Beijing (ANTARA) - Duta besar beserta jajaran staf Kedutaan Besar RI di Beijing boleh saja berganti, demikian pula dengan perangkat utama upacara Hari Kemerdekaan RI dari tahun ke tahun.

Tapi tidak dengan sekelompok orang yang menamakan diri "Huaqiao Indonesia". Orang-orang yang memiliki perikatan dengan Indonesia itu tidak pernah absen dari setiap perayaan Hari Ulang Tahun RI itu.

Bagi mereka yang rata-rata sudah uzur itu, usia bukan lagi halangan untuk berpartisipasi selagi masih mampu.

Apresiasi dari para audiensi menjadi nomor sekian karena bagi mereka turut serta dalam pesta Hari Kemerdekaan menjadi harga mati.

Dompet dan kantong pun rela mereka rogoh dalam-dalam untuk keperluan membeli kostum, alat musik, dan tetek-bengek lainnya yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Mereka juga tidak butuh tempat terhormat layaknya peserta upacara 17 Agustus yang mendapatkan tempat sesuai dengan kedudukan dan jabatannya masing-masing.

Tali asih juga bukan tujuan utama kaum lansia Huaqiao itu agar bisa tampil di panggung kecil di halaman samping gedung utama KBRI Beijing pada Sabtu (17/8/2019) siang itu.

Antusiasme mereka dalam meramaikan perayaan 17-an tidak perlu diragukan lagi. Semangat mereka tidak pernah padam sedikit pun.

Di atas panggung "Gempita Merdeka" sepanjang siang itu, mereka menari dan menyanyi dengan perasaan penuh suka cita.

Tak sedikit pun terbebani masa-masa kritis puluhan tahun silam yang memaksa mereka pulang ke kampung halamannya di daratan Tiongkok.

Lagu-lagu nasional, seperti "Tanah Air" dan "Indonesia Pusaka" menjadi bukti bahwa sekelompok kakek-nenek itu masih sangat mencintai bumi Nusantara walaupun sudah tidak lagi menjadi tempat berpijak seperti dahulu kala.

Demikian halnya dengan lagu-lagu daerah seperti "Keroncong Kemayoran" dan "Jangkrik Genggong" masih lancar keluar dari mulut mereka meskipun dalam kehidupan sehari-hari bercakap menggunakan bahasa Mandarin yang lazimnya cedal saat harus mengucap huruf "R".

Songkok beludru hitam, baju batik lengan panjang, dan celana dililit kain sarung menambah kepercayaan diri kakek-kakek Huaqiao saat harus bergerak ke kiri dan ke kanan serta memutar ditingkahi irama musik tradisional Betawi dan Jawa itu.

Demikian pula dengan nenek-nenek Huaqiao yang tampil anggun dengan kain kebaya dilengkap selendang dan sedikit hiasan di rambut.

Di atas panggung "Gempita Merdeka" itu mereka menabur pesan harmoni, selaras dengan dwi warna Merah-Putih yang menjadi nafas kebhinnekaan dalam kemanunggalan.

Miskin Perhatian
Bukan satu atau dua tahun ini saja, warga China yang memiliki ikatan emosional dengan Indonesia itu tampil pada acara-acara 17 Agustusan di KBRI Beijing.

Bahkan kaum Huaqiao yang tinggal di wilayah selatan China daratan juga sering tampil di setiap kegiatan yang diselenggarakan oleh kantor perwakilan RI dan para pelajar Indonesia semacam festival budaya Nusantara.

Tidak ada data pasti mengenai jumlah Huaqiao yang masih hidup sampai sekarang di China. Sangat disayangkan memang karena kebanyakan di antara anak cucu mereka kini sangat awam dengan Indonesia, negara kepulauan nan indah yang pernah mengisi kehidupan mereka di waktu muda.

Cepat atau lambat, jumlah mereka sudah pasti akan berkurang seiring dengan bertambahnya usia mereka makin uzur.

Jadi, tidak bisa dibayangkan, bagaimana kelak kalau saja para Huaqiao Indonesia di daratan Tiongkok itu sudah pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya.

Apalagi pemerintah Indonesia, dalam hal ini kantor perwakilan RI di China, tidak memiliki program pemberdayaan secara khusus untuk mereka, kecuali hanya yang bersifat insidental seperti acara Agustusan di KBRI Beijing atau kantor-kantor perwakilan RI lainnya.

Padahal mereka ini berfungsi sebagai jembatan layaknya satu suku kata "qiao" pada kosa kata "Huaqiao" yang berarti "jembatan".

Kalau pun kosa kata "Huaqiao" dalam bahasa Mandarin adalah orang-orang China keturunan, namun "qiao" yang mereka sandang lebih mengarah pada perikatan.

Oleh sebab itu, dalam artian harfiah, merekalah yang sebenarnya yang bisa merekatkan kedua bangsa yang berbeda, termasuk melalui pendekatan budaya.
Kelompok kesenian yang beranggotakan para Huaqiao tampil di panggung Gempita Merdeka KBRI Beijing, Sabtu (17/8/2019). (M. Irfan Ilmie)

Wilayah selatan China, seperti Provinsi Guangdong dan Provinsi Fujian, merupakan penyumbang terbesar Huaqiao ke Indonesia karena secara geografis wilayah ini relatif lebih dekat ke Indonesia dibandingkan dengan wilayah utara seperti Beijing dan timur seperti Shanghai.

Dahulu kala, orang-orang "Nanfang" atau wilayah selatan yang memiliki uang memilih membuat atau membeli perahu yang akan membawanya berlayar mengarungi lautan untuk mencari sumber penghidupan yang lebih menjanjikan.

Sungai-sungai di wilayah Nanfang itu memang bermuara ke samudera luas Laut China Selatan sehingga memudahkan mereka untuk merantau ke berbagai negara, termasuk ke Indonesia.

Baca juga: UI-Universitas Huaqiao kerja sama tingkatkan pendidikan

Berbeda dengan di wilayah utara, seperti Beijing, yang tidak memiliki lautan. Uang yang dimiliki orang-orang "Beifang" atau wilayah utara itu akan digunakannya untuk membangun rumah yang bisa melindungi mereka dari udara yang menembus tulang pada saat musim dingin tiba.

Kalau pun ada Huaqiao Indonesia di Beifang, biasanya mereka juga kalangan perantau dari Nanfang selain juga karena mengikuti keluarganya di Beifang.

Namun dari kutub mana pun asal Huaqiao itu akan luruh ketika mereka sama-sama pernah tinggal di bumi Nusantara atau memiliki perikatan dengan Indonesia.

Baca juga: Alasan Universitas Huaqiao punya pusat studi Indonesia

Buktinya, sebelum "manggung" mereka sama-sama mendongakkan kepala sebagai tanda hormat kepada Sang Saka Merah-Putih yang baru saja dikibarkan anak-anak muda berseragam putih-putih di bawah sinar mentari yang cerah pada pagi hari itu.

Indonesia nun jauh di sana bukan sekadar tanah pusaka, melainkan sudah bersemayam di lubuk hati para Huaqiao.

Baca juga: Presiden jadi inspektur upacara penurunan bendera Merah Putih

Baca juga: HUT ke-74 RI, TMII pecahkan rekor dunia

Baca juga: Anies jadi Irup upacara HUT ke-74 RI di Pulau D Reklamasi

Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2019