Riyadh, Antarajambi.com - Indonesia menyarankan pendekatan agama dan
budaya di dalam mengatasi terorisme karena sejarah membuktikan bahwa
senjata dan kekuatan militer saja tidak akan mampu mengatasi terorisme.
"Untuk program deradikalisasi, misalnya, otoritas Indonesia
melibatkan masyarakat, keluarga, termasuk keluarga mantan narapidana
terorisme yang sudah sadar, dan organisasi masyarakat," kata Presiden
Joko Widodo.
Presiden Jokowi menyampaikan hal itu ketika berbicara di Arab
Islamic America Summit atau Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Arab Islam
Amerika di Conference Hall King Abdulaziz Convention Center, Riyadh Arab
Saudi, Minggu (21/5).
Menurut Presiden, pemikiran yang keliru hanya dapat diubah dengan cara berpikir yang benar.
Indonesia meyakini pentingnya menyeimbangkan pendekatan "hard-power"
dengan pendekatan "soft-power". Selain pendekatan hard-power, Indonesia
juga mengutamakan pendekatan soft-power, yaitu melalui pendekatan agama
dan budaya.
Presiden Jokowi menyebutkan untuk kontraradikalisasi, otoritas di
Indonesia antara lain merekrut para netizen muda dengan follower yang
banyak untuk menyebarkan pesan-pesan damai.
"Kita juga melibatkan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia,
yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, untuk terus mensyiarkan Islam
yang damai dan toleran," tutur Presiden.
Pesan-pesan damailah yang harus diperbanyak, bukan pesan-pesan kekerasan. Setiap kekerasan akan melahirkan kekerasan baru.
Menurut Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden
Bey Machmudin, dalam kesempatan itu Presiden mengatakan bahwa KTT itu
memiliki makna yang penting untuk mengirimkan pesan kemitraan dunia
Islam dengan Amerika Serikat dan menghilangkan persepsi bahwa Amerika
Serikat melihat Islam sebagai musuh.
"Yang lebih penting lagi pertemuan ini harus mampu meningkatkan
kerja sama pemberantasan terorisme dan sekaligus mengirimkan pesan
perdamaian kepada dunia," ujar Presiden.
Presiden mengatakan ancaman radikalisme dan terorisme terjadi di
mana-mana. Indonesia adalah salah satu korban aksi terorisme, serangan
di Bali terjadi tahun 2002 dan 2005 dan serangan di Jakarta terjadi
Januari 2016.
"Dunia marah dan berduka melihat jatuhnya korban serangan terorisme
di berbagai belahan dunia di Perancis, Belgia, Inggris, Australia dan
lain-lain," ucap Kepala Negara.
Dunia seharusnya juga sangat prihatin terhadap jatuhnya lebih banyak
korban jiwa akibat konflik dan aksi terorisme di beberapa negara
seperti Irak, Yaman, Suriah, Libya.
"Umat Islam adalah korban terbanyak dari konflik dan radikalisme terorisme," kata Presiden.
Lebih lanjut Presiden mengatakan bahwa jutaan orang harus keluar
dari negaranya untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jutaan generasi
muda kehilangan harapan masa depannya.
"Kondisi ini membuat anak-anak muda frustasi dan marah. Rasa marah
dan frustasi ini dapat berakhir dengan muculnya bibit-bibit baru
ektremisme dan radikalisme," kata Presiden.
Pemikiran Jokowi
Dalam penutupnya, Presiden menyampaikan empat pemikirannya. Pertama,
umat Islam se-dunia harus bersatu untuk meningkatkan ukhuwah Islamiyah.
"Persatuan umat Islam merupakan kunci untuk keberhasilan memberantas
terorisme. Janganlah energi kita habis untuk saling bermusuhan," ujar
Presiden.
Kedua, kerja sama pemberantasan radikalisme dan terorisme harus
ditingkatkan, termasuk pertukaran informasi intelijen, pertukaran
penanganan FTF (Foreign Terrorist Fighters), peningkatan kapasitas.
"Semua sumber pendanaan harus dihentikan, kita semua tahu banyaknya
dana yang mengalir sampai ke akar rumput di banyak negara dalam rangka
penyebaran ideologi ekstrem dan radikal. Semua aliran dana harus
dihentikan," tutur Presiden.
Ketiga, upaya menyelesaikan akar masalah harus ditingkatkan,
ketimpangan dan ketidakadilan harus diakhiri, pemberdayaan ekonomi yang
inklusif harus diperkuat
"Terakhir, saya berharap bahwa setiap dari kita harus berani menjadi
part of solution dan bukan part of problem dari upaya pemberantasan
terorisme. Setiap dari kita harus dapat menjadi bagian upaya penciptaan
perdamaian dunia," ujar Presiden Jokowi.
Indonesia sarankan pendekatan agama-budaya atasi terorisme
Senin, 22 Mei 2017 8:30 WIB