Jambi (ANTARA) - Langkah pemerintah memindahkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp200 triliun dari rekening Bank Indonesia ke bank-bank pelat merah menjadi perbincangan hangat di ruang publik.
Kebijakan ini bukan hanya soal teknis penempatan dana negara, melainkan juga menyangkut arah strategi fiskal dan perbankan dalam menopang pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah ingin agar dana yang selama ini mengendap di rekening negara, kini bisa bergerak lebih lincah di tangan perbankan untuk memperbesar penyaluran kredit ke sektor riil.
Dana yang ditempatkan pemerintah di bank-bank pelat merah itu tidak hadir tanpa aturan main yang jelas.
Namun melalui skema Deposito On-Call (DOC), dana bersifat likuid dan dapat sewaktu-waktu ditarik kembali oleh negara, namun penggunaannya terikat ketentuan khusus: harus disalurkan ke sektor riil dalam bentuk kredit produktif, bukan dialihkan ke instrumen finansial seperti pembelian surat utang.
Landasan hukum kebijakan ini ditegaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63 Tahun 2025 tentang Penggunaan SAL pada Tahun Anggaran 2025.
Selanjutnya penempatan dana Pemerintah tersebut juga memperhitungkan skala dan kebutuhan jaringan operasional setiap bank.
Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Negara Indonesia (BNI) masing-masing mendapat jatah Rp55 triliun. Bank Tabungan Negara (BTN) memperoleh Rp25 triliun, sementara Bank Syariah Indonesia (BSI) menerima Rp10 triliun.
Totalnya mencapai Rp200 triliun, dan semuanya ditempatkan dalam bentuk Deposito On-Call (DOC) dengan tingkat bunga sekitar 4 persen per tahun.
Skema ini memungkinkan pemerintah sewaktu-waktu menarik kembali dana tersebut jika dibutuhkan, menjadikannya bukan sekadar hibah, tetapi instrumen fiskal yang likuid dan terukur.
Potensi Penambahan Likuiditas
Dari sisi potensi, suntikan dana sebesar ini jelas menambah likuiditas perbankan nasional secara signifikan.
Tambahan Rp200 triliun diperkirakan menambah hampir dua persen dari total dana pihak ketiga (DPK) nasional. Artinya, bank memiliki ruang lebih luas untuk menyalurkan kredit dengan bunga yang lebih kompetitif.
Jika benar-benar diarahkan ke sektor riil, kebijakan ini bisa menjadi dorongan besar bagi pembiayaan usaha, investasi, serta program padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.
Sejak awal paruh kedua 2025, perbankan Indonesia menunjukkan bahwa likuiditasnya masih cukup kuat.
Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan tercatat tumbuh sekitar 6,96 persen (YoY) pada Mei 2025, dengan total DPK mencapai kurang lebih Rp9.072 triliun. Sehingga apabila suntikan dana SAL sebesar Rp200 triliun dimasukkan ke dalam sistem ini, maka tambahan likuiditas tersebut sekitar 2,2 persen dari total DPK dan secara kuantitas menambah basis likuiditas yang sudah besar.
Hal ini akan berdampak bank-bank yang dmedapatkan kucuran dana memiliki ruang yang lebih leluasa dalam mendanai kredit tanpa harus meningkatkan biaya simpanan secara drastis.
Di sisi penyaluran kredit, performa terkini menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit perbankan mulai melambat. Pertumbuhan kredit tahunan pada Juli 2025 tercatat 7,03 persen dibandingkan Juli tahun sebelumnya, turun dari sekitar 7,77 persen pada bulan sebelumnya.
Sementara itu, pada Mei 2025 pertumbuhan kredit mencapai 8,43 persen YoY, dengan jumlah kredit hampir Rp7.997,63 triliun. Suntikan dana sebesar Rp200 triliun, jika dialokasikan dengan efektif ke dalam sektor riil, akan mampu mempercepat pemulihan pertumbuhan kredit ke kisaran yang lebih tinggi, misalnya mendongkrak pertumbuhan kredit sebanyak 0,5-1 persen poin tambahan dalam jangka pendek.
Secara nilai ekonomis, dampak dari penyaluran dana ini ke sektor riil cukup signifikan. Bila misalnya dari Rp200 triliun tersebut, 80 persen disalurkan menjadi kredit produktif, maka sekitar Rp160 triliun dapat langsung mengalir ke usaha, investasi, dan proyek padat karya.
Kredit sebesar itu bisa mendukung penciptaan lapangan kerja, terutama di sektor UMKM dan industri ringan, serta merangsang permintaan input usaha dan konsumsi lokal.
