Jakarta (ANTARA) - Antara Depresi Besar 1930-an dan baik krisis-krisis ekonomi sebelum maupun setelahnya termasuk krisis moneter 1998 dan krisis finansial 2008, memiliki kesamaan mendasar dengan krisis ekonomi yang dipicu oleh pandemi virus corona.

Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) misalnya, menyebut krisis ekonomi akibat pandemi memiliki kesamaan dengan krisis-krisis ekonomi lain yang dipicu oleh bencana alam, perang, mismanajemen makroekonomi atau ambruknya sistem keuangan internasional.

Namun kedua lembaga supervisi keuangan supranasional itu menyebut krisis ekonomi akibat pandemi dicirikan oleh terganggu secara serempaknya arus pasokan dan permintaan barang dan jasa yang tidak terjadi pada krisis-krisis sebelumnya.

Baca juga: Indef sebut mayoritas pelaku ekonomi belum siap hadapi era digital

Pandangan IMF dan Bank Dunia ini agak berseberangan dengan konsensus di antara sejumlah pakar yang tak kalah luasnya bahwa resesi akibat pandemi COVID-19 ini berbeda dari krisis ekonomi sebelumnya yang dicirikan oleh terganggunya sisi permintaan, bukan pada sisi pasokan.

Kecuali pariwisata dan penerbangan serta subsektor ekonomi terkaitnya, pandangan itu ada benarnya karena tak seperti krisis moneter 1998 misalnya, sisi permintaan selama pandemi memang relatif tinggi.

Sebaliknya sisi pasokan memang terganggu oleh lockdown dan aturan pembatasan bergerak demi membendung penularan penyakit COVID-19 yang sampai 21 Oktober 2020 telah merenggut 1,12 juta nyawa yang 12.700-an di antaranya di Indonesia dan menulari 40,8 juta orang di seluruh dunia yang 369 ribu di antaranya di Indonesia.

Resesi kali ini, mengutip Bank Dunia, apalagi jika berlangsung lama, juga memukul investasi, modal manusia dan produktivitas. Uniknya, ada semacam berkah di balik krisis ini.

Khususnya di kawasan Asia Pasifik yang di dalamnya termasuk Indonesia, Bank Dunia mencatat bahwa krisis ekonomi yang saat ini terjadi malah mempercepat empat kecenderungan yang terjadi dalam perdagangan di kawasan ini.

Keempatnya adalah (1) bakal menguatkan regionalisasi akibat pemulihan yang ternyata berlangsung lebih cepat, (2) adanya upaya menghindari ketergantungan kepada rantai pasokan yang mendorong relokasi bisnis dari China, (3) digitalisasi yang mendorong sektor jasa, dan (4) kesadaran kepada kekuatan mandiri telah meningkatkan perlindungan pada sejumlah sektor sekalipun nanti negara-negara kawasan ini meliberalisasi sejumlah sektor ekonomi.

Di antara empat kecenderungan ini, adalah digitalisasi ekonomi yang paling menarik dan riil dirasakan, termasuk di Indonesia, khususnya selama masa pandemi.

Itu terutama dalam kaitannya dengan produktivitas ekonomi selama krisis virus corona yang walau terganggu ternyata bisa diminimalkan lewat difusi teknologi digital yang bahkan lebih jauh lagi bisa memperluas akses jasa dan barang untuk setiap lapisan sosial, termasuk kaum miskin.

Korelasinya sendiri sangat erat dengan fakta di Indonesia saat ini ketika pandemi memang mengganggu arus barang dan jasa, namun roda usaha ternyata tidak sama sekali berhenti. Bahkan usaha rumah tangga, termasuk yang digeluti luas oleh ibu-ibu rumah tangga di kota-kota besar Indonesia yang menawarkan hampir apa saja, dari masker sampai makanan hingga konsultasi keuangan, kian menjamur saja.

Uniknya lagi, pandemi justru mendorong orang untuk lebih intensif dan ekstensif dalam mengakrabi dan menggeluti apa yang selama ini dikenal dengan e-commerce.

Baca juga: Start up digital titik balik kebangkitan desa dan UMKM Indonesia


Tertinggi di dunia

Klaim itu bukan hoaks karena data-data digital menguatkan trend yang nyata terjadi pada masyarakat Indonesia sekarang ini.

Salah satu data digital yang menegaskan kecenderungan digital pada masyarakat Indonesia ini adalah data e-commerce yang dirilis We Are Social dan Hootsuite sampai Juli 2020.

Menurut We Are Social dan Hootsuite, sampai periode Juli 2020 itu, pandemi telah memaksa bagian terbesar manusia di dunia untuk "go online".

Hal itu terlihat dari kenaikan yang eksponensial pada lima indikator berikut; melonjaknya pencarian online untuk membeli produk dan jasa sebesar 81 persen, kunjungan ke situs ritel atau toko online dari semua perangkat yang meningkat 90 persen, penggunaan aplikasi belanja online pada perangkat mobile yang naik 67 persen, transaksi riil pembelian produk online yang naik 74 persen dengan sebagian besar menggunakan perangkat mobile khususnya ponsel pintar.

Angka-angka global ini pun paralel dengan perkembangan ekonomi digital di Indonesia di mana sampai Juli 2020, Indonesia menjadi negara dengan kenaikan tingkat adopsi e-commerce paling tinggi di dunia.

