Denpasar (ANTARA) - Jangan apriori dulu, buku berjudul "KontraNarasi Melawan Kaum Khilafers" bukan disusun dengan sengaja untuk melancarkan kebencian kepada HTI sebagai wadah para Khilafers, karena penulisnya M Ainur Rofiq Al Amin, memang mantan Hizbiyyin (saat mahasiswa Unair Surabaya), yang tahu betul "luar-dalam" tentang siapa mereka sebenarnya dan apa yang mereka rencanakan ke depan, dengan bersumber data-data HTI sendiri.
artiarti
Namun, buku setebal 267 halaman yang diluncurkan pada 5 Oktober 2020 dengan Penerbit CV Bildung Nusantara, Bantul, Yogyakarta itu diberi kata pengantar yang bertanggal 22 Oktober 2020, sehingga penulis tampaknya justru sengaja ingin mempersembahkan buku itu sebagai kado istimewa pada Hari Santri 2020 yang jatuh pada setiap tanggal 22 Oktober, yang juga dekat dengan Hari Sumpah Pemuda pada setiap tanggal 28 Oktober. Ya, santri atau pemuda adalah milenial.

Dibilang istimewa, karena buku itu memang "mempertemukan" organisasi kaum santri atau Nahdlatul Ulama (NU) itu dengan narasi-narasi Khilafers (Hizbut Tahrir Indonesia/HTI) seperti Negara Islam, Radikal Potensial, Islam Moderat, NKRI Bersyariah, Islam Nusantara, Khilafers Timses, Pancasila dan Khilafah, Jihad Palsu, Bendera Tauhid, dan sebagainya.

Tujuannya pun bukan menyudutkan HTI yang secara kelembagaan memang sudah dilarang beraktivitas di Indonesia sejak tahun 2015, karena para Khilafers masih saja "beredar" di media sosial dengan propaganda yang sama yakni Tegakkan Khilafah! Khilafah itu Solutif! Namun, buku ini lebih ditujukan kepada Generasi Y dan Generasi Z atau Santri Milenial, agar tidak mudah masuk dalam jebakan/kubangan logika Hizbiyyin yang seolah-olah logis, padahal salah fatal.

Pada halaman 1 menyebutkan kemampuan Khilafers dalam membuat cuitan menjadi trending, karena militansi para Khilafers, meski jumlah mereka cukup sedikit. Contoh trending pada Muharram 2019 dari Khilafers adalah merundung (bully) Banser untuk mengatasi kerusuhan/separatisme di Papua, tapi sekaligus membuat hoaks tentang warga Papua yang minta Banser dibubarkan.

Atau, trending tentang film "Jejak Khilafah Di Nusantara" (JKDN) itu disebut founder Drone Emprit, Ismail Fahmi, ternyata menggunakan bot untuk mendorong popularitas JKDN. Bahkan, film itu sudah tiga kali dicoba untuk diblokir, namun para Khilafers itu mampu berkelit, sehingga mereka pun menganggap "Khilafah" mengalami kemenangan dan kemenangan di dunia maya itu disebut akan menjadi kemenangan pula di dunia nyata.

Namun, penulis buku yang juga dosen dari kalangan keluarga besar Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jatim, itu menilai film JKDN itu tidak menarik secara keilmuan sejarah, karena hanya merupakan promosi Khilafah yang tidak jelas. "Argumentasinya, Khilafah mana yang dipromosikan, apakah Khilafah ISIS, Khilafatul Muslimin, atau HTI?," katanya.

Soal "jejak" juga tidak serta merta bisa menjadi dalil, karena banyak kalangan yang meninggalkan jejaknya di Bumi Indonesia, baik Barat maupun Timur, tapi semuanya bukan data yang dapat dijadikan dalil tentang kebenaran mereka dan karenanya NKRI wajib diubah menjadi Khilafah (halaman 3), maka andai ada jejak khilafah bukan dalil kebenaran khilafah.

