Jakarta, Antarajambi.com - Banyak pemerintah dan non pemerintah asing
yang ditolak atau ditanggapi dingin oleh pemerintah Myanmar, termasuk
PBB, tetapi Indonesia adalah kekecualian karena selalu disambut dengan
tangan terbuka oleh Myanmar.
Mengapa bisa begitu? Ada banyak
kalangan yang bisa menjelaskannya, khususnya yang terlibat langsung
dalam hubungan Indonesia-Myanmar. Salah satu yang bisa menjawabnya
adalah Agung Notowiguno, Presiden Direktur Pos Keadilan Peduli Ummat
(PKPU) Human Initiative.
Dalam perbincangan dengan ANTARA News,
Senin 18 September 2017, Agung berkata, "Indonesia lebih diterima oleh
Myanmar, bukan hanya karena kita dianggap big brother, tetapi
juga karena Indonesia selalu menawarkan pendekatan inklusif yang berbeda
dari misalnya Malaysia yang harus melewati lebih banyak pertimbangan
dari pemerintah Myanmar."
Kata sentral yang keluar dari mulut
Agung adalah "inklusif". Dan rasanya tak ada kata paling tepat selain
kata ini yang bisa menjelaskan dengan meyakinkan mengapa sebuah negara
berpenduduk mayoritas Buddha dengan tangan terbuka bersedia menerima
dengan hangat uluran tangan negara berpenduduk mayoritas pemeluk Islam.
Adalah
kiprah PKPU Human Initiative di Myanmar, tepatnya Rakhine, yang
menegaskan "kesaktian" kata yang satu itu, padahal semua orang tahu
betapa panas atmosfer politik Rakhine belakangan ini. PKPU bahkan bisa
menjadi salah satu medium dalam memotret keistimewaan Indonesia pada
tata pergaulan internasional lewat kiprah kemanusiaannya di Rakhine.
Di
sana, sejak 2012, PKPU yang bermitra dengan pemerintah Indonesia,
khususnya Kementerian Luar Negeri, aktif memanusiakan manusia tanpa
melihat asal usulnya, kendati yang terbanyak menerima bantuan adalah
Rohingya Muslim karena memang komunitas ini yang memiliki jumlah korban
paling besar akibat kekerasan di Rakhine.
PKPU, pemerintah
Indonesia dan pemangku kepentingan lain mengelola enam sekolah di
Mrauk-U, Maungdaw dan Sittwe, yang dua di antara sekolah-sekolah itu
dikelola eksklusif PKPU dengan para operatornya dari warga dan
pemerintahan daerah Rakhine.
"Prinsip kami adalah memberdayakan
sumber daya lokal, sedangkan misi kemanusiaan kami di Rakhine dan di
tempat mana pun dibangun lewat kerangka hubungan people to people
yang setelah beberapa lama dilanjutkan ke tingkat pemerintah demi
program-program kemanusiaan jangka panjang kami di tempat itu," kata
Agung.
Idealisme dan modal sosial
Berawal dari
kepedulian terhadap tragedi kemanusiaan pada 1997-1998, sekelompok
pemuda menggelar aksi sosial demi menumbuhkan asa positif kepada
negerinya, sampai kemudian mereka mendirikan Yayasan PKPU pada 10
Desember 1999.
"Kami berangkat dari idealisme dan pilihan hidup
mengenai sejauh mana kami bisa bermanfaat untuk orang banyak," kata
Agung yang bertitel master manajemen dari Universitas Brawijaya itu.
"Ini
juga bentuk tanggung jawab kami dalam mengedukasi masyarakat, mengingat
Indonesia memiliki modal sosial besar berupa kepedulian sosial yang
tinggi dari masyarakatnya yang penolong untuk siapa pun, tanpa melihat
asal usul siapa yang mereka tolong. Kami ingin energi ini diarahkan
untuk menciptakan dampak baik kepada masyarakat," sambung suami untuk
seorang istri berprofesi PNS dan ayah untuk empat anak ini.
Dua
tahun setelah didirikan, PKPU menjadi Lembaga Amil Zakat Nasional. Pada
22 Juli 2008, PBB mendaftarkan mereka sebagai NGO berstatus "Special
Consultative Group with the Economic Social Council". Setelah
pemerintah resmi memasukkan mereka sebagai Organisasi Sosial Nasional
pada 29 Januari 2010, Uni Eropa meregistrasi mereka dalam EuropeAid pada
8 Oktober 2010. Tujuh tahun setelah itu mereka mengubah nama menjadi
PKPU Human Initiative.
