Diversifikasi pangan bagian peningkatan kualitas hidup warga SAD
Sabtu, 31 Juli 2021 21:34 WIB
Jambi (ANTARA) - Diversifikasi pangan bagi warga Suku Anak Dalam (SAD) di Provinsi Jambi merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan dari upaya peningkatan kualitas hidup komunitas yang juga biasa disebut orang rimba itu.
Langkah itu merupakan upaya untuk mendorong masyarakat agar memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsi sehingga tidak terfokus pada satu jenis saja.
Hal itu sangat penting bagi warga yang hidup dan bermukim di kawasan hutan yang memiliki berbagai potensi bahan makanan yang bisa menjadi pangan andalan bagi kelompok masing-masing.
Hal itu diakui oleh Ketua Yayasan Prakarsa Madani yang juga Sekretariat FPKS-SAD Budi Setiawan. Pihaknya melalui Forum Kemitraan Pembangunan Sosial SAD (Forum) telah menempuh beberapa cara dan strategi untuk memaksimalkan pemanfaatan pangan yang ada di sekitar mereka, meski saat ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh warga SAD.
Terutama bagi warga SAD atau kelompok yang tinggal di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Jambi atau luar areal itu.
"Warga SAD sebenarnya memiliki kemampuan bercocok tanam, mereka bisa tanam padi dan ketela pohon. Kita perkenalkan mereka juga umbi-umbian untuk diversifikasi pangan mereka, sehingga cadangan pangan mereka terjamin secara mandiri," kata Budi Setiawan dalam obrolan santai, Jumat petang.
Ia menyebutkan, diversifikasi pangan diperkenalkan kepada warga atau kelompok SAD yang tinggal di kawasan TNBD atau bermukim di perkampungan. Tentunya melalui pendekatan dan strategi yang efektif, sehingga bisa diterima dan diikuti oleh orang rimba.
Tak hanya untuk pangan, juga diversifikasi mata pencaharian mereka untuk menghidupi keluarganya. Selain berburu, hasil hutan atau menjual brondolan sawit, juga dilakukan diversifikasi ke sektor lain seperti menanam pinang, pohon buah bebalik sumpah, rempah dan lainnya untuk jangka panjang.
Sedangkan untuk jangka pendek atau untuk pangan mereka menanam umbi-umbian , salah satunya umbi rambat ungu yang bisa mereka konsumsi dan juga bisa dijual.
Selama ini kendalanya, mereka masih mengandalkan apa yang ada di sekeliling atau di sekitar mereka.
"Sentuhan di berbagai lini dan sektor kita lakukan untuk warga SAD, berbagai pihak sudah turun dan menyentuh mereka baik sektor pendidikan, kesehan, ekonomi dan pemberdayaan masyarakatnya," kata Budi.
Berbagai potensi dan lembaga sudah hadir dan menyentuh untuk kesejahteraan orang rimba baik Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi, perusahaan, pemerintah pusat dan daerah hingga masyarakat di sekitar kawasan itu terlibat aktif.
Terlebih pada pandemi COVID-19 saat ini, yang secara langsung maupun tidak langsung tentu ada dampaknya terhadap masyarakat. Sosialisasi dan penanganan dampak pandemi, perlu dilakukan dan juga mempersiapkan skema-skema penanganan yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Terutama kendala-kendala dan keterbatasan akses.
Bakti sosial digelar sejak akhir tahun 2020 di Kabupaten Sarolangun dan Merangin. Ada sembilan kelompok SAD saat itu yang mendapat sosialisasi pencegahan penyebaran COVID-19 yakni Kelompok Nggrip, Nangkus, Afrizal, Bepayung, Melayau Tuo, Bebayang, Sikar, Pak Jang dan Ngepas
"Dinamika terus bergulir, diharapkan institusi yang sudah hadir bisa meningkatkan sinergi, berkolaborasi serta merancang program yang dibutuhkan orang rimba untuk memenuhi tiga kebutuhan dasar yakni penghidupan, pemukiman dan akses layanan pendidikan dan kesehatan," katanya.
Ia mengapresiasi pihak perusahaan perkebunan, salah satunya PT SAL yang telah mengembangkan program pemberdayaan, pendidikan, kesehatan dan bantuan ekonomi. Juga beberapa perusahaan lainnya yang juga bergerak untuk memfasilitasi orang rimba.
"Semuanya bergerak, namun masih ada program yang tumpang tindih. Melalui Forum diharapkan semuanya dikoordinasikan dan program diintergrasikan sehingga lebih efektif," kata Budi.
