Jambi (ANTARA) - Setiap tanggal 21 September, masyarakat dunia memperingati Hari Perdamaian Internasional. Peringatan ini bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum reflektif yang mengingatkan umat manusia betapa rapuhnya peradaban tanpa perdamaian. Sejarah modern telah mengajarkan, dua perang dunia di abad ke-20 meluluhlantakkan tatanan global, menggerus sendi-sendi ekonomi, dan menghancurkan martabat kemanusiaan. Berangkat dari pengalaman pahit itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menginisiasi hari khusus ini sebagai alarm global agar dunia tidak lengah dan tidak mengulangi kesalahan sejarah.
Bagi Indonesia, Hari Perdamaian Internasional memiliki arti strategis. Bangsa ini lahir dengan falsafah Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan sosial, serta menempatkan politik luar negeri “bebas aktif” sebagai prinsip utama diplomasi. Indonesia memiliki kepentingan untuk meneguhkan posisinya sebagai juru damai dunia, sekaligus menjadikan stabilitas domestik sebagai modal dalam percaturan global. Kehadiran Presiden Prabowo Subianto di Sidang Tahunan PBB di New York bertepatan dengan momentum tersebut, memberi panggung bagi Indonesia untuk menyampaikan pesan penting: perdamaian adalah jalan menuju stabilitas, dan stabilitas adalah kunci pembangunan berkelanjutan.
Namun, pesan perdamaian itu harus ditopang oleh konsistensi kondisi dalam negeri. Gelombang demonstrasi besar pada akhir Agustus lalu menjadi cermin bahwa dinamika politik domestik tidak boleh disepelekan. Meskipun demonstrasi merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin dalam demokrasi, eskalasi yang berlebihan dapat menimbulkan citra negatif di mata dunia. Media internasional sering kali menyoroti unjuk rasa besar di negara berkembang sebagai tanda rapuhnya stabilitas politik, padahal realitasnya lebih kompleks. Jika tidak diantisipasi dengan bijak, dinamika internal ini bisa merongrong kredibilitas diplomasi Indonesia yang tengah mengusung agenda perdamaian di panggung global.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menegaskan komitmennya menjaga stabilitas dengan cara yang demokratis dan berkeadilan. Antisipasi terhadap gejolak sosial tidak boleh dilakukan dengan pendekatan represif semata, melainkan melalui dialog, transparansi, serta kebijakan yang menyalurkan aspirasi rakyat secara konstruktif. Dengan cara ini, Indonesia tidak hanya memperkuat legitimasi domestik, tetapi juga menjaga kredibilitas internasionalnya. Dunia akan menilai, sejauh mana sebuah negara mampu menjadi teladan perdamaian bukan hanya di forum PBB, tetapi juga dalam pengelolaan dinamika internalnya.
Stabilitas Sebagai Fondasi Kehidupan Bangsa
Tidak ada pembangunan yang tumbuh dari tanah konflik. Sejarah global berulang kali menunjukkan bahwa perang dan kekerasan selalu melahirkan kehancuran, bukan kemajuan. Negara-negara yang terjebak dalam peperangan internal maupun antarnegara justru terperosok dalam jurang stagnasi ekonomi, di mana pertumbuhan terhenti, lapangan kerja lenyap, dan kesejahteraan masyarakat runtuh. Konflik bukan hanya merusak infrastruktur fisik, tetapi juga merobek tatanan sosial, mengikis kepercayaan, serta memutus rantai produksi yang menjadi penopang perekonomian. Dengan kata lain, kekerasan adalah antitesis dari pembangunan.
Data terbaru dari Institute for Economics and Peace (IEP, 2024) mempertegas kenyataan tersebut. Laporan lembaga internasional itu mencatat bahwa konflik global pada tahun 2023 menimbulkan kerugian ekonomi dunia hingga US$ 17,5 triliun, atau sekitar 13% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) global. Angka yang luar biasa besar ini menggambarkan betapa mahalnya harga yang harus dibayar umat manusia ketika perdamaian gagal dijaga. Kerugian tersebut tidak hanya berupa hancurnya infrastruktur, tetapi juga hilangnya produktivitas, meningkatnya biaya militer, hingga runtuhnya investasi jangka panjang.
Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang memperkuat kesadaran akan mahalnya harga konflik. Pada era 1990-an hingga awal 2000-an, negeri ini diguncang konflik bersenjata di Aceh dan kerusuhan sosial di Ambon. Kedua peristiwa tersebut bukan hanya mencederai persatuan bangsa, tetapi juga mengguncang stabilitas nasional. Ekonomi daerah merosot tajam, arus perdagangan terganggu, dan ribuan warga terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mencari perlindungan. Konflik yang terjadi di dalam negeri menunjukkan secara nyata bagaimana kekerasan dapat meruntuhkan pondasi kehidupan masyarakat dalam waktu singkat.
Namun, sejarah juga mencatat bahwa Indonesia mampu keluar dari jerat konflik dengan cara yang bermartabat. Melalui jalur dialog, rekonsiliasi, dan pendekatan perdamaian, konflik di Aceh dan Ambon berhasil diredam. Wilayah yang dulunya bergejolak kini menjadi ruang pembangunan baru, tempat investasi kembali tumbuh dan masyarakat bisa hidup berdampingan dengan damai. Proses ini menunjukkan bahwa perdamaian bukan hanya nilai moral yang dijunjung tinggi, melainkan juga modal pembangunan yang nyata. Dengan perdamaian, roda ekonomi dapat kembali berputar, kepercayaan masyarakat pulih, dan pembangunan dapat dijalankan dengan lebih terarah
Harmonisasi Agenda Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan tidak mungkin lahir dari dunia yang diliputi perang. Konsep pembangunan yang inklusif dan berjangka panjang sangat tergantung pada terciptanya kondisi peace, justice, and strong institutions, sebagaimana ditetapkan dalam Tujuan ke-16 Sustainable Development Goals (SDGs). Teori pembangunan klasik seperti teori modernisasi (modernization theory) menyebut bahwa institusi yang stabil dan baik adalah prasyarat agar masyarakat dapat bergerak dari kondisi tradisional menuju kondisi industri dan pasca industri. Sementara teori pembangunan terkini termasuk pendekatan human security dan fragile states framework yang menekankan bahwa keamanan manusia, supremasi hukum, dan kelembagaan yang kuat adalah variabel kunci yang mempengaruhi performa pembangunan. Tanpa stabilitas ini, keberlanjutan pembangunan seringkali hanya mimpi yang pupus di tengah krisis sosial dan ekonomi.
Negara-negara pasca-konflik sering kali membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih sepenuhnya. Misalnya, dalam kasus Suriah, perang yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade telah menghancurkan banyak sektor infrastruktur dan sosial. Sebuah penilaian kerusakan (damage and needs assessment) oleh World Bank menyebut bahwa sektor infrastruktur fisik menanggung sekitar 68% dari total kerusakan fisik negara, sementara sektor sosial dan layanan publik (seperti kesehatan, pendidikan) ikut terdampak berat Selain itu, gempa bumi di wilayah yang sebelumnya telah hancur makin memperparah kerusakan; pada satu laporan, kerusakan fisik akibat gempa diperkirakan setara dengan 10% dari GDP Suriah dalam kaitannya dengan bangunan dan struktur terdampak. Kondisi ini menggambarkan bahwa konflik tidak hanya menghancurkan saat itu juga tetapi efeknya terus dirasakan dalam jangka panjang, baik dalam kerusakan fisik, disrupsi ekonomi, dan melemahnya institusi publik.
Sebaliknya, ada contoh-contoh bahwa bila negara berhasil menjaga perdamaian dan membangun kembali institusi yang kuat, pertumbuhan ekonomi bisa berlangsung pesat dan berkelanjutan. Contoh terkini datang dari Vietnam, yang meskipun memiliki latar belakang perang dan masa transisi panjang, mampu mencatat pertumbuhan PDB tahunan yang tinggi misalnya sekitar 7% pada beberapa tahun belakangan sebelum tantangan global seperti pandemi. Pemerintah Vietnam menerapkan reformasi ekonomi secara konsisten, membuka ekonomi ke perdagangan internasional, memperkuat institusi fiskal dan administratif, dan melakukan investasi besar dalam infrastruktur serta sumber daya manusia. Teori pembangunan seperti endogenous growth theory mendukung gagasan bahwa investasi manusia, teknologi, dan institusi lokal yang kuat akan mempercepat pertumbuhan yang berkelanjutan jika stabilitas terjaga.
