Bangkok (ANTARA) - Dua pemimpin siswa sekolah menengah atas (SMA) Thailand akan dituntut karena bergabung dengan aksi protes pada Oktober yang dilarang, kata polisi, Jumat.

Tuntutan dilayangkan sehari setelah Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha mengancam akan melakukan tindakan lebih keras terhadap pengunjuk rasa.

Para siswa tersebut mengatakan bahwa mereka telah dipanggil karena melanggar keputusan keadaan darurat dengan bergabung dalam demonstrasi15 Oktober.

Aksi protes itu dilakukan karena puluhan ribu orang menentang larangan PM Prayuth yang bertujuan menghentikan demonstrasi yang menuntut pencopotannya dari jabatan, juga soal reformasi monarki.

"Bahkan jika para pemimpin protes ditangkap, tidak ada cukup ruang di penjara karena ratusan lainnya lagi akan bangkit," kata Benjamaporn Nivas kepada Reuters melalui pesan singkat. Benjamaporn adalah salah satu siswa berusia 15 tahun yang dituntut.

Kelompok "Bad Student" (Pelajar Nakal) merencanakan aksi protes pada Sabtu dan Benjamaporn mengatakan dia akan tetap hadir. Anggota kelompok protes lain yang menghadapi tuntutan adalah Lopanapat Wangpaisit, yang berusia 17 tahun.

Juru bicara polisi Thailand Yingyos Thepjumnong mengatakan kedua siswa tersebut dipanggil untuk mengakui tuduhan tersebut dan akan diinterogasi di hadapan orang tua dan pengacara mereka.

Protes yang dipimpin kalangan pemuda dan siswa sejak Juli telah menjadi tantangan terbesar bagi pembangunan Thailand selama bertahun-tahun. Puluhan penangkapan serta upaya untuk memadamkannya sejauh ini malah membawa lebih banyak orang turun ke jalan.

Prayuth telah menolak permintaan pengunjuk rasa untuk mengundurkan diri. Ia menolak tuduhan mereka bahwa dia merekayasa hasil pemilihan umum tahun lalu untuk mempertahankan kekuasaan yang direbutnya melalui kudeta pada 2014.

Para pengunjuk rasa juga menyerukan perubahan pada konstitusi, yang dulu disusun oleh mantan pemimpin junta, serta menuntut agar kekuasaan Raja Maha Vajiralongkorn dibatasi. Mereka mengatakan monarki telah memungkinkan militer mendominasi di Thailand selama beberapa dekade.

Pihak Istana Kerajaan Thailand tidak memberikan komentar apa pun sejak aksi protes dimulai.

Pada Kamis (19/11), Prayuth mengancam akan menggunakan semua undang-undang untuk mengadili pengunjuk rasa yang melanggar aturan.

Ancaman itu meningkatkan kekhawatiran di kalangan aktivis bahwa tindakan itu juga bisa menyangkut pelaksanaan keras undang-undang penghinaan kerajaan. Selama lebih dari dua tahun terakhir, tidak ada penuntutan yang terjadi terkait undang-undang itu.

Meskipun demonstrasi sebagian besar berlangsung damai, polisi pada Selasa (17/11) menggunakan gas air mata dan meriam air dalam menghadapi para pengunjuk rasa. Sedikitnya 55 orang terluka akibat gas air mata dan enam orang mengalami luka tembak.

Protes besar lainnya direncanakan dilakukan di Biro Properti Mahkota pada Rabu. Para pengunjuk rasa mengatakan mereka berusaha untuk merebut kembali kekayaan istana, yang diambil raja di bawah kendali pribadinya.

Sumber: Reuters

Baca juga: PM Thailand ancam gunakan seluruh aturan hukum untuk jerat demonstran

Baca juga: Pendukung kerajaan Thailand minta konstitusi tak diubah

Baca juga: Dua pedemo di Thailand didakwa berupaya menyerang ratu


 

Puluhan ribu demonstran tuntut reformasi monarki kerajaan Thailand

Penerjemah: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Tia Mutiasari
Copyright © ANTARA 2020