....bisa mengajukan banding di Mahkamah Etik
Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) mendukung pembentukan Mahkamah Etik yang akan menjadi ujung dari proses penegakan etik agar setiap putusan etika dari berbagai penegak kode etik yang terdapat di berbagai lembaga negara maupun organisasi profesi, tak lagi dihadapkan dengan peradilan umum.

Menurut Bamsoet, dengan demikian, para pencari keadilan yang divonis bersalah secara etika oleh masing-masing penegak kode etik, bisa mengajukan banding di Mahkamah Etik.

"Landasan pembentukan Mahkamah Etik bisa mengacu kepada TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Untuk merealisasikannya, pada Oktober atau November 2020 nanti MPR RI bersama Komisi Yudisial (KY), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) akan menyelenggarakan Konvensi Nasional II tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara," ujar Bamsoet dalam pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Ketua MPR ajak generasi muda bantu atasi dampak pandemi COVID-19


Mantan Ketua DPR RI itu mengungkapkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Sidang Umum Tahun 1996 telah merekomendasikan agar seluruh negara anggotanya, termasuk Indonesia, membangun 'ethic infrastructure in public offices', yang mencakup kode etik dan lembaga penegak kode etik.

Indonesia merespons dengan membentuk berbagai lembaga penegak kode etik, misalnya Komisi Yudisial, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Badan Kehormatan Dewan (BKD) DPD RI, hingga Komite Etik/Dewan Pengawas KPK RI.

Berbagai organisasi profesi juga memiliki penegak kode etik, misalnya Majelis Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Majelis Etika Kedokteran, Majelis Kehormatan Asosiasi Akuntansi Indonesia, hingga Dewan Pers.

"Karena ketiadaan Mahkamah Etik, orang yang diputus melakukan kesalahan etika oleh masing-masing penegak kode etik, mengajukan banding atau mencari keadilan ke peradilan umum, entah melalui Mahkamah Agung maupun PTUN. Padahal antara etika dan hukum, adalah dua hal yang berbeda. Orang yang bersalah secara etika, belum tentu bersalah di mata hukum. Namun yang bersalah di mata hukum, sudah pasti bersalah di mata etika," ungkap Bamsoet.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI itu menambahkan, dalam Konvensi Nasional II tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara tersebut, selain menghadirkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, juga menghadirkan berbagai pimpinan penegak kode etik.

Mereka adalah Ketua Komisi KY, Ketua DKPP, Ketua MKD DPR RI, Ketua BK DPD RI, Ketua Dewan Etik MK RI, Ketua KASN, Ketua Majelis Kehormatan Peradi, Ketua Majelis Etika Ikatan Notaris Indonesia, Ketua Dewan Pers, para Ketua Dewan Kehormatan masing-masing partai politik yang berada di DPR RI, serta lembaga penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung.

"Melalui konvensi tersebut diharapkan lahir berbagai gagasan dan kesepahaman tentang pentingnya keberadaan Mahkamah Etik. Dengan demikian mengurangi beban kerja penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan peradilan umum karena tak perlu lagi repot menangani masalah etika. Sehingga Indonesia bisa mencatat sejarah baru di dunia, sebagai negara yang mempelopori penegakan etika secara transparan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Bamsoet pula.
Baca juga: Bamsoet: Tingkatkan kiprah politik kaum perempuan

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020