Berikutnya peningkatan kredit produktif ini juga bisa memicu efek berganda (multiplier), yaitu dalam hal peningkatan produksi akan mendorong peningkatan pendapatan dan hal itu akan mendorong terjadinya juga peningkatan konsumsi, sehingga akan berdampak juga pada peningkatan penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi keseluruhan.
Dengan catatan bahwa hambatan seperti permintaan kredit, risiko kredit, dan tingkat bunga tetap dipantau dan dikelola dengan baik dan pruden.
Tantangan Likuiditas yang dihadapi
Namun, di balik potensi yang telah dijelaskan tersebut, ada tantangan yang tidak ringan. Tambahan likuiditas tidak otomatis menjelma menjadi kredit produktif.
Permintaan kredit dari dunia usaha bisa saja belum pulih sepenuhnya, atau bank justru memilih jalur aman menyalurkannya ke instrumen keuangan lain yang lebih pasti.
Padahal, pemerintah secara tegas melarang penggunaan dana ini untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN), agar manfaatnya langsung menyentuh sektor riil.
Tantangan lainnya adalah soal biaya dana: bunga 4 persen relatif lebih tinggi dibandingkan sumber dana murah yang biasa dihimpun bank dari tabungan atau giro. Jika tidak dikelola dengan cermat, margin keuntungan bank bisa tertekan, yang pada akhirnya memengaruhi strategi penyaluran kredit.
Aspek tata kelola juga menjadi sorotan. Dana sebesar ini langsung ditempatkan ke bank-bank pelat merah tanpa mekanisme lelang terbuka.
Meski logikanya wajar karena bank BUMN dinilai lebih siap dan lebih aman, tetap muncul pertanyaan mengenai transparansi dan akuntabilitas.
Publik tentu berharap ada laporan rutin tentang sejauh mana dana ini benar-benar mengalir ke sektor produktif, bukan hanya tersimpan di neraca bank.
Selain itu, pengalihan dana SAL juga punya implikasi moneter. Dana yang sebelumnya mengendap di Bank Indonesia kini masuk ke sistem perbankan, mengubah komposisi cadangan likuiditas dan memengaruhi pasar uang antarbank.
Jika berlangsung lama, efeknya bisa berlapis: dari pergerakan suku bunga antarbank hingga transmisi kebijakan moneter. Karena itu, koordinasi antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas.
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif
Esensi kebijakan memindahkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) senilai Rp200 triliun dari rekening Bank Indonesia ke bank-bank pelat merah membawa pesan yang jelas: pemerintah tidak ingin dana menganggur, namun dana tersebut mampu menggerakkan perekonomian melalui tangan perbankan nasional.
Dalam situasi di mana pembiayaan pembangunan membutuhkan kreativitas, memanfaatkan SAL adalah langkah strategis. Keberhasilan skema ini akan sangat ditentukan oleh dua hal: pertama, seberapa disiplin bank menyalurkan kredit ke sektor riil; kedua, seberapa transparan pemerintah melaporkan dampak penempatan dana ini kepada publik.
Jika menoleh ke pengalaman negara lain, pola serupa pernah diterapkan di India melalui skema Special Liquidity Scheme tahun 2020.
Pemerintah India menempatkan dana publik di perbankan nasional untuk mendukung pembiayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta sektor infrastruktur.
Hasilnya, lebih dari 1,2 juta UMKM mendapat akses kredit baru dengan bunga rendah, dan tingkat penyerapan tenaga kerja naik signifikan di sektor padat karya seperti tekstil serta manufaktur ringan.
Di Brasil, pemerintah juga pernah memanfaatkan cadangan fiskalnya untuk memperkuat development bank BNDES, yang kemudian menyalurkan kredit murah ke sektor energi terbarukan.
Langkah itu terbukti mendorong percepatan transisi energi sekaligus menciptakan lebih dari 150 ribu lapangan kerja baru dalam kurun tiga tahun.
Pada akhirnya, transfer dana SAL ke bank BUMN adalah cerminan dari dilema klasik antara potensi dan risiko.
Ia bisa menjadi katalis pertumbuhan jika dikelola dengan baik, atau sebaliknya, hanya menjadi perpindahan angka di neraca tanpa dampak berarti bagi masyarakat.
Pertanyaan yang tersisa: apakah Rp200 triliun ini akan benar-benar menjadi bahan bakar baru bagi mesin ekonomi, atau sekadar menambah ruang parkir likuiditas di bank-bank besar?.
Jawabannya hanya bisa dilihat dari kinerja penyaluran kredit dalam bulan-bulan ke depan, serta komitmen untuk mengelola dana publik tersebut agar menghasilkan nilai tambah yang nyata, yaitu menggerakan roda perekonomian dengan lancar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif bagi pasar dan masyarakat .
