Jakarta (ANTARA) - Virus corona telah menyebabkan banyak orang kehilangan pekerjaan, yang hal itu juga berdampak pada meningkatnya angka pengangguran dan jumlah orang miskin. Karena miskin, maka asupan gizi juga menjadi berkurang.

Sementara gegara virus SARS-CoV-2 ini, orang diminta untuk banyak bekerja atau berkegiatan di rumah saja. Kurangnya pekerjaan atau kegiatan di rumah bisa berdampak pada meningkatnya jumlah kelahiran.

Kekurangan gizi diketahui menyebabkan lahirnya bayi stunting atau gagal tumbuh alias kerdil. Bisa diantisipasi, anak yang lahir dengan kondisi stunting Tahun 2020 akan memasuki usia angkatan kerja pada Tahun 2045, yang bertepan dengan ketika Indonesia merayakan pesta emas atau kemerdekaan RI berusia 100 tahun. Jadi, diperkirakan akan tampil generasi angkatan kerja stunting di Tahun 2045.

Oleh karena itu, mulai sekarang penciptaan lapangan kerja perlu digalakkan. Demikian juga dengan program Keluarga Berencana (KB).


Angka stunting tinggi

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga dengan angka prevalensi stunting tertinggi di Asia pada Tahun 2018, setelah Negara Timor Leste (50,5 persen) dan India (38,4 persen), yaitu sebesar 36,4 persen.

Sementara itu, menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan atau Kemenkes Republik Indonesia Tahun 2018, angka prevalensi stunting di Indonesia masih di atas angka 20 persen. Artinya, kondisi itu belum mencapai angka yang ditargetkan oleh WHO, yakni di bawah 20 persen.

Upaya untuk mengatasi masalah kekerdilan di Indonesia sebenarnya cukup baik. Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), pada Tahun 2013, prevalensi balita stunting nasional Indonesia berada di angka 30,8 persen dan kemudian mampu diturunkan menjadi 27,67 persen pada Tahun 2019.

Akan tetapi, terjadinya wabah pandemi COVID-19 sejak Maret 2020, diperkirakan akan memperbesar prevalensi balita dengan kondisi stunting di Indonesia.

Sampai dengan Tahun 2019, masih terdapat beberapa provinsi di Indonesia yang memiliki angka prevalensi stunting yang melebihi angka nasional 27,67 persen.

Provinsi tersebut adalah: Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Papua Barat dan Provinsi Papua. Sementara itu, ada dua provinsi dengan angka prevalensi stunting paling rendah, yaitu Bali 19,7 persen dan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta 20,1 persen.

Sementara provinsi lain memiliki angka prevalensi di atas DKI Jakarta dan di bawah prevalensi nasional (Kemenkes, 2019).

Smeru Riset Institute memprediksi kenaikan jumlah penduduk miskin Indonesia akibat virus corona jenis baru itu, dengan skema terburuk adalah dari 9,2 persen pada Tahun 2019 menjadi 12,4 persen pada akhir Tahun 2020, atau naik dari 24,8 juta jiwa menjadi 33,2 juta jiwa. Jumlah tersebut turut dipengaruhi oleh bertambahnya jumlah orang dengan status pengangguran di negara kita.

Badan Pusat Statistik menjelaskan bahwa pada Februari 2019 terjadi peningkatan pengangguran lulusan diploma sebanyak 8,5 persen dan lulusan perguruan tinggi atau universitas sebanyak 25 persen.


Mengarusutamakan perempuan

Mengantisipasi lahirnya generasi stunting, Dompet Dhuafa (DD), lembaga filantropis Islam yang berkhidmat dalam pemberdayaan kaum dhuafa, menginisiasi program Aksi Peduli Dampak Corona (APDC) yang mengutamakan program padat karya dan mengarusutamakan kaum perempuan sebagai penerima manfaat pertama dari hasil program padat karya tersebut.

Kaum ibu di banyak negara berkembang adalah penanggung jawab utama ekonomi keluarga miskin dan penyanggah beban terberat jika terjadi bencana. Program padat karya Dompet Dhuafa ini sekaligus menjadi bagian dari program pengelolaan stunting.

APDC merupakan bentuk nyata dari filantropeneur, yakni satu aksi filantropi yang dikelola sebagai usaha sosial di masa pandemi demi mewujudkan ketahanan ekonomi dalam skala keluarga.

Aktivitas program APDC dari Dompet Dhuafa mencakup beberapa bidang, yakni ekonomi, kesehatan, pendidikan, budaya dan iman takwa (dakwah).

Berkolaborasi dengan Radio Republik Indonesia (RRI), Dompet Dhuafa pada 17 September 2020 meluncurkan APDC sebagai upaya lanjutan penanganan respons dari COVID-19 di Indonesia.

Program Dompet Dhuafa ini tersebar di berbagai provinsi di Indonesia, yaitu: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Papua.

Pada sektor ekonomi, Dompet Dhuafa juga menginisiasi beberapa aktivitas, termasuk program ketahanan pangan berbasis keluarga maupun komunitas.

Ketahanan pangan berbasis keluarga, seperti budi daya ikan lele budi daya kolam buatan (budikolbu), dan sayur dalam ember (budikdamber), kebun pangan keluarga, bantuan modal usaha mikro perorangan dan bantuan pangan yang memprioritaskan untuk orang lanjut usia, serta disabilitas atau mereka yang tidak mampu terberdayakan lagi.

Baca juga: Presiden ingin hanya satu badan tangani stunting

Di bidang kesehatan, Dompet Dhuafa sejak Tahun 2015 sudah terlibat di program stunting. Program percepatan solusi atas masalah stunting ini masih terus berjalan di 26 titik di kabupaten dan kota dengan sekitar 155 kader terlatih sebagai pendamping di level bawah, yang basisnya adalah penguatan keluarga.

Baca juga: Strategi tekan "stunting" jadi 14 persen 2024

Tujuan utama APDC melibatkan dan memberdayakan potensi serta kompetensi kaum perempuan, karena saya yakin jika kaum perempuan sehat maka keluarga dan bangsa akan kuat.
Baca juga: KPPPA: Kesetaraan gender cegah anak stunting


*) Parni Hadi adalah wartawan senior, inisiator Dompet Dhuafa

Copyright © ANTARA 2020