hampir di semua rumah sakit, pasien membludak
Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) mendorong pemerintah dan dinas kesehatan daerah untuk membuat desentralisasi perawatan berupa wireless hospital call center yang lebih terjangkau untuk melayani orang-orang yang membutuhkan konsultasi medis.

"Wireless hospital call center ini, terutama di tengah imbauan pemerintah untuk tetap berada di rumah guna menghindari kemungkinan penularan wabah COVID-19. Jadi dia berbasis seperti videocall. Misalnya saya berobat ke klinik tadi, jadi nama saya itu sudah tercatat di klinik tadi," kata Ketua Bidang Ilmiah dan Penelitian PDPI Dr. Andika Chandra Putra melalui sambungan telepon kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.

Selanjutnya, ujarnya, apakah nanti tiap hari atau tiap dua hari, orang tersebut  melaporkan diri ke call center tadi bahwa suhu tubuh sekian, kondisi napas seperti ini, keluhannya begini.

Ia mengatakan di tengah wabah COVID-19 yang kasusnya terus bertambah di Indonesia, orang-orang banyak berbondong-bondong memeriksakan diri untuk memastikan kondisi kesehatan mereka.

"Saat ini, terutama di Rumah Sakit Persahabatan, dan saya rasa hampir di semua rumah sakit, pasien membludak. Ada yang batuk, pilek, demam. Itu mereka masih belum pasti apakah konfirmasi positif, apakah PDP atau negatif, kita belum bisa memastikan," katanya.

Baca juga: PDPI: Tenaga medis harus siap senjata sebelum berperang lawan COVID-19

Kondisi semacam itu, kata dia, berisiko terjadi proses penularan dari satu orang ke orang lain yang pada saat dan tempat yang sama memeriksakan diri.

Oleh karena itu, guna menghindari kemungkinan tersebut, dia menyarankan kepada pemerintah atau dinas kesehatan untuk membuat wireless hospital call center berbasis video call agar masyarakat dapat mengonsultasikan kondisi kesehatan mereka tanpa harus ke rumah sakit.

Selain untuk menghindari kemungkinan penularan ketika harus memeriksakan diri ke rumah sakit, tujuan dari pembuatan call center tersebut adalah agar kondisi kesehatan pasien juga dapat dipantau setiap hari.

"Sering kali pasien yang kita minta untuk isolasi mandiri itu merasa enggak dipantau. Karena enggak tahu harus melapor ke siapa. Sedangkan dokter juga disibukkan dengan banyak pasien. Padahal (keadaan mereka) itu perlu dipantau, apakah ada pemburukan atau tidak," katanya.

Call center tersebut, kata dia, tidak harus dipantau secara langsung oleh dokter, tetapi masing-masing call center di tiap-tiap daerah, menurut dia perlu dikomandani oleh seorang dokter paru sehingga dia bisa mengikuti perkembangan kondisi pasien.

"Jadi operator biasa saja, hanya berkomunikasi dengan pasien, berapa tekanan darahnya, bagaimana napasnya, nadinya. Artinya operator biasa boleh saja, tapi perawat juga lebih baik. Tapi memang dalam satu call center ada dokter atau dokter paru yang mengomandani, sehingga jika ada keluhan dapat dilaporkan ke dokter untuk ditindaklanjuti dengan rekomendasi tindakan medis lainnya," kata dia.

Call center tersebut, kata dia, perlu dibuat lebih terjangkau bagi masyarakat, sehingga semua kalangan dapat mengaksesnya.

"Memang jadi lebih mirip seperti layanan Halodoc, Grab Dokter dan sebagainya. Tapi yang kita inginkan bukan bersifat komersil dan kaitannya dengan COVID-19 ini keinginan kita agar evaluasi dan pemantauan pasien lebih baik," katanya.

Baca juga: Kurangi risiko penularan COVID-19 isolasi mandiri harus dilakukan

Pewarta: Katriana
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020