Anak-anak di daerah pedesaan memiliki risiko stunting lebih tinggi
Solo (ANTARA) - Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta menyatakan pemerintah perlu memperhatikan karakteristik daerah untuk menyikapi stunting dan memberikan perhatian lebih pada daerah dengan prevalensi tinggi.

"Anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan memiliki risiko stunting lebih tinggi karena kurangnya akses ke perawatan kesehatan," kata salah satu peneliti UNS Tri Mulyaningsih yang tergabung dalam riset kolaborasi internasional bertajuk "Multilevel Determinants of Childhood Stunting" di Solo, Selasa.

Ia mengatakan prevalensi stunting anak tidak sama antarprovinsi, misalnya risiko stunting di Nusa Tenggara Timur (NTT) lebih tinggi dibandingkan Pulau Jawa. Menurut dia, hal itu tidak lepas dari bagaimana akses terhadap kebutuhan air bersih atau "water, sanitation, and higiene" (WASH) di suatu daerah yang sangat berpengaruh pada kondisi anak.

Terkait hal itu, menurut dia, diperlukan kebijakan yang lebih baik dan spesifik, serta mengarah langsung ke intervensi kebijakan dan harus sensitif seperti memperhatikan masalah akses ke WASH.

Baca juga: Presiden minta penurunan kasus "stunting" difokuskan di 10 provinsi

Baca juga: Kasus stunting Indonesia dikhawatirkan naik akibat pandemi COVID-19

"Sebetulnya kebijakan-kebijakan pemerintah di Indonesia berkaitan dengan stunting sudah banyak, komprehensif, dan menjangkau berbagai sektor. Namun, implementasi dari kebijakan tersebut masih terbatas, belum maksimal, dan belum efektif," katanya.

Menurut dia, angka stunting memang menunjukkan penurunan tetapi berjalan lambat. Bahkan, dikatakannya, untuk turun 1 persen saja membutuhkan waktu yang lama sehingga diperlukan implementasi kebijakan yang lebih maksimal dan efektif.

Sementara itu, dikatakannya, riset tersebut berbicara perihal malnutrisi anak dan berfokus pada masalah stunting yang merupakan masalah malnutrisi anak paling berat di Indonesia.

"Kondisi ini juga tidak lepas dari dampak stunting bagi pertumbuhan anak dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa mendatang. Anak yang mengalami stunting, kemampuan kognitif dan intelektualitasnya kurang berkembang," katanya.

Dengan demikian, dikatakannya, produktivitas kerja juga berkurang. Selain itu, menurut dia anak yang mengalami stunting berisiko penyakit lebih tinggi dibandingkan anak lain, khususnya penyakit tidak menular seperti diabetes, kolesterol, dan jantung.

Selain Tri Mulyaningsih dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), dua dosen lain yang juga tergabung dalam kelompok riset tersebut yaitu Vincent Hadiwiyono dari FEB dan Vitri Widyaningsih dari Fakultas Kedokteran (FK).

Baca juga: Kasus stunting banyak ditemui keluarga menikah usia muda

Baca juga: Bappeda: Kasus kekerdilan sudah jadi isu nasional

Pewarta: Aris Wasita
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020