Hadirnya Anugerah Ronggowarsito itu akan memberikan atau menambah bobot lain bagi anugerah atau penghargaan di bidang literasi yang sudah ada.
Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pakar sastra dari Universitas Jember Dr Akhmad Taufiq mengapresiasi hadirnya Anugerah Ronggowarsito sebagai agenda untuk memberikan penghargaan bagi pegiat literasi, terlepas apakah agenda tersebut diselenggarakan oleh perguruan tinggi daerah, yakni STKIP PGRI Ponorogo.

"Itu merupakan agenda literasi yang luar biasa, yakni semakin menyemarakkan atmosfir literasi dan semoga semakin mampu meningkatkan bobot sekaligus muruah pemberian penghargaan yang berbasis literasi yang sudah berjalan selama ini, baik di tingkat nasional, maupun internasional, di level Asia Tenggara," katanya di Kabupaten Jember, Sabtu.

Anugerah Ronggowarsito, kata dia, akan ikut melengkapi beberapa penghargaan literasi yang sudah ada, di antaranya Katulistiwa Literary Aword (KLA), Anugerah Puisi Indonesia (API), DKJ, Anugerah Sutasoma, Numera Malaysia, dan Mastera.

Baca juga: STKIP Ponorogo gelar Anugerah Ronggowarsito hadiah utama Rp100 juta
Baca juga: Kaum santri diminta meriahkan Anugerah Ronggowarsito

"Hadirnya Anugerah Ronggowarsito itu akan memberikan atau menambah bobot lain bagi anugerah atau penghargaan di bidang literasi yang sudah ada," ucap dosen FKIP Universitas Jember itu.

Menurutnya jumlah nominal penghargaan diharapkan mampu menambah semangat pegiat literasi untuk ikut serta, tetapi lebih dari itu, jumlah nominal penghargaan idealnya paralel dengan bobot dan muruah karya yang diberikan dalam anugerah tersebut.

"Secara konseptual jika ingin memberikan kedudukan dan kesempatan yang sama antara karya sastra dan nonsastra, menurut saya tidak masalah. meskipun mainstream pemahaman khalayak masih memisahkan secara diametral dengan alasan masing-masing jenis karya memiliki karakteristik sendiri-sendiri," tuturnya.

Untuk itu, lanjut dia, penyelenggara perlu memberikan argumentasi yang logis dan fundamental, bukankah dalam konteks itu perdebatan yang muncul dalam kedua jenis karya tersebut adalah berkenaan dengan memosisikannya sebagai sumber pengetahuan.

"Sumber pengetahuan yang kemudian tersegmentasi menjadi sumber pengetahuan imajinatif dan faktual. Kedudukan dua sumber pengetahuan tersebut menurut saya memiliki kesejajaran dalam prinsip paralelisme, meskipun tidak dapat dikatakan sama," ucap Ketua IKAPMII Jember itu.

Menurutnya hal tersebut sah-sah saja jika penyelenggara memiliki agenda untuk mempertandingkan dua jenis karya, yaitu sastra dan non-sastra (fiksi dan nonfiksi).

"Dengan catatan secara konseptual dan teknis dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, menyangkut aspek fundamental yang dinilai, dan juri yang memiliki kredibilitas yang diakui oleh publik," ucap penerima Anugerah Sutosoma tersebut.
 

Pewarta: Zumrotun Solichah
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019