Jakarta (ANTARA) - Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI) kembali menegaskan pentingnya akses yang berkeadilan terhadap vaksin COVID-19 bagi semua negara, termasuk negara miskin dan berpendapatan rendah, untuk mengakhiri pandemi secara tuntas.

"Akses yang adil bagi semua negara--berpendapatan tinggi, menengah, dan juga rendah--akan menyelamatkan nyawa, menyelamatkan perekonomian, serta memberikan kita kesempatan untuk mengakhiri pandemi dengan cara terbaik yang paling mungkin," kata Elen Hoeg, Manajer Kebijakan Senior CEPI.

Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam Global Town Hall 2020, yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Jumat.

"Sebuah analisis mengindikasikan bahwa jika vaksin didistribusikan lebih dahulu ke negara berpendapatan tinggi, 33 persen kematian mungkin dihindari, namun jika vaksin didistribusikan secara merata berdasarkan populasi, 61 persen kematian mungkin dapat dihindari," ujar Hoeg.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam pidato kuncinya pada sesi diskusi yang sama, juga menekankan bahwa akses yang adil terhadap vaksin COVID-19 menjadi kepentingan nasional setiap negara.

"Dalam dunia kita yang serba terhubung, jika masyarakat di negara berpendapatan rendah dan menengah tertinggal untuk hal vaksin, virusnya akan terus menyebar dan pemulihan ekonomi secara global akan terhambat. [...] Karena itulah, kami ingin mengalokasikan vaksin dengan adil, khususnya untuk pekerja medis, lansia, dan orang dalam kelompok risiko tinggi lainnya," kata Tedros.

Baca juga: Kebutuhan vaksin COVID-19 global diperkirakan sulit terpenuhi

Baca juga: Dirjen WHO: 184 negara bergabung dalam program COVAX


Lebih lanjut, Hoeg menjelaskan bahwa Fasilitas Akses Global Vaksin COVID-19 atau inisiatif COVAX--yang digagas oleh WHO bersama dengan CEPI serta Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI)--merupakan jalan menuju penyebaran vaksin secara adil tersebut.

Tantangan yang muncul saat ini, antara lain "nasionalisme vaksin", yang menurut Hoeg sebetulnya merupakan strategi negara, khususnya melalui kesepakatan bilateral, untuk mengamankan pasokan vaksin bagi seluruh populasinya.

Bagaimanapun, ia menyebut, "Selama virusnya masih berada di luar sana, maka ancaman itu selalu ada, sehingga meninggalkan negara yang tak mampu membayar vaksin adalah suatu keputusan problematis bagi seluruh dunia. [...] Dengan keinginan politik dan dukungan finansial, COVAX mempunyai kemampuan untuk melawan 'nasionalisme vaksin'."

Berdasarkan data CEPI per 17 November 2020, sebanyak 187 negara--yang mencakup 90 persen total populasi dunia--telah bergabung dalam inisiatif COVAX, dan setidaknya ada 50 calon vaksin COVID-19 yang saat ini tengah memasuki fase uji klinis, beberapa di antaranya telah berada dalam tahap akhir uji coba.

Baca juga: CEPI akan danai pengembangan kandidat vaksin COVID-19 dari China

Baca juga: COVAX kumpulkan Rp28 triliun untuk vaksin COVID-19 di negara miskin

Pewarta: Suwanti
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2020