Bahkan, data sejarah dalam berbagai kitab tarikh Islam (dalam buku "Islam Yes, Khilafah No?" karya Prof Nadirsyah Hosen) justru menjelaskan Khilafah Umayyah, Abbassiyah, dan dinasti lain menunjukkan jejak berbagai perilaku pemimpin yang baik, adil, terdidik, urakan peminum, sadis, raja tega, nepotisme, dan pergantian kepemimpinannya berujung pada pertumpahan darah. Itulah jejak Khilafah dalam sejarah (halaman 4).

"Dalam kitab karya HTI sendiri yakni kitab Nizam al-Islam karya Taqiyuddin An-Nabhani disebutkan bahwa dalam fiqih, tarikh atau sejarah itu tidak boleh dijadikan sumber hukum," katanya, mengutip kitab otoritatif HTI (halaman 8).

               Demokrasi dan Khilafah

Terkait kritik HTI terhadap demokrasi yang juga dianut Indonesia, penulis menilai hal itu terkait dengan logika HTI tentang demokrasi liberal a la Barat, padahal demokrasi di Indonesia tidak bisa dipahami se-formal itu, karena demokrasi di Indonesia terpengaruh dengan agama dan budaya adiluhung yang dimiliki bangsa ini, bahkan agama dan budaya adiluhung itulah yang melahirkan kesepakatan bernegara yang disebut NKRI.

Sebaliknya, HTI menawarkan Khilafah sebagai solusi yang lebih baik daripada demokrasi, bahkan HTI menyebut Turki Usmani sebagai rujukan dari Khalifah dalam Islam. Sementara Indonesia disebut sebagai Negara Vasal, atau negara yang berada dalam kekuasaan negara lain secara internasional. Jika ada bahaya datang, maka "Negara Pelindung" akan membantu Negara Vasal itu.

Dalam kitab Tarikh Al-Umam wa Al Mulk karya Abi Ja'far Muhammad bin Jarir Tabari, atau kitab Tarikh Al-Umam wa Al Siyasah karya Al-Imam Abi Muhammad Abdullah bin Muslim Ibn Qutaybah Al Dainuri, aatau kitab Tarikh Al Khulafa' karya Al Hafidz Jalaluddin Al Suyuthi, menyebutkan bahwa syarat menjadi imam a'dzam atau Khalifah adalah harus berasal dari Suku Quraisy.

Bahkan, kitab Al Ahkam Al Sultaniyyah karya Al Mawardi menegaskan bahwa syarat seorang imam yang ketujuh adalah bernasab Quraisy, sesuai dengan nash dan ijmak. Bukti yang diajukan Al Mawardi adalah Abu Bakar saat di Saqifah menolak klaim Khilafah atas Sa'ad bin Ubadah dengan memakai argumen hadits "Al-Imamah min Quraisy" (Khalifah itu berasal dari Quraisy), bahkan Al Mawardi juga mengabaikan pendapat yang membolehkan posisi imamah kepada seluruh manusia (halaman 10).

Tidak hanya itu, Imam Ghazali dalam kitabnya "Al-Iqitshad fil I'tiqad" juga menegaskan hal yang sama dengan menggunakan dalil hadits dari Imam Nasai di atas bahwa Khalifah di luar pendapat itu adalah menyimpang (halaman 11).

Artinya, pandangan HTI bahwa Khilafah sebagai solusi dengan menyebut Turki Usmani sebagai rujukan dari Khalifah dalam Islam itu tidak memenuhi kualifikasi sebagai Khilafah, karena Turki Usmani itu bukan dari klan Quraisy. Buku "The Islamic Dynasties" karya Clifford Edmund Bosworth dan buku "Ensiklopedi Tematis Dunia Islam" menjelaskan bahwa Turki Usmani berasal dari Qayigh Clan (Suku Kayi) atau salah satu suku di Turki Barat.

Dengan penelusuran historis itu, klaim Khilafers atas Turki Usmani dan menyebut Nusantara sebagai Negara Vasal pun gugur dengan sendirinya. Apalagi, peta kekuasaan Turki Usmani dalam karya Albert Hourani berjudul "A History of The Arab Peoples" dan juga buku "The Cambridge History of Islam" menyebutkan jejak kekuasaannya tidak sampai ke Turki Usmani, namun justru sampai ke Eropa ("KontraNarasi Khilafers" halaman 12).

