Yang dapat dilakukan adalah pendidikan dan pemahaman tentang bahaya obat terlarang
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Munawir Yusuf mengatakan pendidikan bagi remaja penyandang disabilitas, terutama pendidikan tentang kesehatan reproduksi, perlu diupayakan untuk mewujudkan generasi bangsa yang mandiri dan tangguh.

"Jadi harus ada upaya-upaya penguatan untuk penyandang disabilitas," kata Guru Besar yang juga Kepala Pusat Studi Difabilitas (PSD) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat ( LPPM) UNS dalam acara webinar yang diselenggarakan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) bertema Bersama Remaja Disabilitas Tingkatkan Program Genre pada Adaptasi Kebiasaan Baru, Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan bahwa remaja disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang rentan karena mereka menghadapi masalah ganda, tidak hanya harus mengatasi persoalan diri sendiri tetapi juga bagaimana mereka dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

Karena itu, ketika lingkungan sekitar tidak memberikan ruang yang cukup, maka mereka tidak akan bisa berpartisipasi dalam upaya pembangunan bangsa secara penuh.

Untuk itu, harus ada upaya-upaya penguatan untuk mendukung kemandirian para penyandang disabilitas dan memotivasi mereka sehingga mampu berpartisipasi dalam pembangunan bangsa yang mandiri dan tangguh.

Baca juga: Merajut asa di balai daksa

Baca juga: Dukung kegiatan belajar siswa disabilitas


Upaya-upaya tersebut, kata Munawir, dapat dilakukan melalui penguatan Pusat Informasi dan Konseling Remaja (PIK Remaja) untuk memberikan edukasi dan pemahaman tentang berbagai hal yang perlu diketahui remaja disabilitas, khususnya terkait dengan kesehatan reproduksi.

"Yang dapat dilakukan adalah pendidikan dan pemahaman tentang bahaya obat terlarang yang dapat dikembangkan dalam bentuk modul, leaflet, poster-poster, cerita-cerita komik, maupun audio untuk tunanetra," katanya.

Kemudian, ia juga menyinggung tentang perlu adanya kegiatan ekstrakurikuler yang dapat membangun budaya karakter melalui pengoptimalan PIK Remaja tersebut.

Selanjutnya, perhatian terhadap akses informasi dan pendidikan seks ataupun kesehatan reproduksi khusus bagi remaja disabilitas, dan lebih khusus lagi bagi remaja disabilitas mental juga, katanya, harus menjadi perhatian tersendiri.

"Kenapa? Karena dalam satu riset itu menemukan bahwa remaja disabilitas mental itu ketika terlibat hubungan seks, kalau hanya sekali katanya dianggap sebagai tidak apa-apa. Bahkan mereka mengatakan kalau suka sama suka juga mereka mengatakan tidak apa-apa," katanya.

Itu artinya, kata dia lebih lanjut, ada pemahaman yang keliru dan mereka cenderung memiliki kontrol diri yang kurang. Dan itu, menurutnya, berbahaya ketika tidak ada edukasi yang tepat kepada mereka.

Baca juga: Pendidikan anak disabilitas dibahas pimpinan YPAC se-Indonesia

Baca juga: Perlu adanya penguatan komitmen ciptakan pendidikan inklusif

Pewarta: Katriana
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020