Sekilas Orang Rimba
Budi Setiawan dalam tesisnya saat menyelesaikan S2 di FISIP UI tahun 2010 menuliskan orang rimba hidup secara berkelompok dalam rombong yang terus ditempa oleh proses perubahan sosial yang disebabkan berbagai pengaruh lingkungan hidupnya baik fisik, sosial budaya, ekonomi bahkan politik.
Dalam menghadapi proses perubahan sosial itu setiap rombong menyikapi atau melakukan adaptasi secara berbeda. Pola adaptasi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya berpengaruh pada sikap dan perilaku anggota rimbong yang akhirnya menjadi sikap dan perilaku rombong dalam menghadapi perubahan yang ada.
Berdasarkan sikap dan perilaku dan kemampuan adaptasi rombong dalam menghadapi perubahan lingkungan hidupnya orang rimba dapat dibagi dalam beberapa kelompok karakter berdasarkan bentuk interaksi sosial, sumber mata pencaharian, konsisten dan komitmen pada adat istiadat ketergantungan terhadap hutan dan pemukiman dapat dibedakan menjadi kelompok tradisional, kelompok transisi, kelompok pengembara, kelompok bediom yang hidup bertempat tinggal di luar kawasan bekerja sebagai buruh dan kelompok berkampung.
"Hanya untuk kelompok tradisional saat ini sudah tidak ada, karena kelompok itu sudah berinteraksi dengan pihak luar. Dulu biasanya kelompok itu berinteraksi hanya melalui pimpinan kelompoknya, melalui waris dan jenang tiap kelompok. Sekarang relatif semua sudah berinteraksi," kata Budi.
Kelompok berkampung jumlahnya terus meningkat, mereka membangun rumah sandiri, menetap di desa dan berkebun dan memiliki dokumen kependudukan.
Forum menurut Budi terus memfasilitasi, bekerjasama dengan pemerintah desa terdekat untuk mengakomondasi dokumen kependudukan, tentunya setelah merak menetap dalam komunitas setingkat rukun tetangga di wilayah desa tersebut.
"Kendala dokumen kependudukan, KTP dan Kartu Keluarg. Mereka masih berpidah-pindah, namun seiring waktu pendataan dilakukan bersama-sama sehingga mereka bisa memiliki dokumen kependudukan dan tentunya mulai menetap bersama kelompoknya. Jumlah orang rimba berdokumen kependudukan terus bertambah, dan terus melakukan pendekatan-pendekatan," kata Budi menambahkan.
Langkah itu merupakan upaya untuk mendorong masyarakat agar memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsi sehingga tidak terfokus pada satu jenis saja.
Hal itu sangat penting bagi warga yang hidup dan bermukim di kawasan hutan yang memiliki berbagai potensi bahan makanan yang bisa menjadi pangan andalan bagi kelompok masing-masing.
Hal itu diakui oleh Ketua Yayasan Prakarsa Madani yang juga Sekretariat FPKS-SAD Budi Setiawan. Pihaknya melalui Forum Kemitraan Pembangunan Sosial SAD (Forum) telah menempuh beberapa cara dan strategi untuk memaksimalkan pemanfaatan pangan yang ada di sekitar mereka, meski saat ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh warga SAD.
Terutama bagi warga SAD atau kelompok yang tinggal di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Jambi atau luar areal itu.
"Warga SAD sebenarnya memiliki kemampuan bercocok tanam, mereka bisa tanam padi dan ketela pohon. Kita perkenalkan mereka juga umbi-umbian untuk diversifikasi pangan mereka, sehingga cadangan pangan mereka terjamin secara mandiri," kata Budi Setiawan dalam obrolan santai, Jumat petang.
Ia menyebutkan, diversifikasi pangan diperkenalkan kepada warga atau kelompok SAD yang tinggal di kawasan TNBD atau bermukim di perkampungan. Tentunya melalui pendekatan dan strategi yang efektif, sehingga bisa diterima dan diikuti oleh orang rimba.
Tak hanya untuk pangan, juga diversifikasi mata pencaharian mereka untuk menghidupi keluarganya. Selain berburu, hasil hutan atau menjual brondolan sawit, juga dilakukan diversifikasi ke sektor lain seperti menanam pinang, pohon buah bebalik sumpah, rempah dan lainnya untuk jangka panjang.
Sedangkan untuk jangka pendek atau untuk pangan mereka menanam umbi-umbian , salah satunya umbi rambat ungu yang bisa mereka konsumsi dan juga bisa dijual.
Selama ini kendalanya, mereka masih mengandalkan apa yang ada di sekeliling atau di sekitar mereka.
