski terus ditindak, namun korupsi seperti tak afa habisnya.
Untuk itu, ia berharap kaji ulang sistem pemilihan umum yang menempatkan kualitas bukan pada besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan.