Yang lebih penting adalah pola pikir dan perilaku yang makin beradab dan lebih baik
Jakarta (ANTARA) - Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, mengatakan institusi kepolisian harus menciptakan terobosan pendekatan ke masyarakat dengan tehnik-teknik yang lebih sesuai dengan zamannya.

Dia berharap pendekatan baru tersebut bisa mencegah terulangnya kasus kekerasan yang dialami polisi. Apalagi peristiwa terbakarnya tiga polisi dalam pengamanan aksi unjuk rasa mahasiswa di Cianjur, Jawa Barat bukan kasus pertama.

"Insiden dalam bertugas adalah hal yang wajar. Yang menjadi permasalahan apabila ada unsur-unsur kesengajaan, termasuk kekerasan yang dialami polisi," ujar Bambang Rukminto di Jakarta, Jumat.

Bambang menyebut sebelum peristiwa terbakarnya tiga polisi di Cianjur, ada sejumlah deretan kekerasan lainnya yang dialami korps Bhayangkara tersebut.

Baca juga: Polisi terbakar di Cianjur peroleh kenaikan pangkat

Dijelaskan Bambang, salah satunya adalah kejadian yang menimpa Bripka Heidar, Anggota Satuan Tugas Penegakan Hukum yang tewas setelah disergap dan ditembak Anggota Kelompok Kriminal Bersenjata di Kampung Usir Kabupaten Puncak, Papua.

Selain Bripka Heidar, dalam peristiwa demonstrasi besar, pasca-Pilpres 21-22 Mei 2019 juga, tercatat beberapa anggota kepolisian terluka.

Salah satunya adalah Wakapolsek Jatinegara, Jakarta Timur, AKP Sumarno, yang kehilangan beberapa giginya karena rahangnya dihantam batu oleh para pengeroyoknya di malam kerusuhan 22 Mei 2019 lalu. Beruntung AKP Sumarno masih bisa pulih kembali.

Kejadian pengeroyokan terhadap perwira Polri juga dialami oleh Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Wonogiri AKP Aditya Mulya Ramdhani.

AKP Aditya bahkan sampai kini masih koma di rumah sakit di Singapura, setelah dikeroyok oleh anggota perguruan pencak silat di Wonogiri, pada Mei 2019 lalu. AKP Aditya mengalami pecah batok kepalanya yang mengakibatkan pendarahan otak.

Luka serius tersebut yang menyebabkan perwira Polri ini koma dan harus mengganti sebagian tulang tengkorak kepalanya dengan bahan sintetis.

Harus humanis
Serangkaian kekerasan yang mendera petugas Polri ini adalah konsekuensi tugas yang mengutamakan aspek persuasi oleh kepolisian yang mengedepankan pendekatan humanis.

Kekerasan yang dialami polisi karena tugas-tugas kepolisian di dalam pengamanan dan ketertiban umum di era demokrasi semakin kompleks.

Baca juga: Demo berujung polisi terbakar, ICW desak pelaku dihukum berat

Tugas kepolisian ini semakin berat, karena di satu sisi harus menjaga keamanan dan ketertiban umum, serta terselenggaranya kebebasan berpendapat. Di sini lain, petugas di lapangan juga harus berperilaku humanis selama kegiatan masyarakat masih dalam koridor hukum.

Bambang menyebut situasi ini sering membawa petugas kepolisian pada kondisi yang membahayakan dirinya sendiri.

Untuk menghindari kontak fisik, bisa saja polisi membubarkan suatu kegiatan seperti unjuk rasa. Namun selama penyampaian pendapat itu masih di dalam koridor kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dihormati undang-undang. Maka polisi tidak tidak bisa gegabah mencari jalan mudah dengan membubarkan kegiatan tersebut.

"Menjadi modern itu bukan hanya penampilan ataupun peralatannya saja. Yang lebih penting adalah pola pikir dan perilaku yang makin beradab dan lebih baik. Dan ini harus terus dibangun," tandasnya.

Baca juga: Polisi terbakar tambah deretan duka Polri

Bambang menegaskan, sikap yang mengedepankan adab dan sisi-sisi humanisme saat ini harus semakin gencar dan tak bisa dibendung lagi. Era media sosial saat ini juga tidak memungkinkan menutup-nutupi suatu persoalan.

 

Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2019