Bahkan, sejarahwan yang manuskrip Turki Usmani Prof Oman Fathurrahman dalam republika.co.id menjelaskan Aceh memang pernah mengajukan diri sebagai Negara Vasal kepada Turki Usmani pada abad ke-16, namun ditolak. Pada abad ke-19, Aceh pun mengajukan kembali sebagai Negara Vasal dan Turki tetap menolak. Bagi Turki tidak ada keuntungan menjadikan Aceh sebagai Negara Vasal, apalagi Aceh dalam beberapa kali dipimpin Sultanah (pemimpin perempuan), seperti empat sultanah pada abad ke-14.

Sultanah itu bertentangan dengan prinsip Kekhalifahan, bahkan HTI sendiri dalam kitab otoritatif berjudul "Al Nizam Al-Ijtima'i fil Islam" pada halaman 53, atau kitab yang berjudul "Nizam Al Islam" pada halaman 104, atau kitab "Ajhizat Daulah Al Khilafah" pada halaman 23, yang menjelaskan bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, hakim mazalim, maupun gubernur.

Terkait kemunduran Turki Usmani, sejarahwan Prof Ali Mufrodi dalam "Ensiklopedi Tematis Dunia Islam" menyebut kemunduran Turki Usmani terjadi karena problem kekuasaan internal, seperti Sultan Muhammad III yang membunuhi semua saudara laki-laki serta bekas para janda dari ayahnya, apalagi Tukri Usmani juga sempat dikalahkan pasukan Sekutu Kristen dan juga Rusia, meski sempat direbut kembali, sehingga akhirnya mengalami kemunduran.

               Jebakan Logika

Yang menarik dalam buku "KontraNarasi Khilafers" itu, penulis yang juga mantan Khilafers itu juga menceritakan pengakuan dirinya dan para Khilafers lain dalam memainkan logika otak-atik untuk mendaku/klaim kebenaran Khilafah yang dipaksakan seperti halnya ketika para pendukung Khilafers menghalalkan segala cara untuk menjadikan film "Jejak Khilafah Di Nusantara" sebagai trending ala hoaks, meski "Suku Quraisy" sebenarnya sudah menjadi syarat yang selesai.

"Sewaktu saya menjadi maniak Khilafah, apapun yang bisa saya otak-atik matuk dari kejadian di dunia untuk meyakinkan para calon korban agar ikut gagasan Khilafah. Contohnya saat ramainya Negara Eropa membentuk Uni Eropa pada tahun 1993 (awal saya kuliah di Unair), maka realitas itu saya suarakan bahwa Negara Barat yang kafir saja sadar untuk bergabung, masak kita yang Muslim justru terpecah dalam sekat negara nasionalisme dan negara-bangsa," kata penulis, saat itu, meski Uni Eropa itu bukan berarti menjadi satu negara seperti Khilafah, apalagi Inggris justru keluar (Brexit 2020).

Tidak hanya penulis, Jubir eks-HTI Ismail Yusanto juga menggunakan buku "Mapping The Global Future" yang dikeluarkan oleh NIC yang sebagian isinya adalah skenario berdirinya Khilafah 2020 oleh cucu Bin Laden. "Yusanto menuduh saya sebagai telmi (telat mikir), karena saya menolak gagasan HTI dan keluar dari HTI, padahal NIC yang kafir saja berpikir rasional dan antisipatif," kata penulis (halaman 17-18).

Ya, semua kejadian bisa "di-rames-i" dengan logika HTI, karena itu kalau Hizbiyyin Felix Siau menyebut penolakan terhadap HTI itu karena "framing" (pembingkaian) yang buruk atas Khilafah, sehingga Khilafah terkesan sebagai momok, maka fakta dan data dalam buku "KontraNarasi Khilafers" bisa menjadi bukti siapa sebenarnya yang bermain "framing" dengan menghalalkan segala cara.