"Sentuhan di berbagai lini dan sektor kita lakukan untuk warga SAD, berbagai pihak sudah turun dan menyentuh mereka baik sektor pendidikan, kesehan, ekonomi dan pemberdayaan masyarakatnya," kata Budi.
Berbagai potensi dan lembaga sudah hadir dan menyentuh untuk kesejahteraan orang rimba baik Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi, perusahaan, pemerintah pusat dan daerah hingga masyarakat di sekitar kawasan itu terlibat aktif.
Terlebih pada pandemi COVID-19 saat ini, yang secara langsung maupun tidak langsung tentu ada dampaknya terhadap masyarakat. Sosialisasi dan penanganan dampak pandemi, perlu dilakukan dan juga mempersiapkan skema-skema penanganan yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Terutama kendala-kendala dan keterbatasan akses.
Bakti sosial digelar sejak akhir tahun 2020 di Kabupaten Sarolangun dan Merangin. Ada sembilan kelompok SAD saat itu yang mendapat sosialisasi pencegahan penyebaran COVID-19 yakni Kelompok Nggrip, Nangkus, Afrizal, Bepayung, Melayau Tuo, Bebayang, Sikar, Pak Jang dan Ngepas
"Dinamika terus bergulir, diharapkan institusi yang sudah hadir bisa meningkatkan sinergi, berkolaborasi serta merancang program yang dibutuhkan orang rimba untuk memenuhi tiga kebutuhan dasar yakni penghidupan, pemukiman dan akses layanan pendidikan dan kesehatan," katanya.
Ia mengapresiasi pihak perusahaan perkebunan, salah satunya PT SAL yang telah mengembangkan program pemberdayaan, pendidikan, kesehatan dan bantuan ekonomi. Juga beberapa perusahaan lainnya yang juga bergerak untuk memfasilitasi orang rimba.
"Semuanya bergerak, namun masih ada program yang tumpang tindih. Melalui Forum diharapkan semuanya dikoordinasikan dan program diintergrasikan sehingga lebih efektif," kata Budi.
Sekilas Orang Rimba
Budi Setiawan dalam tesisnya saat menyelesaikan S2 di FISIP UI tahun 2010 menuliskan orang rimba hidup secara berkelompok dalam rombong yang terus ditempa oleh proses perubahan sosial yang disebabkan berbagai pengaruh lingkungan hidupnya baik fisik, sosial budaya, ekonomi bahkan politik.
Dalam menghadapi proses perubahan sosial itu setiap rombong menyikapi atau melakukan adaptasi secara berbeda. Pola adaptasi terhadap perubahan lingkungan sekitarnya berpengaruh pada sikap dan perilaku anggota rimbong yang akhirnya menjadi sikap dan perilaku rombong dalam menghadapi perubahan yang ada.
Berdasarkan sikap dan perilaku dan kemampuan adaptasi rombong dalam menghadapi perubahan lingkungan hidupnya orang rimba dapat dibagi dalam beberapa kelompok karakter berdasarkan bentuk interaksi sosial, sumber mata pencaharian, konsisten dan komitmen pada adat istiadat ketergantungan terhadap hutan dan pemukiman dapat dibedakan menjadi kelompok tradisional, kelompok transisi, kelompok pengembara, kelompok bediom yang hidup bertempat tinggal di luar kawasan bekerja sebagai buruh dan kelompok berkampung.
"Hanya untuk kelompok tradisional saat ini sudah tidak ada, karena kelompok itu sudah berinteraksi dengan pihak luar. Dulu biasanya kelompok itu berinteraksi hanya melalui pimpinan kelompoknya, melalui waris dan jenang tiap kelompok. Sekarang relatif semua sudah berinteraksi," kata Budi.
Kelompok berkampung jumlahnya terus meningkat, mereka membangun rumah sandiri, menetap di desa dan berkebun dan memiliki dokumen kependudukan.
Forum menurut Budi terus memfasilitasi, bekerjasama dengan pemerintah desa terdekat untuk mengakomondasi dokumen kependudukan, tentunya setelah merak menetap dalam komunitas setingkat rukun tetangga di wilayah desa tersebut.
"Kendala dokumen kependudukan, KTP dan Kartu Keluarg. Mereka masih berpidah-pindah, namun seiring waktu pendataan dilakukan bersama-sama sehingga mereka bisa memiliki dokumen kependudukan dan tentunya mulai menetap bersama kelompoknya. Jumlah orang rimba berdokumen kependudukan terus bertambah, dan terus melakukan pendekatan-pendekatan," kata Budi menambahkan.