Sampai Juli atau tiga bulan setelah WHO menyatakan wabah COVID-19 yang awalnya muncul di China akhir tahun lalu itu sebagai pandemi yang satu bulan kemudian membuat dunia terperangkap dalam resesi, tingkat adopsi e-commerce oleh masyarakat Indonesia untuk membeli segala sesuatu secara online mencapai 89 persen atau tertinggi dibandingkan negara mana pun di dunia.

Angka Indonesia ini di atas Inggris, Korea Selatan, Jerman, Amerika Serikat, China dan Jepang yang menjadi penguasa teknologi dunia. Selain juga jauh di atas rata-rata dunia 74 persen.

Tak cuma itu, penggunaan perangkat mobile untuk transaksi e-commerce juga sangat populer di Indonesia dengan proporsi tertinggi di dunia pada 78 persen atau di atas rata-rata dunia 52 persen.

Dengan angka sekuat itu, tak heran Indonesia menangguk insentif besar di mana sampai Juli itu tingkat pertumbuhan e-commerce per tahun naik 30 persen atau di atas rata-rata dunia 18 persen. Kenaikan ini melampaui pertumbuhan yang dialami Korea Selatan, China, dan AS pada periode sama.

Sayang, rata-rata belanja online warga Indonesia dalam satu tahun baru 360 dolar AS (Rp5,29 juta) atau jauh di bawah rata-rata dunia 2.594 dolar AS (Rp38,1 juta).

Angka itu juga ekuivalen dengan proporsi belanja ritel online terhadap total belanja ritel di Indonesia yang hanya 4 persen, padahal rata-rata dunia saja 16 persen.

Transaksi e-commerce Indonesia juga fokus ke dalam negeri sehingga transaksi lintas negara masih sangat rendah di bawah angka 4 persen ketika rata-rata dunia sudah 34 persen.

Namun ada yang unik dari transaksi e-commerce di Indonesia, yakni 54 persen di antaranya dilakukan melalui ponsel atau perangkat mobile. Angka sebesar itu di atas rata-rata dunia 50 persen.

Baca juga: Pemerintah dinilai mulai tunjukkan komitmen bangun ekonomi digital


Demokratisasi ekonomi

Memang dari segi nilai transaksi dan proporsi terhadap total transaksi nasional masih sangat rendah.

Tetapi gambaran We Are Social periode Juli itu menunjukkan Indonesia tengah bergerak ke arah trend digital dalam pola hubungan ekonomi seperti berlaku di kebanyakan negara berekonomi sehat di dunia saat ini.

Nilainya juga cenderung meningkat. Perusahaan konsultan manajemen multinasional McKinsey & Company misalnya, memprediksi industri e-commerce Indonesia bakal bernilai 40 miliar dolar AS pada 2022 atau sekitar tiga persen dari PDB Indonesia tahun lalu.

Angka McKinsey itu mungkin lebih besar lagi karena masa pandemi justru memunculkan kesadaran dan kebutuhan untuk menggeluti ekonomi digital yang lebih luas lagi dari sebelumnya.

Tentu saja bukan cuma e-commerce, namun pada era ketika Indonesia semestinya jauh lebih digital lagi mengingat dominannya generasi melek dan dibesarkan oleh teknologi informasi, ekonomi digital seharusnya memang jauh lebih berkembang daripada yang saat ini ada.

Apalagi kecenderungan penetrasi internet di Indonesia yang semakin luas dan aktivitas online yang kini sudah bisa mencapai hampir semua sektor kehidupan, terlebih pada masa pandemi.

Langkah lebih serius mesti diambil, bukan saja demi memupus paradoks masyarakat digital yang kian luas di tengah masih rendahnya aspek ekonomi yang bisa digarap dari trend itu, namun juga demi menciptakan demokratisasi ekonomi yang lebih luas yang bisa dipercepat dan dipersibuk oleh asistensi teknologi.

Paradigma seperti itu sudah umum terjadi di kebanyakan negara di mana teknologi sudah menjadi platform ekonomi yang vital untuk masa ini dan masa nanti.

Data digital global yang mengungkapkan kenaikan pesat dalam animo transaksi online di Indonesia tetapi saat bersamaan nilai dan proporsinya terhadap total ekonomi nasional masih sangat rendah itu mesti melecut pemangku kepentingan untuk mengambil langkah-langkah drastis.

Di antara yang bisa ditempuh adalah meningkatkan kecepatan koneksi internet, memperluas dan memperbesar infrastruktur teknologi, menghadirkan sistem regulasi yang tak cuma berorientasi benefit ekonomi digital tetapi juga melindungi semua pelaku e-commerce termasuk dari monopoli dan praktik-praktik tidak sehat lainnya, dan tentu saja memastikan demokratisasi ekonomi dan akses teknologi.

Pandemi memang tak boleh mengalihkan perhatian dari misi utama membendung penularan COVID-19.

Namun mencurahkan sebagian perhatian dalam mempersiapkan ekosistem bisnis lebih baik dan lebih kuat lagi ketika masyarakat pascapandemi Indonesia diyakini bakal jauh lebih melek dan lebih aktif mengakrabi e-commerce serta peduli kepada manfaat-manfaat digitalisasi, adalah juga kebutuhan mendesak.

Baca juga: Sektor jasa perlu adaptasi terapkan digitalisasi

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2020