Termasuk menampilkan fenomena hijrah superfisial, ustadz dadakan, dan artis pendakwah yang sedikit-sedikit lari ke Alquran dan Hadits, padahal profesi mereka adalah artis. Sebaliknya, beberapa tokoh agama seperti Prof Ahmad Zahro pun "di-framing" sebagai pendukung Khilafah, untuk sekadar menguatkan logika mereka, bahkan pendiri NU KH Hasyim Asy'ari pun dimanipulasi sebagai pendukung Khilafah. Begitulah kalau berani "hijrah" tapi miskin ilmu.

Sebagai Dosen Fakultas Ushuluddin UINSA Surabaya, penulis dalam bukunya itu juga membandingkan kitab HTI dan "kitab kuning" NU tentang Khilafah/kepemimpinan. Kitab otoritatif HTI berjudul "Ajhizat Daulah Al Khilafah" karya Atha Abu Rashtah yang menyebut "Daulah Khilafah" (Negara Khilafah), namun kitab kuning seperti Al Ahkam Al Sulthaniyyah (karya Abu Hasan Al Mawardi), Tarikh Tabari, dan kitab-kitab kuning lainnya hanya menyebut satu kata yakni Khilafah, bukan Daulah Khilafah.

Jadi, para santri sebenarnya tidak mengingkari Khilafah/kepemimpinan, tapi maksudnya bukan negara atau pemerintahan. Abu Hasan Al-Mawardi dalam kitabnya itu menyebut kata "khilafah" sebanyak 35 kali, kata "khalifah" sebanyak 25 kali, kata "imamah" sebanyak 94 kali, dan kata "imam" sebanyak 13 kali. Kata-kata yang sama juga ada dalam kitab "Fathul Wahab", "Asnal Mathalib", dan "Minhajut Thullab" karya Syaikh Zakariyah al-Anshari, atau kitab "Rawdhatut Thalibin wa 'Umdatul Muttaqin" dan "Minhajut Thalibin" karya Al-Nawawi, dan sebagainya (halaman 23).

Para santri memahami teks-teks tentang imamah/khilafah dalam kitab-kitab itu melalui konstruksi pemahaman salah satu pendiri NU KH Wahab Chasbullah yang disampaikan dalam pidato di depan parlemen pada 29 Maret 1954 yang dimuat dalam Majalah "Gema Muslimin" berjudul "Walijjul Amri Bissjaukah", yang intinya bahwa imam a'dhom dalam Islam itu hanya satu yang memiliki pengetahuan semartabat mujtahid mutlak, namun orang yang demikian sudah tidak ada sejak 700 tahun dari sekarang (1954-700=1254).

Bila umat Islam di dunia tidak mampu membentuk Imam A'dhom, maka wajib atas umat Islam masing-masing negara mengangkat Imam yang darurat, seperti Bung Karno misalnya, bisa dianggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara adalah Walijjul Amri (halaman 24).

Pandangan KH Wahab Chasbullah itu juga menjadi keputusan Muktamar NU di Banjarmasin bahwa Soekarno sah menjadi pemimpin RI sebagai "waliyyul amri ad-dharuri bisysyaukah". Artinya, syarat pemimpin yang ideal itu diturunkan menjadi syarat minimal realistis.

Penulis menilai syarat demikian juga dapat ditarik kesimpulan bahwa Gus Dur yang mempunyai kekurangan fisik pun sah menjadi presiden, karena syarat ideal seperti dalam pandangan Imam Mawardi tidak memungkinkan (halaman 26). Dalam perkembangan yang tidak kaku seperti HTI, para ulama dalam Bahtsul Masail NU juga sudah menetapkan bahwa Khilafah adalah ijtihadiyah dan NKRI adalah hasil kesepakatan yang final (halaman 30).

Tidak hanya logika otak-atik, jebakan logika juga banyak dilakukan para Khilafers. Misalnya, Khilafers yang berteriak lewat poster saat diingatkan petugas terkait pemberlakukan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) saat Corona pada Mei 2020, "Hukum Allah lebih tinggi... Saya menghormati aturan, tapi saya lebih menghormati aturan Allah".

