kami himpun berdasarkan hasil pertemuan bersama perwakilan anggota
Jakarta (ANTARA) - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempertimbangkan lima hal sebelum menerapkan karantina wilayah (lockdown) akhir pekan di Ibu Kota.

"Lima pertimbangan bagi Pemprov DKI ini, kami himpun berdasarkan hasil pertemuan bersama perwakilan anggota pada Kamis (4/2)," kata Ketua Badan Pimpinan PHRI, Sutrisno Iwantono dalam acara diskusi secara daring di Jakarta, Jumat.

Pertama, bagi restoran yang sudah menerapkan Protokol Kesehatan untuk diberikan pengecualian untuk buka sampai pukul 21.00 WIB dengan kapasitas duduk makan menjadi 50 persen.

Dikatakan Sutrisno kebijakan "lockdown" akhir pekan berpotensi memperparah sektor pendapatan pengusaha restoran maupun perhotelan.

Bila merujuk pada ketentuan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali saat ini maksimal kapasitas 25 persen, kata Sutrisno, bisa dipastikan pendapatan usaha akan turun ke angka 5-10 persen.

Baca juga: Anies tegaskan Jakarta tidak tetapkan "lockdown" akhir pekan

"Potensi kerugian kalau kita pukul rata di DKI dengan okupansi 20-25 persen, berarti omzet 20 persen berdasarkan kapasitas. Kalau terjadi lockdown akhir pekan, kita pasti tutup. Pendapatan kita pasti tinggal lima persen," katanya.

Kedua, PHRI meminta Pemda DKI Jakarta dengan berbagai pihak terkait untuk melakukan edukasi kepada masyarakat secara terus menerus dan mendisiplinkan masyarakat, terutama pada klaster utama penularan, di tingkat RT/RW kelurahan dan kecamatan.

"Edukasi ini harus melibatkan seluruh pengusaha juga untuk dukung pencegahan COVID-19. Perbanyak fasilitas umum cuci tangan dan penyediaan 'face shield' (pelindung wajah) karena harganya lumayan dan tidak semua masyarakat mampu beli, terutama di klaster kerumunan. Masyarakat yang berkeliaran dan tidak tertib," katanya.

Ketiga, Pemprov DKI juga perlu mempertimbangkan pengadaan alat pendeteksi COVID-19 GeNose di setiap restoran maupun perhotelan berikut fasilitas pencuci tangan dan pelindung wajah (face shield).

Menurut Sutrisno aktivitas pengusaha di tengah pandemi sekarang belum sampai pada tahap mencari keuntungan usaha tetapi hanya bertahan demi menutup kerugian operasional.

Baca juga: DPRD DKI sebut COVID-19 perlu terobosan "lockdown" akhir pekan

"Untuk pengeluaran operasional selama pandemi saja sudah cukup besar, terutama untuk penyediaan sarana dan prasarana untuk antisipasi penularan COVID-19 bagi karyawan," katanya.

Keempat, PHRI meminta pemerintah tidak membuat kebijakan sama rata untuk semua sektor usaha hotel maupun restoran sebab akan memperburuk situasi ekonomi.

"Mohon dipertimbangkan kelonggaran bagi pelaku usaha yang sudah dengan sangat ketat menjalankan protokol kesehatan," katanya.

Kelima, PHRI berharap ada skema bantuan pemerintah kepada pengusaha yang kini terkena dampak secara ekonomi akibat pengetatan aturan.

Sutrisno mencontohkan selama pemberlakuan PSBB hingga PPKM, pengusaha masih dibebani dengan tanggung jawab penyerahan pajak usaha.

Baca juga: Plh Wali Kota Jakpus dukung usulan "lockdown weekend" dari DPR RI

"Pajak Restoran (Pb1) agar tidak disetorkan ke Pemda DKI Jakarta, tetapi digunakan untuk menolong pelaku usaha. Selain itu ada pembebasan PBB (pajak bumi bangunan) untuk hotel dan restoran independen," katanya.

PHRI juga meminta pembebasan pajak reklame hotel dan restoran serta pengurangan pembayaran biaya listrik dan air.

"Sebelum mengeluarkan kebijakan tentang 'lockdown' akhir pekan ini, Pemda DKI Jakarta bisa mengadakan dialog dengan pihak yang terlibat seperti para pelaku usaha," demikian Sutrisno.

Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2021