Pontianak (ANTARA) - Peneliti senior KITLV Leiden, Ward Berenschot mengungkapkan, konflik kelapa sawit umumnya bersumber dari rasa ketidakadilan terkait bagaimana perusahaan mendapatkan lahan dan bagaimana manfaat dari penggunaan lahan tersebut dibagikan.

Konflik merugikan perekonomian dan individu secara signifikan, tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi perusahaan. Mencari cara bagaimana menyelesaikan konflik-konflik ini adalah sebuah tugas yang mendesak, namun juga tidak mudah,

Ward mengungkapkannya dalam acara peluncuran laporan riset dan diskusi publik melalui zoom metting bertema: “Menyelesaikan Konflik Kelapa Sawit di Kalimantan Barat: Evaluasi Terhadap Efektivitas Berbagai Mekanisme Resolusi Konflik”, Rabu.

Dia memaparkan, sektor perkebunan kelapa sawit mengalami pertumbuhan begitu cepat. Akibatnya, wajah pedesaan di Indonesia berubah. Di sisi lain, perluasan area perkebunan tersebut memicu konflik antara perusahaan kelapa sawit dengan masyarakat.

Dalam kurun waktu dua dekade terakhir, di Kalimantan Barat (Kalbar), diidentifikasi 69 konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan terkait pembangunan dan pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Dari 69 kasus tersebut, 32 diantaranya berhasil diteliti.

Menurutnya, tim peneliti yang tergabung dalam penelitian Palm Oil Conflict and Access to Justice in Indonesia (POCAJI) telah merilis laporan terbaru secara daring tentang bagaimana karakter umum konflik kelapa sawit di Kalbar, apa yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan, dan seberapa efektif upaya-upaya penyelesaian konflik tersebut.

Baca juga: Bupati OKI: Konflik lahan masyarakat Air Sugihan-PT SAML sudah mereda

Dari 32 kasus yang diteliti di Kalbar, ada 21 kasus atau 66 persen keluhannya adalah permasalahan skema plasma, 15 kasus atau 47 persen terkait penyerobotan lahan. Hampir semua kasus konflik melibatkan dua atau lebih keluhan sekaligus. Sehingga jumlah persentasenye melebihi 100 persen.

Ward menjelaskan, keluhan pelaksanaan skema bagi hasil (plasma) seringkali berujung konflik, hal ini dipicu, beberapa perusahaan tidak merealisasikan lahan plasma seperti yang sudah dijanjikan; lahan plasma direalisasikan, tapi keuntungan yang dibagikan ke masyarakat tidak ada atau terlalu kecil; koperasi yang dibentuk untuk mengelola skema plasma tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena anggota masyarakat yang menjalankan koperasi tersebut tidak membagikan keuntungan secara transparan kepada anggotanya.

Sementara penyerobotan lahan, keluhan terbanyak berkaitan dengan cara perusahaan mendapatkan (atau tidak mendapatkan) persetujuan di awal dari masyarakat lokal pada proses pembebasan lahan. Keluhan ini disuarakan oleh masyarakat di 15 kasus konflik yang diteliti.

Meskipun perusahaan telah diwajibkan baik secara hukum maupun standar industri kelapa sawit untuk mendapatkan persetujuan masyarakat, tidak semua perusahaan melakukan upaya tersebut, sehingga masyarakat merasa bahwa mereka dicurangi atas tanah mereka.

Menurut Ward di beberapa kasus, perusahaan cenderung mengandalkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak mewakili anggotanya, tidak memberikan informasi yang lengkap atau keliru terkait dampak-dampak dari pembangunan perkebunan, menggunakan intimidasi oleh preman, atau kurangnya transparansi pembayaran kompensasi ke masyarakat.

Dari keluhan tersebut, solusi apa yang umumnya diminta oleh masyarakat? Temuan penting dari studi ini adalah bahwa dalam menyuarakan keluhan yang disebutkan di atas, secara umum masyarakat tidak menolak pembangunan kelapa sawit atau meminta penghentian operasi perkebunan.

Dalam banyak kasus, permintaan utama masyarakat adalah untuk mendapatkan timbal balik yang lebih baik dari manfaat perkebunan kelapa sawit: misalnya, masyarakat menginginkan pembagian keuntungan yang lebih atau implementasi skema plasma yang lebih baik.

