Kami juga ingin TMC semakin cerdas dan menggunakan teknologi industri 4.0
Jakarta (ANTARA) - Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) menjadi penting sebagai bagian dari upaya jangka pendek mengatasi persoalan cuaca ekstrem seperti penanggulangan banjir.

Hujan buatan juga membantu pencegahan kebakaran hutan dan lahan, dan pengisian waduk-waduk sehingga air tetap tersedia saat memasuki musim kering. Ke depan TMC perlu dikembangkan menjadi lebih inovatif dalam mengakomodasi kebutuhan pelaksanaan operasi TMC yang lebih efektif, efisien dan cepat.

Untuk itu, inovasi dalam TMC harus memanfaatkan perkembangan teknologi di era revolusi industri 4.0 dengan mengaplikasikan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk membangun sistem prediksi yang lebih baik sehingga dapat menciptakan TMC yang lebih modern dengan efisiensi dan efektivitas yang lebih tinggi.

"Kami juga ingin TMC semakin cerdas dan menggunakan teknologi industri 4.0 ini, kita ingin memasukkan AI ke dalam operasi TMC," kata Kepala BPPT Hammam Riza kepada wartawan dalam forum diskusi terfokus "Penguatan Ekosistem TMC Mitigasi Banjir Jabodetabek" di Gedung BPPT, Jakarta, Jumat.

Hammam menuturkan sistem AI akan memberikan suatu prediksi terhadap cuaca yang lebih baik dan terintegrasi sehingga pada saat pelaksanaan operasi TMC, dapat ditetapkan jumlah garam atau NaCl yang harus ditabur, jumlah sorti penerbangan yang dibutuhkan, lokasi penebaran garam. Sistem AI itu memberikan peringatan misalnya dalam tiga hari ke depan akan muncul cuaca ekstrem dan memberikan model strategi operasi TMC yang tepat berdasarkan hasil pengolahan data dan informasi oleh sistem AI.

Untuk membangun sistem AI pada peningkatan TMC yang lebih inovatif, maka perlu pembentukan programming dan integrasi data dari seluruh institusi termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) terkait pengamatan kondisi cuaca.

Data-data yang terintegrasi dari berbagai sumber kredibel tersebut kemudian akan diolah oleh machine learning untuk memberikan informasi sehingga dapat diperhitungkan langkah-langkah operasi TMC yang dibutuhkan untuk mengantisipasi cuaca ekstrem.

Selain penguatan teknologi, juga diperlukan penguatan ekosistem TMC salah satunya melalui kerja sama dan kolaborasi dari tiap institusi terkait penyediaan dan akses data tentang informasi cuaca yang akan menjadi input untuk diproses sistem AI dalam menghasilkan permodelan prediktif operasi TMC yang akurat.

"Untuk itu perlu ekosistem supaya institusi sama-sama memberikan data dan mengembangkan teknologi TMC-nya supaya TMC semakin modern, hebat, bagus, efisien dan semakin berdampak ekonomi. Kita ingin ekosistem ini akan melahirkan upaya pencegahan," ujarnya.

Tindakan pencegahan akan dapat dilakukan dengan cara membangun sistem permodelan prediktif atau predictive modelling akan mendorong langkah antisipatif dalam operasi TMC yang tepat, efisien dan cepat.

Melalui sistem yang dibangun berbasis kecerdasan buatan tersebut, dapat diprediksikan pada musim kemarau di saat tertentu ada potensi titik-titik api akan muncul di suatu wilayah sehingga perlu dilakukan operasi TMC dengan membasahi lahan gambut dan hutan agar cukup basah dan tidak berpotensi memunculkan api.

Begitu pula dalam menanggulangi banjir, sistem akan memprediksikan adanya banjir pada saat waktu tertentu sehingga perlu dilakukan operasi TMC tertentu untuk mempercepat penurunan hujan sebelum mencapai wilayah yang akan terkena banjir.

Dalam pelaksanaan operasi TMC saat ini, sebelum awan datang misalnya ke Kota Bogor, tim TMC menghadang awan di lautan atau di atas Selat Sunda kemudian melakukan penaburan garam untuk menyemai awan tersebut sehingga diharapkan hujan turun di Selat Sunda baik sebagian maupun seluruhnya. Jika sebagian hujan telah turun sebelum mencapai wilayah daratan, maka intensitas hujan yang akan turun di wilayah dataran akan berkurang sehingga mengurangi resiko terjadinya banjir.

