sumber energi toksik tidak seharusnya dianggap sebagai sumber energi terbarukan
Jakarta (ANTARA) - Aliansi lembaga-lembaga swadaya masyarakat mengharapkan pemerintah mempublikasikan studi kelayakan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) untuk memastikan aman bagi masyarakat dan lingkungan hidup.

"Bila batubara akan digunakan sebagai bahan bakar atau fuel additive, kualitas udara di kota-kota dengan PLTSa dapat diperkirakan memburuk. Sumber energi toksik tidak seharusnya dianggap sebagai sumber energi terbarukan," ujar Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam konferensi pers Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) di kantor WALHI, Jakarta, Jumat.

Sebelumnya, pemerintah dalam periode 2019-2022 sudah mengoperasikan atau membangun 12 PLTSa di beberapa daerah seperti Surabaya di Jawa Timur dan DKI Jakarta.

Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) total 12 PLTSa itu akan mampu menghasilkan listrik hingga 234 megawatt (MW) dari 16 ribu ton sampah per hari.

Baca juga: AZWI sebut PLTSa bukan solusi berkelanjutan masalah sampah
Baca juga: Pemerintah diharapkan tinjau ulang pembangunan PLTSa


Menanggapi hal tersebut, AZWI selain meminta publikasi studi kelayakan dan AMDAL, juga meminta pemerintah untuk menyampaikan hasil analisis risiko kesehatan masyarakat di sekitar bakal calon lokasi PLTSa, terutama terkait kekhawatiran akan adanya emisi dioksin.

Hal itu AZWI minta dilakukan mengingat teknologi insinerator yang digunakan di PLTSa akan membakar sampah yang bila memiliki bahan berbahaya dan beracun yang bisa dilepas ke udara akibat proses pembakarannya.

Selain emisi beracun dioksin, dikhawatirkan adanya abu dari insinerator yang bersifat toksik dan harus diperlakukan sebagai limbah B3 di tempat pembuangan akhir khusus.

AZWI tidak memungkiri permasalahan sampah di Indonesia sudah pelik dan perlu dicarikan solusi untuk mengatasinya. Namun, mereka melihat PLTSa bukanlah solusi jangka panjang untuk masalah tersebut dan malah berpotensi menciptakan problem lingkungan yang lain.

Baca juga: Penggunaan PLTSa diyakini perpanjang "masa hidup" TPST Bantar Gebang
Baca juga: Pembangkit Listrik Tenaga Sampah perlu diperbanyak


Menurut Direktur Ekskutif WALHI Nasional Nur Hidayati, yang juga hadir dalam konferensi pers tersebut, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk mencapai tujuan zero waste atau menghilangkan sampah.

Dia mengambil contoh bagaimana komposisi sampah di kota-kota besar di Indonesia didominasi oleh sampah makanan atau organik, yang dengan kelembapan tinggi dan tidak layak untuk dibakar.

Sampah organik tersebut bisa diubah menjadi kompos yang bila dilakukan secara masif dapat mengurangi sekitar 60 persen dari total sampah yang ada di TPA.

AZWI ingin bekerja sama dengan pemerintah untuk mengatasi permasalahan sampah tersebut untuk menghilangkan sampah secara keseluruhan, karena sampah merupakan permasalahan bersama.

"Kita juga mendorong tanggung jawab dari industri saat ini untuk mengambil kembali produk-produk kemasan mereka yang sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008," ujar dia.

Extended Producer Responsibility yang tertuang dalam UU No,18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah mewajibkan produsen untuk bertanggung jawab atas kemasan yang dihasilkannya, meskipun sejauh ini penerapannya masih berjalan secara suka rela.

Jika itu berhasil maka Indonesia tidak membutuhkan lagi insinerator PLTSa yang sudah banyak ditinggalkan di Eropa karena biaya investasi dan operasional yang besar, selain karena berdampak terhadap lingkungan hidup.

Baca juga: Legislator apresiasi upaya pemerintah untuk membangun PLTSa
Baca juga: Penggunaan pembangkit listrik tenaga sampah bantu penanganan sampah
Baca juga: Gubernur Lampung wujudkan pembangunan PLTSa

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2020