Mulanya delapan staf pada 1996, PKPU kini
memiliki 300 staf di seluruh Indonesia dengan jangkauan misi ke seluruh
provinsi di Indonesia, selain jauh melintasi batas negara dari Somalia
di Afrika sampai Turki di Eropa, dari Rakhine dan Tepi Barat serta Jalur
Gaza di Asia-Timur Tengah, sampai Haiti di benua Amerika.
Di Indonesia, PKPU fokus memberdayakan masyarakat yang sampai detik ini telah mempunyai 32 daerah binaan di seluruh Indonesia.
Agung
tidak menolak lembaga kemanusiaannya bernuansa Islam yang kental,
apalagi hampir seluruh stafnya Muslim. Tetapi predikat itu tidak
menghalangi PKPU menunaikan misi kemanusiaan tanpa pandang bulu,
khususnya di tanah-tanah asing bermayoritas non Muslim. Alih-alih mereka
malah diterima dengan tangan terbuka oleh penduduk dan otoritas
setempat, termasuk Myanmar.
Itu bukan saja karena PKPU inklusif,
tapi juga berangkat dari pemahaman bahwa "mengaplikasikan nilai-nilai
sosial Islam yang jauh lebih besar dari sekadar berbicara itu sangat
penting dan sangat berfaedah bagi siapa pun, apalagi Islam itu
universal."
"Kalau hidayah sih urusan Allah, kami serahkan kepada
Allah. Kami hanya berusaha mengaplikasikan nilai-nilai sosial Islam
dalam kehidupan nyata," kata Agung.
Follow the rules
PKPU
tak mengacuhkan warga Buddha dan Hindu yang disebutnya sama-sama tidak
berdaya dan korban dari konflik di Myanmar. Oleh karena itu, misi
kemanusiaan PKPU juga menjangkau dua komunitas itu. Dan inilah kemudian
yang membuat PKPU, dan umumnya misi kemanusiaan Indonesia lainnya,
diterima oleh Myanmar.
"Misi kemanusiaan sudah semestinya tidak
membeda-bedakan siapa yang akan dibantunya," kata Agung. "Bahkan untuk
kami, jangankan di luar negeri, di Indonesia saja, kami tak pernah
membeda-bedakan asal usul penerima bantuan kami."
Pada awalnya
menyedikan bantuan logistik dan pangan, PKPU lalu membuat selter-selter
representatif untuk pengungsi di Rakhine, selain fasilitas-fasilitas
lain seperti sekolah.
"Perlu dipahami konflik bahwa yang
menderita akibat konflik tidak hanya Rohingya, namun juga warga Buddha
dan Hindu," terang Agung. "Oleh karena itu kami mengadopsi prinsip
imparsial karena misi kemanusiaan itu universal, tidak bisa dibatasi
sekat-sekat identitas."
Pada 2012, PKPU menandatangani nota
kesepahaman dengan pemerintahan daerah Rakhine. Dengan cara seperti ini
PKPU berharap ada intervensi kebijakan dari pemerintah Myanmar sehingga
misi kemanusiaannya efektif.
"Prinsip kami adalah follow the rules
(mengikuti aturan yang berlaku). Kami juga mengadopsi pendekatan
kultural," kata Agung, lalu mengisahkan bagaimana PKPU meyakinkan
otoritas Myanmar dengan berbekalkan miniatur Candi Borobudur bahwa
kehadiran PKPU di Rakhine adalah untuk semua orang Myanmar, untuk misi
kemanusiaan.
PKPU juga sadar bahwa mereka mesti beriringan dengan
pemerintah. "Salah satu rahasia lain misi kemanusiaan kami adalah
'selalu terkomunikasikan kepada pemerintah kita' karena kami juga butuh
endorsement demi kerja kami di lapangan," kata Agung.
Tak cuma
itu, PKPU juga aktif bekerja sama dengan LSM-LSM bantuan berbasis
keagamaan semisal Chatolic Relief di Yogyakarta untuk pengembangan
kapasitas dalam rangka tanggap darurat.
23 kali misi sudah diluncurkan PKPU di Rakhine, sedangkan bantuan yang tersalur sudah menembus angka 2 juta dolar AS.
Mengutip
laman resminya, sudah 6 juta orang merasakan bantuan kemanusiaan PKPU
lewat 3.000 program kemanusiaan yang didanai dari donasi 169.000 mitra
dan donatur.
Menolong tanpa bertanya siapa yang ditolong
Selasa, 19 September 2017 7:56 WIB