Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan untuk memperpanjang kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit selama setahun untuk membantu mendorong pemulihan ekonomi.
"Perpanjangan restrukturisasi ini sebagai langkah antisipasi untuk menyangga terjadinya penurunan kualitas debitur restrukturisasi. Namun kebijakan perpanjangan restrukturisasi diberikan secara selektif berdasarkan asesmen bank untuk menghindari moral hazard agar debitur tetap mau dan mampu melakukan kegiatan ekonomi dengan beradaptasi di tengah masa pandemi ini," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam pernyataan di Jakarta, Jumat.
OJK segera memfinalisasi kebijakan perpanjangan restrukturisasi ini dalam bentuk POJK termasuk memperpanjang beberapa stimulus lanjutan yang terkait antara lain pengecualian perhitungan aset berkualitas rendah (loan at risk) dalam penilaian tingkat kesehatan bank, governance persetujuan kredit restrukturisasi, penyesuaian pemenuhan capital conservation buffer dan penilaian kualitas Agunan yang Diambil Alih (AYDA) serta penundaan implementasi Basel III.
Realisasi restrukturisasi kredit sektor perbankan per 28 September 2020 sebesar Rp904,3 triliun untuk 7,5 juta debitur. Sementara, NPL pada September 2020 sebesar 3,15 persen menurun dari bulan sebelumnya sebesar 3,22 persen.
Untuk menjaga prinsip kehati-hatian, bank juga telah membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang dalam enam bulan terakhir menunjukkan kenaikan.
OJK senantiasa mencermati dinamika dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kestabilan di sektor jasa keuangan guna mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Baca juga: BI-OJK kerja sama penguatan proses pemberian PLJP kepada perbankan
Baca juga: OJK: Kepercayaan publik terhadap pasar modal masih terus meningkat
Baca juga: OJK: Penambahan jumlah restrukturisasi kredit sudah "flat"