Penelitian terkini juga menekankan bahwa selain infrastruktur fisik dan pertumbuhan GDP, recovery paths di negara-negara pasca konflik sangat tergantung pada upaya pemulihan kelembagaan, rekonsiliasi sosial, dan kepercayaan publik. Misalnya proyek rehabilitasi sektor listrik di Suriah yang didanai oleh World Bank (USD 146 juta) baru-baru ini menunjukkan bahwa membangun kembali jaringan listrik bukan hanya soal instalasi fisik, tetapi juga soal kualitas institusi, regulasi, dan kapasitas lembaga lokal agar layanan menjadi andal dan merata. Teori pembangunan kontemporer menegaskan bahwa institutional quality dan governance capacity adalah mediator antara stabilitas dan output pembangunan tanpa institusi yang kuat, sektor kesehatan, pendidikan, dan pelayanan publik akan sulit pulih, dan investasi jangka panjang akan terhamba
Perdamaian Sebagai Investasi Jangka Panjang
Indonesia bukan pemain pasif dalam isu perdamaian dunia. Sejak 1957, melalui Pasukan Garuda, Indonesia telah mengirim lebih dari 43.000 personel militer dan polisi dalam misi perdamaian PBB di berbagai negara, mulai dari Kongo, Lebanon, Sudan Selatan, hingga Republik Afrika Tengah. Data PBB (2024) menempatkan Indonesia sebagai kontributor ke-8 terbesar pasukan penjaga perdamaian di dunia.
Diplomasi perdamaian Indonesia di forum internasional juga konsisten. Kehadiran Presiden Prabowo di Sidang Tahunan PBB mempertegas posisi Indonesia sebagai negara penengah dan juru damai, terutama di tengah rivalitas geopolitik global. Di hadapan forum dunia, Indonesia tidak hanya membawa pesan tentang keamanan, tetapi juga tentang pembangunan yang berkelanjutan. Perdamaian yang diperjuangkan Indonesia bukan perdamaian kosong, melainkan perdamaian yang membuka jalan bagi kesejahteraan dan keadilan global.
Menjaga perdamaian sering dipandang sebagai beban anggaran, padahal sesungguhnya ia adalah investasi jangka panjang. Menurut laporan Global Peace Index 2024, setiap negara yang meningkatkan indeks perdamaian sebesar 1 poin rata-rata mampu meningkatkan pertumbuhan PDB sebesar 2–3% dalam kurun lima tahun. Hal ini terjadi karena perdamaian menurunkan biaya pertahanan, memperkuat kepastian hukum, dan membuka arus investasi.
Indonesia memahami hal ini dengan baik. Anggaran diplomasi, pembangunan daerah perbatasan, dan program deradikalisasi yang dijalankan pemerintah bukanlah sekadar biaya, melainkan investasi agar generasi mendatang hidup dalam stabilitas. Inilah yang disebut sebagai peace dividend—keuntungan ekonomi dan sosial yang lahir dari terjaganya perdamaian. Dengan membangun peace dividend, Indonesia sedang menabung stabilitas yang akan menopang pembangunan jangka panjang.
Perdamaian Sebagai Jalan Bersama
Meski perdamaian dipuja, tantangan dunia kontemporer menunjukkan tren sebaliknya. Konflik Rusia-Ukraina masih berlangsung, ketegangan di Timur Tengah semakin kompleks, dan rivalitas Amerika Serikat–Tiongkok terus memanas. Semua ini berpotensi mengguncang rantai pasok global, memicu krisis pangan dan energi, serta memperlambat pencapaian SDGs.
Dalam situasi seperti ini, kehadiran Indonesia di forum global menjadi penting. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, suara Indonesia sering dianggap representasi kepentingan negara berkembang. Indonesia mampu menegaskan bahwa perdamaian bukan semata isu militer, melainkan fondasi untuk stabilitas ekonomi dunia.
Hari Perdamaian Internasional tahun ini mengingatkan kita bahwa perdamaian adalah jalan, bukan sekadar tujuan. Tanpa perdamaian, mustahil ada stabilitas. Tanpa stabilitas, mustahil ada pembangunan berkelanjutan.
Kehadiran Presiden Prabowo di Sidang PBB membawa pesan kuat bahwa Indonesia ingin berperan aktif dalam menciptakan dunia yang lebih aman dan berkeadilan. Dari New York, diplomasi Indonesia menyuarakan bahwa perdamaian adalah investasi terbaik untuk masa depan umat manusia. Dengan menegakkan perdamaian, Indonesia bukan hanya menjaga stabilitas domestik, tetapi juga ikut menyusun arsitektur dunia yang berlandaskan keamanan, kemakmuran, dan pembangunan berkelanjutan.