Ungkapan ini tidak jauh berbeda dengan ungkapan Ismail Yusanto HTI yang menyatakan tidak akan diam melawan rezim "firaunik". "Sekalipun tidak disebut secara jelas dalam buku-buku HTI kalau akan mengganti Pancasila, UUD 1945, dan NKRI, tapi saya bisa pastikan bahwa cita-cita HTI adalah mengganti sistem non-khilafah," kata penulis (halaman 89).

Ada lima penyebab radikalisme yakni kaget tampilan (ustadz "berlidah" api), kaget istilah (dari abangan mengenal istilah khilafah, kaffah, jihad, halal, surga), dari urakan mengenal agama dari ustadz "kaget tampilan", dari pendosa (lingkungan maksiat/koruptif) bertemu ustadz "kaget tampilan" di medsos, dan memusuhi liberalisme (anti-Islam liberal).

Jebakan logika seperti itu sebenarnya sudah terlalu sering dilakukan para Khilafers yakni jebakan logika melalui perbandingan yang tidak seimbang, seperti halnya ketika mereka menyatakan Islam itu lebih baik daripada Pancasila. Itu jebakan logika yang tidak imbang, karena Islam itu agama, sedangkan Pancasila adalah ideologi. Kalau membandingkan agama secara imbang, maka Islam bisa dibandingkan dengan agama Kristen dan sebagainya, sedangkan ideologi dengan ideologi.

"Manusia sekarang mirip dengan umat Nabi Ibrahim, logika lebih dipercaya daripada dalil," kata ulama NU yang ahli Al-Qur'an, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim.

Sebagai mantan Khilafers, penulis buku bisa melakukan kontranarasi yang lebih menukik: Lebih tinggi mana Konstitusi HT dengan Ayat Suci? Kenapa Konstitusi HT dibuat? Lebih tinggi mana untuk ditaati antara Tuhan dengan dedengkot HT? Kenapa tokoh HT lebih ditaati daripada pemilik Ayat Suci? Ayat Suci tidak menyebut HT atau perintah mendirikan HT atau Khilafah, kenapa ngotot seakan HT atau Khilafah kayak Rukun Iman saja? "Itulah contoh-contoh jebakan logika yang membuat sesat logika, seperti lebih takut mana antara Tuhan dengan Corona?," kata penulis pada halaman 69.

Logika sesat ala HTI itulah yang kini banyak menyeruak di dunia maya (medsos), padahal logika HTI itu khas yakni rigid (kaku) dalam melihat perkembangan, namun hal itu justru disebarluaskan ke dunia maya, seperti HTI melihat kelompok moderat sebagai kelompok yang dirangkul Barat untuk melawan HTI, padahal kitab HTI sendiri sudah menjelaskan bahwa Barat adalah pembawa kelompok kapitalis yang bisa memanfaatkan siapapun yang menguntungkan, termasuk memanfaatkan kelompok radikal itu sendiri. Cara pandang yang mirip juga dilakukan HTI dalam melihat demokrasi, komunis, dan perkembangan lainnya. Sangat rigid tapi manipulatif.

Pada halaman-halaman berikutnya, penulis banyak mengulas liku-liku pengalaman teman, keluarga, santri, emak/istri, anak, dan sebagainya yang terjebak "logika" HTI (menjadi HTI) hingga ada masalah dengan keluarga. Tapi, ada juga kritik penulis terhadap sikap pemerintah yang hanya tegas terhadap teroris, tapi kurang tegas terhadap "radikal ideologis" (HTI), padahal kelompok radikal dalam bentuk apapun itu memiliki target sama yakni mengganti NKRI/Pancasila.

HTI yang terlarang kini tetap bergerilya di "bawah tanah" (tanah era Orde Baru) dan "tanah tambahan" (dunia maya atau medsos) untuk merayu ASN, pelajar/mahasiswa, pekerja/swasta/BUMN, dan kelompok masyarakat hingga tercapai cita-cita "Khilafah".

Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2020