Jakarta (ANTARA) - Sarman El Hakim, seorang warga Sawangan, Bogor, tampak terkesima dan tidak henti-hentinya berdecak kagum saat menyaksikan buah anggur segar yang bergelantungan di perkebunan Jogya Anggur di kawasan Bantul, Yogyakarta, minggu lalu.

Bersama istri dan dua anaknya, Sarman sengaja berkendaraan mobil pribadi dari kediamannya untuk berkunjung ke perkebunan anggur tersebut, hanya untuk melepaskan rasa penasaran perihal buah yang berasal dari Armenia itu.

“Selama ini saya mendengar kalau anggur itu hanya tumbuh di negara dengan iklim empat musim, terutama di Eropa. Ternyata anggur juga bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di daerah tropis, seperti Indonesia,” kata Sarman, penggila bola yang juga Ketua Umum Masyarakat Sepak Bola Indonesia itu.

Kahar dan Saidah, dua anak Sarman, yang masing-masing duduk di bangku kelas 2 SMA dan kelas 2 SMP, dengan penuh antusias segera menjelajahi kebon anggur seluas 800m persegi dengan sekitar 500 batang anggur berbagai jenis itu.

Mereka kemudian mengeluarkan gawai masing-masing, mencari posisi strategis untuk berswafoto dengan latar belakang buah anggur yang sebagian besar adalah varietas impor dengan buah yang rata-rata berwarna merah dan ukuran lebih besar dibanding jenis lokal.

Selain Sarman dan keluarga, juga terdapat beberapa keluarga asal Yogyakarta yang membawa anak-anak usia TK untuk melihat dari dekat buah anggur yang selama ini hanya mereka ketahui melalui media sosial itu.

Tidak sulit untuk menemukan kebun anggur milik dua bersaudara Arief Wahyudianto dan Agustinus Danang itu karena berlokasi persis di pinggir Jalan Bakulan Imogiri , sekitar enam kilometer dari kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Pengunjung akan disambut dengan suasana akrab pegawai Jogja Anggur di depan pintu gerbang yang dilengkapi bangunan berbentuk joglo. Karena masih kondisi pandemi COVID-19, pengunjung pun diingatkan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan, saat memasuki kebun.

Untuk memasuki kebun wisata anggur tersebut, pengunjung dewasa dipungut biaya Rp15 ribu pada hari biasa dan Rp10.000 untuk anak-anak, sementara pada akhir pekan atau hari libur, masing-masing Rp20.000 dan Rp15.000.

“Tapi untuk saat ini pengunjung belum bisa memetik buah karena belum matang. Diperkirakan akan matang sekitar akhir Desember ini,” kata Arief yang mengaku baru tiga bulan ini membuka kebun tersebut secara komersial.

Selain menyediakan buah anggur segar untuk nantinya dipetik langsung dengan perkiraan harga Rp100.000 per kg, Arief juga menyediakan puluhan bibit yang semuanya varietas impor dengan harga mulai Rp150.000. Bahkan untuk bibit di dalam planterbag kapasitas 75 liter yang sudah berbuah, harga yang dipatok adalah Rp3,5 juta.

“Dari sekitar 50 jenis bibit yang kami jual, kami memprioritaskan empat varietas saja untuk pengunjung, yaitu laura, gos-V, helioz dan everest. Mengapa? Karena jenis itulah yang paling manis dan berbuah lebih besar,” kata Arief.


Kampung Anggur

Selain Jogja Anggur, di Yogyakarta juga terdapat perkebunan anggur yang dikenal dengan nama Kampung Anggur, berlokasi di Dusun Plumbungan, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Bambanglipuro, juga di Kabupaten Bantul, hanya berjarak sekitar lima kilometer dari Jogja Anggur.