Baca juga: Konflik sumber daya alam di Riau naik 37 persen pada 2019

Selain itu, masyarakat juga menuntut kompensasi yang lebih baik atas tanah mereka yang hilang, meminta (sebagian) dari tanah mereka dikembalikan, dan meminta perusahaan agar lebih banyak berkontribusi kepada masyarakat lokal dalam hal peluang kerja dan manajemen buruh yang lebih baik.

Pola ini menunjukkan juga bahwa pada umumnya masyarakat tidak menginginkan perkebunan untuk hengkang secara keseluruhan. Sebaliknya, mereka ingin mendapatkan timbal balik yang lebih baik atas tanah yang telah mereka kontribusikan untuk pembangunan perkebunan sawit.

Laporan riset juga menjelaskan, bahwa masyarakat umumnya menyuarakan keluhan mereka secara damai, melalui demonstrasi dan audiensi dengan pihak berwenang di tingkat lokal.

Namun penelitian ini menemukan sebuah kecenderungan yang mengkhawatirkan, yaitu para pemimpin protes seringkali dikriminalisasi oleh polisi dan manajemen perusahaan: terjadi penangkapan anggota masyarakat di 31 persen konflik yang diteliti di Kalbar, mencakup 94 kali penangkapan.

Konflik-konflik tersebut juga menyebabkan 12 orang terluka, kata Ward.

Penyelesaian konflik

Secara umum, konflik kelapa sawit jarang terselesaikan. Di Kalimantan Barat, dalam 66 persen dari 32 konflik yang diteliti, masyarakat tidak (atau hampir tidak) berhasil sama sekali mendapatkan penyelesaian atas keluhan mereka. Ketika konflik berhasil diselesaikan, prosesnya sangat lama: rata-rata 5 tahun.

Peneliti KITLV Leiden Ahmad Dhiaulhaq menjelaskan, bahwa salah satu alasan penting dari banyaknya konflik yang belum terselesaikan ini adalah karena pihak berwenang di tingkat lokal seringkali kurang berhasil dalam memfasilitasi proses penyelesaian konflik antara perusahaan dan masyarakat.

Meskipun upaya fasilitasi dan mediasi sering dilakukan di Kalbar (72 persen dari semua kasus), dari 26 upaya fasilitasi oleh pemerintah daerah, DPRD dan polisi untuk menengahi konflik, hanya 3 kasus di mana kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat tercapai dan diimplementasikan.
 
Warga Desa Sogo mendirikan tenda saat melakukan aksi unjukrasa di lahan perkebunan kelapa sawit PT Bukit Bintang Sawit (BBS), Kumpeh, Muarojambi, Jambi, Jumat (15/2/2019). Aksi yang menyebabkan tertutupnya akses keluar masuk hasil panen kelapa sawit perusahaan tersebut terjadi dikarenakan belum selesainya persoalan sengketa lahan antara pihak perusahaan dan warga yang telah berlarut-larut sejak 12 tahun lalu. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/wsj. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)


Penelitian ini menemukan, bahwa secara umum mekanisme resolusi konflik yang ada untuk penyelesaian konflik kelapa sawit-pengadilan, fasilitas pengaduan RSPO dan mediasi informal oleh pemerintah lokal masih belum efektif.

Alasan lain mengapa banyak konflik belum terselesaikan adalah sulitnya masyarakat mengakses mekanisme resolusi konflik formal seperti pengadilan dan fasilitas penyelesaian sengketa RSPO.

Mekanisme tersebut jarang digunakan. Di Kalbar, hanya 5 kasus yang dibawa ke pengadilan dan 5 kasus ke RSPO. Karena kombinasi beberapa faktor seperti kendala hukum, biaya, kekurangpercayaan, dan kerumitan prosedur membuat masyarakat enggan menggunakan mekanisme ini.

Selain itu, ketika masyarakat menang di pengadilan (hanya di 3 kasus), putusan pengadilan seringkali tidak diimplementasikan, kata Ahmad.

Sebaliknya, bahwa mediator profesional dengan kapasitas yang terlatih untuk memediasi konflik, jauh lebih lebih efektif dalam memfasilitasi penyelesaian konflik kelapa sawit.