Baca juga: Reaksi penaburan garam hingga turun hujan butuh 2 jam, sebut BBTMC

Tantangan

Ahli Meteorologi dari Institut Meteorologi Bandung (ITB) Armi Susandi menuturkan ada beberapa kelemahan yang dihadapi saat pelaksanaan operasi TMC. Pertama, saat ini hanya ada dua pesawat yang melakukan sorti penerbangan untuk penaburan garam sementara seharusnya dua pesawat berangkat dalam sekali terbang untuk mempercepat penyemaian awan.

Kedua, pemuatan (loading) bahan dan barang untuk proses penyemaian awan bisa lebih dari dua jam sementara prediksi cuaca bisa cepat berubah. Radar cuaca akan memperbarui kondisi pertumbuhan dan perkembangan awan setiap 10 menit.

"Kalau untuk mengantisipasi radar yang terus menerus memberikan informasi 10 menit, loading 2 jam, maka tidak imbang, nah loading 2 jam itu dalam teori tapi pelaksanaan bisa 3-4 jam," tuturnya.

Ia mengatakan untuk mengatasi kelemahan tersebut, maka harus dibangun sistem kecerdasan buatan pada TMC sehingga sistem ini akan memprediksi operasi TMC yang tepat karena telah ada skema perhitungan langsung dari sistem tentang jalur penerbangan, bibit-bibit awan yang akan disemai, jumlah garam yang dibutuhkan dan sebagainya. Prediksi yang komprehensif, terintegrasi dan menyeluruh ini akan meningkatkan kesuksesan operasi TMC untuk upaya pencegahan yang lebih baik.

Baca juga: Antisipasi prakiraan cuaca 11-12 Januari, operasi TMC diintensifkan

Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Tri Handoko Seto mengatakan tantangan yang dihadapi ketika pelaksanaan operasi TMC adalah ketika hujan di pagi hari maka sorti penerbangan untuk menaburkan garam akan tertunda.

Penerbangan akan dapat dilanjutkan jika hujan reda dan kondisi cuaca mendukung. Begitu pula pada kondisi ketika malam hari, operasi TMC tidak dapat dilakukan karena penglihatan pilot yang terhalang.

Tantangan tersebut, kata Seto, harus ditangani melalui pengembangan teknologi modifikasi cuaca yang lebih inovatif. Ke depan, dapat dikembangkan armada untuk operasi TMC yang bisa berfungsi dalam mengantisipasi tantangan tersebut, atau mengembangkan roket yang bisa menaburkan garam pada bibit-bibit awan jika tidak memungkinkan dilakukan penerbangan karena kondisi cuaca.

Seto menuturkan wilayah Jabodetabek merupakan daerah yang padat jalur awannya, sehingga perlu TMC yang lebih inovatif untuk dapat mengatasi berbagai tantangan.

"Misalnya pesawat TNI dilengkapi dengan infrared yang memungkinkan para pilot bisa melihat jelas pada malam hari, sehingga bisa melakukan operasi TMC," ujarnya.

Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara (Kadispenau) Marsekal Pertama (Marsma) TNI Fajar Adriyanto mengatakan saat ini pesawat TNI yang digunakan untuk operasi TMC adalah pesawat dinas yang memang tidak dilengkapi infrared.

Sementara pesawat TNI yang telah menggunakan infrared adalah pesawat tempur sehingga pilot mampu melihat di malam hari.

Operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) yang dilakukan sejak 3 Januari 2020 untuk penanggulangan banjir di wilayah Jabodetabek menggunakan dua jenis pesawat yang dipinjamkan TNI Angkatan Udara yakni Cassa-212 A-2105 dan CN-295 A-2901.

"TNI AU menggunakan pesawat dinas. Pesawat CN-295 itu tugasnya adalah angkut ringan mendukung logistik TNI AU, namun adanya program TMC kita alihkan untuk bantu TMC ini," ujar Fajar.

Memang ke depan diperlukan pesawat yang didesain khusus untuk operasi TMC, dilengkapi dengan berbagai teknologi dan sistem yang mendukung efektivitas dan efisiensi operasi TMC.

Percepatan penurunan hujan melalui operasi TMC ditujukan untuk mengurangi intensitas hujan yang akan jatuh di wilayah Jabodetabek setelah kejadian pada 1 Januari 2020 terkait cuaca ekstrem dengan curah hujan tinggi yang mengakibatkan banjir. Operasi TMC hanya bersifat jangka pendek, upaya lain juga harus dilakukan dalam jangka panjang termasuk penghijauan dan penguatan daya resap lingkungan.

"Dengan mengurangi hujan berarti mengurangi risiko banjir dan longsor," ujarnya.


Baca juga: BPPT: Prediksi BMKG yang tepat dukung kesuksesan operasi TMC
 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020