Berbeda dengan Jogja Anggur yang lebih komersial, Kampung Anggur tersebut lebih tepat disebut sebagai komunitas masyarakat dimana sekitar seratus rumah tangga di dusun tersebut menanam anggur di pekarangan mereka. Rata-rata warga menanam anggur jenis Ninel yang disebut-sebut berasal dari Ukraina.

Meski tidak memiliki ratusan pohon anggur jauh dari kesan perkebunan komersial, suasana desa di Kampung Anggur tersebut terasa lebih kental, karena setiap rumah yang memiliki kebun anggur, juga menyediakan “kafe” dengan berbagai minuman tradisional.

Masing-masing rumah memiliki ciri khas dan cara tersendiri untuk menarik minat pengunjung, tidak ubahnya seperti kafe-kafe yang menghias diri dengan berbagai ornamen, misalnya Satriya Grape milik Rio Aditya.

Halaman Satriya Grape dengan luas sekitar 150 m persegi tersebut tampak rindang dengan buah anggur yang bergelantung di penopang baja ringan dan menutupi hampir seluruh halaman.

Di bawah kanopi pohon anggur yang menjalar ke berbagai arah, terdapat kursi dan meja kayu jati yang menyediakan minuman segar dan makanan ringan. Di sudut lain, beberapa pegawai tampak sibuk melayani pertanyaan pengunjung tentang berbagai hal.

Di Kampung Anggur tersebut, pengunjung bebas untuk mengunjungi rumah warga yang menyediakan buah dan bibit anggur, tanpa dipungut bayaran, tidak ubahnya seperti pengunjung di pusat perbelanjaan. Belum puas dengan satu kebun anggur, pengunjung bisa berpindah ke kebun anggur warga lain di sebelahnya.


Belum Populer

Perkebunan anggur atau wisata petik anggur memang belum begitu populer di Tanah Air. Alasannya karena masih adanya anggapan dalam masyarakat umum bahwa anggur adalah tananam yang hanya cocok di negara dengan empat musim, terutama Eropa.

Kebun anggur yang akhir-akhir ini viral di media sosial pada umumnya adalah kegiatan per orangan atau kelompok yang lebih banyak untuk sekadar atraksi wisata dan edukasi, sehingga belum ada pihak yang mengembangkan dalam skala industri, seperti halnya jenis buah-buahan lainnya.

Seperti dikutip dari laman Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, sentra produksi anggur di Indonesia terdapat di Kediri, Probolinggo, Pasuruan, Situbondo (Jawa Timur), Singaraja (Bali) dan Kupang (NTT).

Sebagai negara tropis, Indonesia sebenarnya juga punya beberapa keunggulan, di samping beberapa kelemahannya. Produktivitas anggur di kawasan tropis, lebih rendah dibanding dengan kawasan subtropis. Kalau di kawasan subtropis hasil optimal anggur bisa mencapai 20 ton per hektare per tahun, sementara di Indonesia hanya separuhnya. Namun demikian, panen anggur di kawasan subtropis hanya bisa sekali dalam setahun, sementara di Indonesia bisa hampir tiga kali karena waktu panen bisa diatur sepanjang tahun.

Panas matahari ini sangat penting dalam proses fotosintesis tanaman anggur. Pada saat musim panas, matahari di lembah-lembah penghasil anggur di Prancis bisa bersinar selama 17 jam per hari. Ditambah dengan faktor suhu dan kelembapan udara, angin dan struktur tanah, itulah yang membuat kawasan tersebut menjadi penghasil anggur terbaik di dunia.

Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa produksi buah anggur pada 2018 hanya mencapai 10. 867 ton dan berada di posisi ke-22 dari total produksi buah-buahan secara nasional, terpaut jauh dari buah pisang yang menempati peringkat teratas dengan 7,2 juta ton, atau mangga di peringkat kedua dengan 2,6 juta ton.

Suasana di salah satu rumah warga di Kampung Anggur, Bantul, Yogyakarta (Antara/Atman Ahdiat)

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2020