Untuk itu, Tim peneliti POCAJI memberikan beberapa rekomendasi tentang bagaimana pencegahan penyelesaian konflik dapat ditingkatkan.

Untuk mencegah konflik lebih lanjut, laporan kebijakan ini merekomendasikan agar pemerintah daerah dapat memastikan bahwa perusahaan benar-benar mendapatkan "persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan" atau FPIC dari masyarakat setempat sebelum memulai operasi dan memantau dengan baik implementasi skema kerjasama inti-plasma.

Untuk meningkatkan penyelesaian konflik, laporan ini merekomendasikan perlu dibentuk lembaga mediasi atau desk resolusi konflik di tingkat provinsi atau kabupaten; meningkatkan kapasitas pihak berwenang di tingkat lokal dalam menyelesaikan konflik secara baik; pemerintah lokal agar bisa menjatuhkan sanksi kepada perusahaan yang tidak kooperatif dalam penyelesaian konflik.

Selain itu perlu penegakan hukum yang lebih profesional dan terhindar dari tekanan informal dari aktor bisnis.

Peran pemerintah kabupaten

Kepala Dinas Perkebunan Kalbar Heronimus Hero mengatakan, harusnya pemerintah kabupaten yang lebih memiliki peran strategis dalam mencegah dan menyelesaikan konflik. Sebab hampir semua wewenang evaluasi berada di pemerintah kabupaten.

Baca juga: Demi tanahnya, petani sawit Sulawesi mengadu hingga ke Belanda

Hero menyebut, pemerintah kabupaten bisa mengevaluasi, apakah perusahaan tersebut telah memberikan manfaat kepada semua pihak, artinya perusahaan untung, masyarakat sejahtera dan ekonomi maju. Hal ini karena yang memberi izin itu di kabupaten, sebab punya areal. Evaluasi pemda ini yang paling strategis dan itu sah secara hukum.

Menurut Hero, semua aturan dalam perkebunan sudah ada, tinggal dijalankan. Perangkatnya juga sudah ada, tinggal dikerjakan. Kabupaten bisa memberi teguran kepada perusahaan. Tapi perusahaan juga harus dilindingi, sebab telah ada izin. Jika tidak ada izin, kabupaten bisa beri sanksi tegas.

Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan mengatakan dalam upaya penyelesaian konflik perkebunan kelapa sawit, pemerintah kabupaten lebih banyak melibatkan perangkat desa dalam melakukan mediasi dan pendekatan terhadap kedua belah pihak yang berselisih. 

Menurut Muda sebagian besar konflik di daerah memang lebih disebabkan penyerobotan lahan dan tumpang tindih lahan transmigrasi. Dan sekarang lebih banyak pada konflik bagi hasil plasma. Selain itu, konflik juga terjadi antar perusahaan yang berdampingan.

Dari 28 perusahaan yang ada di Kubu Raya, satu per satu ditata dan selesaikan. Perizinan juga dikaji dan ditata ulang.

Selain itu, terang Muda, belakangan muncul konflik baru, yakni muncul akibat takeover atau peralihan manajemen perusahaan. Hal ini menjadi tantangan baru dalam penyelesaian konflik.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah terus melakukan mediasi, agar masalah tersebut bisa terselesaikan. 

Sementara itu, Perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sadino menyoroti persoalan kepastian lahan dan hukum di Indonesia.

Baca juga: Riset LSM dinilai diskreditkan industri kelapa sawit

Menurut dia, konflik terjadi karena mayoritas hutan tidak ada bukti sertifikat, namun kemudian diklaim lahan masyarakat. Hal ini yang jadi sengketa. Sementara jika dibawa ke pengadilan yang menganut hukum positif.

Kemudian masyarakat mencari jalan-jalan alternatif, seperti mediasi atau lain sebagainya. Hukum agraria tidak menjangkau sampai ke seluruh wilayah. Akibatnya perusahaan menjadi sulit, harus berhubungan dengan siapa jika bukti hak hanya sertifikat, kata Sadino.

Untuk itu, bila kepastian lahan dan hukum dapat diwujudkan, maka resolusi konflik akan menjadi lebih mudah.
 

Pewarta: Andilala dan Slamet Ardiansyah
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021