Kesalahan komunikasi inilah yang kemudian membuat persoalan-persoalan sering kali di tengah masyarakat layanannya tidak pernah prima dari pemerintah.
Jakarta (ANTARA) - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebut kini sudah bukan waktunya untuk pejabat melakukan komunikasi publik dengan kaku dan menggunakan diksi yang sulit untuk dipahami masyarakat.

Dalam Konvensi Nasional Humas (KNH) 2020 secara daring di Jakarta, Sabtu, Ganjar bertanya kepada masyarakat soal model komunikasi yang mereka inginkan dari pejabat setelah pelantikannya sebagai gubernur.

"Kalau melihat seorang pejabat berpenampilan kaku dengan pidato lebih banyak 'yang terhormat... yang terhormat' menurut mereka ternyata itu sesuatu yang tidak mengasyikkan," tutur alumnus Universitas Gadjah Mada itu.

Baca juga: Konvensi Perhumas bahas kemampuan yang dibutuhkan di era digital 5.0

Masyarakat, lanjut Ganjar, tidak menyukai pejabat yang berpidato dengan bahasa terlalu formal karena tidak mengenakkan untuk didengar dan menimbulkan rasa kantuk.

Padahal, kata dia, pejabat memiliki kepentingan dalam menyampaikan informasi, misalnya tentang suatu program agar dapat dipahami masyarakat.

Untuk itu, pandangan masyarakat terkait komunikasi publik yang diinginkan merupakan hal yang penting.

Setelah itu, Ganjar Pranowo memutuskan untuk melakukan perubahan dalam komunikasi publik, baik dirinya maupun pejabat di dinas.

"Saya sendiri tidak mau dibuatkan teks pidato seperti itu, pidatonya boleh bercerita, pidatonya boleh prosa, pidatonya boleh puisi, pidatonya boleh narasi singkat," ucapnya.

Agar lebih cepat merespons masyarakat, dia pun menginstruksikan kepada pejabat di dinas untuk memiliki humas di masing-masing dinas serta mengelola media sosial dan mengunggah program yang dikerjakan agar diketahui masyarakat.

Baca juga: Zuhro: Komunikasi politik untuk bangun kepercayaan di iklim demokratis

Setelah berjalan beberapa tahun, Ganjar Pranowo mengaku terkejut dengan perubahan besar perilaku pejabat daerah dalam melakukan komunikasi publik, di antaranya sudah tidak menggunakan diksi formal.

"Jadi, kesalahan komunikasi inilah yang kemudian membuat persoalan-persoalan sering kali di tengah masyarakat layanannya tidak pernah prima dari pemerintah," katanya.

Ganjar melanjutkan, "Cara kami bertabayun, mengklarifikasi, dan mengonfirmasi melalui teknologi yang kemudian membuat komunikasi kehumasan kami menjadi soft, lebih enak, dan kemudian bisa diterima masyarakat."

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020