Terapkan peraturan yang keras bagi pelanggar protokol kesehatan. Dimulai dari teguran tertulis, denda uang, hingga calon kepala daerah didiskualifikasi dari peserta pilkada
Jakarta (ANTARA) - Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyampaikan tujuh alasan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2020 sebaiknya jangan ditunda dari hasil riset kualitatif dengan kajian data sekunder dari tiga lembaga.

"Ketiga lembaga itu, yakni Gugus Tugas COVID-19, Worldometer, dan WHO," kata peneliti LSI Denny JA Ikrama Masloman, dalam pernyataan tertulisnya, di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Survei: 16,3 persen daerah penyelenggara Pilkada berzona merah COVID
Baca juga: Satgas Penanganan COVID-19 apresiasi revisi PKPU oleh KPU


Alasan pertama, kata Ikrama, yakni legitimasi, sebab jika pilkada ditunda maka 270 daerah di Indonesia akan dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt).

"Di Februari 2021 saja, ada 209 kepala daerah yang selesai masa jabatan. Legitimasi Plt tentunya berbeda dengan kepala daerah yang dipilih rakyat. Kewenangannya pun terbatas," katanya.

Alasan kedua, yakni proporsi, sebab dari 270 wilayah yang akan melaksanakan pilkada, ada 44 wilayah atau 16,3 persen yang terkena zona merah dibanding 270 daerah.

Ketiga, kata dia, alasan kepastian hukum dan politik karena jika pilkada kembali ditunda menunggu vaksin dapat digunakan masyarakat maka tidaklah pasti.

"Para ahli pun tak pasti kapan vaksin yang disahkan WHO dapat beredar di masyarakat. Pemilihan kepala daerah di 270 wilayah (49 dari total wilayah indonesia) terlalu penting jika disandarkan pada situasi yang tak pasti," ujarnya.

Keempat, alasan pilihan kebijakan bahwa dalam setiap situasi sulit atau krisis, setiap pemimpin punya pilihan kebijakan yang memang tak mudah, namun tetap harus diambil dengan mempertimbangkan semua aspek.

Baca juga: Rapat umum dilarang, Pakar: Semua parpol dan calon harus tunduk

Alasan kelima, yakni kesehatan, lanjut Ikrama, mengingat hanya 16,3 persen dari 270 wilayah pilkada yang terkena zona merah sehingga wilayah zona merah dapat diberi aturan khusus, misalnya tak boleh ada kampanye yang membuat publik berkumpul lebih dari lima orang.

Keenam, alasan ekonomi, mengingat kondisi ekonomi masyarakat secara nasional sedang mengalami penurunan, yakni minus 5,32 persen dan 3,5 juta pekerja telah di PHK maupun dirumahkan.

"Kegiatan pilkada dan kampanye di 270 wilayah dapat menjadi penggerak ekonomi lokal. Biaya kampanye, biaya saksi, biaya tim sukses, biaya cetak, dan pemasangan atribut dan lain-lain dapat bergulir ke masyarakat bawah dan daerah," katanya.

Alasan ketujuh yakni modifikasi bentuk kampanye, Ikrama mencontohkan Amerika Serikat yang tidak menunda pemilu, melainkan memodifikasi bentuk kampanye, yaitu kampanye dan pertemuan yang menghimpun orang banyak harus dihindari.

Berdasarkan tujuh alasan itu, kata dia, pilkada di 270 wilayah sebaiknya jangan ditunda lagi, namun kegiatan pilkada memang perlu dimodifikasi dengan menghindari kegiatan yang menghimpun orang banyak.

"Terapkan peraturan yang keras bagi pelanggar protokol kesehatan. Dimulai dari teguran tertulis, denda uang, hingga calon kepala daerah didiskualifikasi dari peserta pilkada," katanya.

Pilkada di era COVID-19, kata Ikrama, perlu mencapai tiga hal sekaligus, yakni tetap memberikan hak konstitusional warga negara memilih kepala daerah sesuai jadwal, kemudian sekecil apapun menggerakkan ekonomi masyarakat, dan mengontrol penularan COVID-19 semaksimal mungkin.

Baca juga: Denny JA: Dulu parpol menangi pemilu bermodal insting
Baca juga: Lima prediksi survei LSI Denny JA soal virus corona terbukti

Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020