Jakarta (ANTARA) - Perubahan regulasi mengenai pembangkit listrik tenaga surya untuk atap mampu mendorong masyarakat umum dan industri untuk berinvestasi pada perangkat tersebut

Institute for Essential Services Reform (IESR) memuji tindakan Menteri ESDM 2016 – 2019, Ignasius Jonan, pada akhir masa jabatannya yang melakukan revisi terhadap Permen ESDM No. 49/2018 tentang penggunaan sistem PLTS atap oleh pelanggan PLN, mengeluarkan Permen ESDM No. 12/2019 tentang kapasitas pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri berdasar izin operasi, dan Permen ESDM No. 16/2019 tentang perubahan kedua Permen ESDM No. 49/2019 tentang biaya kapasitas untuk pelanggan industri.

Analisa IESR menunjukan bahwa ketiga Permen ESDM ini dapat meningkatkan minat masyarakat umum, industri, dan bisnis untuk berinvestasi pada pembangkit listrik tenaga surya atap, berdasarkan keterangan yang diterima Antara di Jakarta, Jumat.

“Dengan potensi energi surya yang cukup tinggi dan dalam upaya mengejar pencapaian target rencana umum energi nasional (RUEN), tiga regulasi terkait PLTS atap yang dikeluarkan oleh Menteri Jonan kami yakini dapat mendorong minat konsumen PLN untuk memasang listrik tenaga surya atap dan memicu pemanfaatan energi surya di Indonesia untuk mencapai target 6,5 GW pada 2025,” kata Fabby Tumiwa, selaku Direktur Eksekutif IESR.

Baca juga: Kabinet baru diminta tingkatkan program PLTS

IESR memberikan apresiasi kepada Menteri Jonan yang bersedia menerima masukan dan rekomendasi dari berbagai stakeholders dan akhirnya melakukan perbaikan regulasi PLTS atap paska keluarnya Permen ESDM No. 49/2018. Yaitu menaikkan batas kapasitas untuk ketentuan izin operasi dari 250 kVA menjadi 500 kVA dan tidak mewajibkan adanya Sertifikat Laik Operasi/SLO oleh Lembaga Inspeksi Teknik/LIT untuk instalasi sampai 500 kVA sepanjang perangkat dan pemasangan sesuai dengan standar keteknikan (Permen ESDM No. 12/2019).

Selain itu, Ignasius Jonan juga menerbitkan revisi atas ketentuan biaya kapasitas untuk pelanggan sektor industri, dengan menurunkannya dari 40 jam per bulan menjadi 5 jam (Permen ESDM No. 16/2019).

“Ignasius Jonan telah meletakkan sebuah dasar yang cukup baik untuk perkembangan listrik surya atap selanjutnya, selain regulasi yang cukup suportif, ada pula inisiatif Peta Jalan Energi Surya yang digagas oleh Dirjen EBTKE yang memetakan berbagai potensi untuk melakukan akselerasi pengembangan energi surya dalam rangka mencapai target RUEN pada 2025,” kata Fabby.

Indonesia memiliki potensi energi surya yang besar. Kajian IESR (2019) menemukan potensi PLTS atap untuk bangunan rumah di Indonesia dapat mencapai 655 GWp. Potensi pasar PLTS atap untuk bangunan rumah di Jawa-Bali juga mencapai 12-15 GWp sampai 2030.

Baca juga: PLN bangun 11 unit PLTS di NTT pada 2019

Perhitungan IESR atas potensi PLTS atap di berbagai gedung perkantoran milik Pemda DKI Jakarta dan semua gedung utama kementerian Republik Indonesia, serta kantor-kantor direktorat
dan KPP milik Kementerian Keuangan yang berlokasi di Jakarta mencapai 9,3 MWp, potensi yang cukup besar mengingat banyak gedung kantor di Jakarta yang menempati bangunan tinggi (high-rise) dengan luasan atap terbatas.

Sementara itu, kajian IESR yang berjudul Peta Jalan untuk Sektor Kelistrikan Indonesia (2019) juga mengindikasikan bahwa sistem Jawa-Bali dan Sumatra dapat mengakomodasi 19-35 GW kapasitas PLTS (di atas atap, skala utilitas di atas tanah, dan terapung) pada 2027.

Baca juga: PLN kembangkan PLTS terapung di Cirata
Baca juga: Pengguna listrik surya capai 660 pada awal 2019

 

Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019