DPR perlu mendengarkan dan mengakomodasi banyak kritik dan penolakan
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) mengapresiasi kesepakatan antara DPR dengan perwakilan sejumlah organisasi buruh terkait perbaikan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, namun harus juga memperhatikan koreksi dan keberatan sejumlah elemen bangsa lainnya terkait RUU tersebut.

"Beberapa kesepakatan yang mengakomodasi koreksi dan kepentingan buruh, KSPSI dan KSPI itu perlu diapresiasi. DPR juga harus konsekuen melaksanakan kesepakatan itu, dengan memasukkannya ke dalam aturan perundangan," kata Hidayat dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

DPR RI dengan sejumlah organisasi buruh seperti KSPI dan KSPSI pada Jumat (21/8) menyepakati terkait koreksi dan perbaikan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker).

Hidayat menilai demi kemaslahatan semua pihak, DPR perlu mendengarkan dan mengakomodasi banyak kritik dan penolakan dari elemen-elemen bangsa lainnya, seperti yang disampaikan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia.

Menurut HNW, persoalan yang ada dalam RUU Ciptaker tersebut bukan hanya ketentuan dalam klaster ketenagakerjaan, namun ada banyak substansi yang bermasalah dan menimbulkan penolakan dari berbagai elemen bangsa. "Seperti masalah pers, jaminan produk halal, lingkungan hidup, pendidikan, hingga hubungan pusat dengan daerah," ujarnya.
Baca juga: Pengamat: RUU Ciptaker bakal perluas lapangan kerja
 

Politisi PKS itu menilai dari sudut konstitusi dan hirarki perundangan, salah satu yang bermasalah secara mendasar dan belum ada perbaikan hingga saat ini adalah Pasal 170 RUU Cipta Kerja.

Menurut dia, pasal tersebut memberi kewenangan berlebih kepada Pemerintah dengan melegalkan ketentuan yang tidak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945, sekaligus men-downgrade dan merampas kewenangan konstitusional DPR dalam proses legislasi.

"Ketentuan Pasal 170 ayat (1) yang kontroversial itu berbunyi, dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1), berdasarkan undang-undang ini, pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini," katanya pula.

Menurut dia lagi, dalam Pasal 170 ayat (2) menyebutkan perubahan ketentuan dalam UU itu dilakukan melalui peraturan pemerintah (PP), dan untuk itu pada ayat (3) menyebutkan Pemerintah dapat berkonsultasi dengan pimpinan DPR.

HNW menyebut ketentuan itu tidak sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Kemudian, Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya.

"Bukan justru untuk mengubah undang-undang sebagaimana dalam RUU tersebut," kata dia lagi.

Selain itu, ujarnya pula, dalam pembuatan atau perubahan suatu UU apabila itu inisiatif dari Pemerintah, maka Pemerintah tidak cukup hanya dapat berkonsultasi dengan Pimpinan DPR sebagaimana dalam RUU Cipta Kerja, namun wajib membahasnya dengan DPR, bukan sekadar dengan Pimpinan DPR," ujarnya lagi.

Wakil Ketua Majelis Syuro PKS itu meminta agar DPR cermat dan tidak tergesa-gesa dalam membahas RUU Cipta Kerja, namun juga seharusnya menyelamatkan hak konstitusional DPR dalam kuasa membuat UU, dengan mengkritisi munculnya Pasal 170 RUU Cipta Kerja.

“Itu pasal yang sangat bermasalah, dan bertentangan dengan UUD, menumpuk kekuasaan makin dominan di eksekutif, dan potensial membajak hak konstitusional DPR dalam kuasanya membuat UU. Karena itu sewajarnya DPR menolak, mengoreksi dan mengusut tuntas,” ujarnya lagi.
Baca juga: Pengamat nilai RUU Cipta Kerja bisa diperbaiki dan perlu disahkan

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020