Bersama Nova Widianto, Liliyana dua
kali merebut medali emas Kejuaraan Dunia (2005 dan 2007) dan menambah
lagi koleksinya tahun 2013 dengan Tontowi Ahmad.
Lilyana,
yang akrab disapa Butet, menjadi pemain putri pertama Indonesia yang
berhasil merebut tiga gelar di ajang bergengsi tersebut.
Pemain
berusia 30 tahun itu kembali menorehkan sejarah dengan mencetak
hat-trick juara All England. Mereka menjadi juara pada 2012, 2013, dan
2014.
Itu semua belum termasuk deretan gelar
bergengsi di level superseries dan superseries premier yang sukses ia
persembahkan untuk Indonesia.
Dan medali emas Olimpiade yang baru saja ia raih bersama Tontowi, menyempurnakan gelar-gelar sebelumnya.
Semua
pencapaian Liliyana tidak lepas dari jerih payahnya sejak kecil.
Selepas lulus sekolah dasar, Liliyana kecil sudah memutuskan
meninggalkan bangku sekolah, mengorbankan masa mudanya, dan memilih
fokus pada bulu tangkis.
Saat berusia 12
tahun, ia diterima masuk di PB Tangkas, Jakarta. Sebagai anak bungsu
yang cukup dimanja, ia mulai belajar hidup mandiri dan jauh dari orang
tua.
Liliyana berhasil melewati itu semua
sehingga menjadi atlet yang ditakuti di lapangan dan dikagumi di luar
arena sebagai panutan berkat kegigihan dan kedisiplinannya.
Namun,
ada sosok lain yang juga begitu gigih membawa Liliyana menjadi atlet
yang disegani. Dia adalah ayah Liliyana, Beno Natsir.
Catatan kecil sang ayah
Beno
dan istrinya, Olly Maramis (Auw Jin Chen), selalu menemani putrinya
tersebut latihan dan bertanding saat masih bergabung di klub Pisok
Manado.
Mereka tidak hanya menonton dan memberi
semangat. Beno tidak pernah lupa membawa buku catatannya. Saat Liliyana
bermain, ia selalu mencatat kesalahan atau kekurangan putrinya.
"Saya
catat kekurangannya, sampai di rumah setelah latihan, saya menggelar
net lagi. Lalu, Liliyana latihan lagi memperbaiki kesalahannya yang
sudah saya catat," kata Beno.
"Kalau
pertandingan, saya duduk paling depan. Saya kasih kode ke dia misal apa
yang kurang, misal pukulan kurang melambung," tambah pengusaha bengkel
itu.
Catatan kecil itu telah hilang, tetapi masih membekas bagi Liliyana.
"Catatan
kecil itu berharga bagi saya karena mengingatkan saya yang waktu itu
masih kecil, kalau main masih ada salah jadi diingetin dan kalau lupa
ada memorinya," kata Liliyana yang kini bergabung di PB Djarum.
Meskipun
tidak ada lagi catatan dari ayahnya, Liliyana mengaku sampai saat ini
sang ayah tetap memberi catatan-catatan yang kerap disampaikan padanya.
"Ayah
saya itu juga seorang yang ambisi, sangat support pada apa yang
dicita-citakan anaknya. Sampai sekarang, ayah saya masih sering kasih
masukan ke saya, kemarin mainnya kurang begini dan begitu. Bahkan tidak
hanya mengomentari permainan saya tetapi juga pemain lain," ungkap
pemain kelahiran Manado, 9 September 1985 itu.
"Saya memang masih suka kontak dia, kasih masukan, motivasi dan pesan agar dia selalu jaga kesehatan dan fokus," ujar Beno.
Pengorbanan Beno dan istrinya mengantar si bungsu untuk mengejar mimpinya tidak sia-sia.
Malam
itu, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI ke 71, Liliyana Natsir dan
Tontowi Ahmad mempersembahkan medali emas Olimpiade 2016 Rio.
Tangis
haru Beno dan istrinya belum juga usai saat sekelompok warga mendatangi
rumahnya seraya menyanyikan lagu Indonesia Raya sambil membawa bendera
merah putih.
"Saya kaget sekali tengah malam
ada yang mengetuk rumah, lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bangga
sekali dan terharu," ujar Beno.